Sejarah Dinilai Penting untuk Memperkuat Karakter Peserta Didik
Penguatan karakter peserta didik lewat mata pelajaran dan mata kuliah Sejarah Indonesia dinilai penting, selain melalui Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi pendidikan yang dijalankan pemerintah lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus bergulir dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional, salah satunya lewat perubahan kurikulum. Aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan juga bermunculan untuk memastikan transformasi pendidikan tidak hanya mengedepankan aspek kompetensi, tetapi juga penguatan karakter diri para siswa melalui pendidikan.
Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam diskusi publik bertajuk ”Menagih Janji Mas Menteri Nadiem: Posisi Sejarah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022” yang diadakan AGSI secara daring, Sabtu (29/1/2022), mengatakan, berkaitan dengan transformasi pendidikan yang dijalankan, mulai dari pemberlakuan Kurikulum Prototipe hingga rencana revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, penguatan karakter generasi muda melalui dunia pendidikan harus jadi komitmen. Menurut dia, dalam perubahan kurikulum, Sejarah Indonesia perlu dimasukkan sebagai muatan mata pelajaran atau mata kuliah wajib, selain Agama, Bahasa Indonesia, serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Menurut Sumardiansyah, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Standar Nasional Pendidikan belum mengakomodasi Sejarah Indonesia sebagai muatan wajib di kurikulum. Selain itu, perlu ada penyempurnaan terhadap substansi materi pada mata pelajaran atau mata kuliah wajib agar lebih selaras terhadap cita-cita Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta bermakna bagi kehidupan kekinian peserta didik ataupun mahasiswa.
”Walaupun pada struktur kurikulum di SMA program sekolah penggerak dan SMK pusat keunggulan, sejarah sudah ditempatkan dalam mata pelajaran kelompok dasar atau wajib, secara ideologis dan politis kami tetap berkeinginan agar ke depan posisi Sejarah Indonesia bisa diperkuat dalam pendidikan nasional dengan ditempatkan sebagai muatan wajib kurikulum dalam revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan revisi PP Nomor 4 Tahun 2022 tentang Standar Nasional Pendidikan,” ujarnya.
Mata pelajaran atau mata kuliah wajib yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa disebutkan lewat Agama, Bahasa Indonesia, serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Padahal, Sejarah Indonesia juga penting untuk bisa disetarakan dengan ketiga mata pelajaran/kuliah tersebut dan harus diperkuat dalam UU Sisdiknas.
Sumardiansyah mengatakan, mata pelajaran atau mata kuliah wajib yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa disebutkan lewat Agama, Bahasa Indonesia, serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Padahal, Sejarah Indonesia juga penting untuk bisa disetarakan dengan ketiga mata pelajaran/kuliah tersebut dan harus diperkuat dalam UU Sisdiknas.
Ketua Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS) Said Hamid Hasan menyatakan, tidak ada bangsa yang tidak mengetahui sejarah bangsanya. ”Kurikulum pendidikan sejarah harus dirancang untuk melahirkan manusia Indonesia dengan karakteristik Indonesia,” ujar Said yang juga Guru Besar Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Agus Mulyana mengutip pandangan Renan bahwa negara dibentuk karena persamaan nasib. Persamaan nasib yang menghadirkan keinginan untuk hidup bersama sebagai sebuah bangsa, mulai dari masa kerajaan, penjajahan, perjuangan, sampai kemerdekaan. Dari sini jelas bahwa sebuah negara terbentuk karena proses sejarah.
Ketua Perkumpulan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (PPSI) Ilham Daeng Makkelo juga melihat sejarah sebagai sebuah hal yang signifikan dan relevan bagi keindonesiaan. ”Sejarah memiliki keselarasan dengan Pancasila dan cita-cita untuk menghasilkan manusia Indonesia. Pengajaran sejarah harus berbasis pada pemahaman sejarah serta sumbangsihnya bagi pembentukan karakter bangsa,” ujar Ilham.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Program Studi Pendidikan Sejarah Indonesia (P3SI) Abdul Syukur memandang, melemahnya posisi mata pelajaran sejarah terjadi karena pengambil kebijakan tidak ada yang mengerti soal sejarah. Bagi Syukur, terbitnya PP Nomor 4 Tahun 2022 memperlihatkan adanya persoalan ketidaksesuaian antara janji Mendikbudristek yang melihat sejarah sebagai sebuah hal penting dan kenyataan di lapangan.
Padahal, ujar Sumardiansyah, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam video yang diunggah di channel Youtube Kemendikbud RI pada 20 September 2020 pernah menyampaikan komitmen untuk menjadikan sejarah sebagai sesuatu yang relevan. Menurut Nadiem, identitas generasi muda nasional hanya bisa dibentuk melalui memori kolektif yang membanggakan dan menginspirasi. Karena itu, sejarah adalah tulang punggung dari identitas nasional yang tidak mungkin dihilangkan.
”Diskusi publik yang dihadiri 395 peserta dari kalangan guru, dosen, mahasiswa, dan masyarakat ini menghasilkan kesepakatan agar frasa ’sejarah Indonesia’ harus dimuat dalam perundang-undangan di Indonesia, sebagai muatan wajib dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan PP Standar Nasional Pendidikan, demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai tindak lanjut, AGSI, APPS, MSI, PPSI, dan P3SI juga akan menyusun naskah akademik, beraudiensi dengan pemangku kepentingan, (dan) mengajukan judicial review,” ujar Sumardiansyah.
Pembelajaran berbasis proyek
Secara terpisah, Ketua Badan Standar, Kurikulum dan, Asesmen Pendidikan Nasional Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, pengembangan karakter menjadi hal penting dalam pendidikan, selain memastikan kompetensi dasar literasi dan numerasi. Di struktur Kurikulum Prototipe, pengembangan karakter siswa semakin diperkuat dengan mengalokasikan 20-30 persen jam pelajaran per tahun untuk pengembangan karakter Profil Pelajar Pancasila melalui pembelajaran berbasis proyek.
Kurikulum 2013 sebenarnya sudah menekankan pada pengembangan karakter. Namun, kurikulum tersebut belum memberi porsi khusus dalam struktur di dalamnya.
Menurut Anindito, pembelajaran berbasis proyek penting untuk pengembangan karakter karena memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman. Selain itu, pembelajaran tersebut juga bisa mengintegrasikan kompetensi esensial yang dipelajari peserta didik dari berbagai disiplin ilmu serta struktur belajar yang fleksibel.
Kurikulum Prototipe menawarkan penyederhanaan materi yang fokus pada materi esensial di tiap mata pelajaran agar pembelajaran lebih dalam, relevan, dan bermakna. Untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, penyederhanaan di Kurikulum Prototipe mencapai 57 persen dari rata-rata jumlah kompetensi dasar pada materi di Kurikulum 2013. Adapun pada Matematika mencapai 28 persen dan Sains 19 persen.