Urgensi Perubahan Kurikulum Masih Dipertanyakan
Perubahan kurikulum adalah hal yang biasa karena tidak ada kurikulum yang sempurna. Namun, perubahan Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka dengan naskah akademik yang belum jelas dipertanyakan sejumlah pihak.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka dinilai tidak strategis. Perubahan dianggap belum berlandaskan naskah akademik yang jelas sehingga dasar dari urgensi perubahan kurikulum masih harus dikaji agar dapat diimplementasikan dengan baik.
Klaim keberhasilan Kurikulum 2013 yang disederhanakan atau disebut Kurikulum Darurat, kemudian menjadi Kurikulum Program Sekolah Penggerak, dan selanjutnya Kurikulum Prototipe, juga harus dipastikan betul apakah karena perubahan kurikulumnya atau model pendampingan guru yang intensif. Sebab, yang urgensi untuk mengatasi krisis pembelajaran dan pemulihan pembelajaran saat ini adalah perbaikan pembelajaran, tidak harus dengan perubahan kurikulum.
Persoalan mengenai urgensi Kurikulum Merdeka tersebut dibahas pada acara Ngobrol Seputar Kebijakan Edukasi Pendidikan: Publik Menguji Kurikulum Merdeka, Minggu (20/2/2022). Hadir sebagai narasumber Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 dan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan; salah satu penggagas Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika dan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca sekaligus dosen pendidikan Sampoerna University Jakarta, Dhitta Puti Sarasvati; pakar pembelajaran berbasis proyek Aulia Wijiasih; pemerhati pendidikan Doni Koesoema; Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru Iman Zanatul Haeri; serta anggota Komisi X DPR Ferdiansyah.
”Perubahan kurikulum hal biasa. Namun, harus jelas mengapa kita butuh kurikulum baru. Hingga saat ini rasanya belum jelas alasan-alasan kenapa butuh kurikulum baru. Jika dikatakan untuk mengatasi krisis pembelajaran karena learning loss, sebelum pandemi sudah terjadi, di masa pandemi juga terjadi. Masalahnya, kan, di pembelajaran, jadi obatnya ya di pembelajaran,” kata Hamid.
Lebih lanjut, Hamid mempertanyakan, jika dari uji coba ditemukan bahwa dengan menyederhanakan Kurikulum 2013 hasilnya lebih baik, terutama dalam literasi dan numerasi, mengapa fokusnya tidak menyederhanakan lebih lanjut? bukan dengan mengubah kurikulum?
Sebagai contoh untuk jenjang SMA, di Kurikulum 2013 sebenarnya juga tidak ada penjurusan, tetapi peminatan. Siswa bisa lintas minat untuk menjawab perkembangan multidisiplin dunia kerja. Hal ini menuntut kesiapan perguruan tinggi juga untuk bisa mengubah model seleksinya.
Seperti di Inggris, di sana juga tidak ada penjurusan. Sebagai contoh untuk bisa masuk Fakultas Kedokteran ada pelajaran wajib yang harus diambil di SMA, yakni Biologi dan Kimia. Untuk Fakultas Teknik, misalnya, Matematika dan Fisika.
Hamid menegaskan, bukan tidak boleh berubah kurikulum, melainkan harus dipikirkan matang-matang implementasinya dalam konteks Indonesia. Apalagi, dengan mengacu dari konsep luar negeri, tentu harus dicermati bagaimana situasi dan kondisi pendidikan di Indonesia.
Bukan tidak boleh berubah kurikulum, melainkan harus dipikirkan matang-matang implementasinya dalam konteks Indonesia. Apalagi, dengan mengacu dari konsep luar negeri, tentu harus dicermati bagaimana situasi dan kondisi pendidikan di Indonesia.
Hamid mengingatkan, kebijakan pendidikan harus bisa dilakukan untuk semua sekolah dan dinikmati semua anak bangsa. Jika keberhasilan mengacu pada sekolah penggerak, harus dicermati bahwa sekolah-sekolah tersebut dibina dan didampingi dalam waktu yang cukup lama.
”Apakah sekolah-sekolah lain juga mendapatkan hal yang sama seperti sekolah penggerak sehingga bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka? Kebijakan ini tidak bisa diskriminatif. Sebab, pendampingan guru dan sekolah merupakan hal penting,” kata Hasan.
Kemampuan menginterpretasi
Sementara itu, Dhitta mengatakan, tidak yakin perubahan kurikulum berpengaruh banyak pada peningkatan kualitas pembelajaran. Sebab, apa pun kurikulumnya, termasuk Kurikulum Merdeka, tetap butuh kemampuan dan keterampilan guru dalam mengintepretasi dengan ilmu dan pedagogi yang mendalam.
Dhitta juga mempertanyakan klaim keberhasilan dari naskah akademik bahwa dengan Kurikulum Darurat hasilnya lebih baik. Apalagi, di sekolah-sekolah yang dijadikan tempat uji coba kurikulum baru merupakan sekolah penggerak dengan proses pendampingan yang panjang bagi guru dan sekolah.
”Harus dikaji betul apakah peningkatan karena kurikulumnya sehingga memang harus terjadi perubahan kurikulum atau proses pendidikan gurunya yang panjang? Kalau karena gurunya, kita tidak bisa menyimpulkan karena perubahan kurikulum. Terus terang saya masih bertanya-tanya apakah perubahan kurikulum ini jadi pilihan paling strategis untuk perbaikan pendidikan? Saya masih belum tahu jawabannya,” kata Dhitta.
Jika disebutkan kelebihan Kurikulum Merdeka salah satunya adalah fleksibilitas, sebenarnya sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga arahnya ke sana. Untuk itu, diperlukan guru dan sekolah yang memiliki pendidik intelektual agar dapat bertanggung jawab mengambil keputusan kurikuler.
”Negara tetap menyediakan kurikulum resmi sebagai kompas bagi guru. Namun, guru dapat memutuskan apakah menggunakannya, memodifikasinya, bahkan tidak menggunakannya karena memiliki kapasitas intelektual untuk memutuskan,” kata Dhitta.
Baca juga: Transisi Kurikulum 2013 Menjadi Kurikulum Merdeka Tidak Memaksa Sekolah
Namun, secara umum para guru belum memiliki kapasitas sebagai intelektual yang mampu keputusan dengan ilmu, sikap, dan keterampilan. Sebab, untuk sampai ke sini, guru tidak bisa berkembang sendiri, tetapi butuh dukungan dari sistem pendidikan yang berkualitas baik sebelum dan setelah menjadi guru.
”Bagus jika pemerintah terus memperbaiki dan merapikan kurikulum. Tentunya jika dilakukan dengan benar, guru terbantu. Namun, tidak sesederhana hanya ganti kurikulum, sebab implementasinya tergantung keterampilan guru yang menggunakan kurikulum. Para guru butuh kemampuan menginterpretasi dan ini dilatih dengan didasari ilmu dan pedagogi berbasis ilmu pengetahuan. Guru butuh berpikir banyak,” kata Dhitta.
Belum masif
Aulia mengatakan, praktik manajemen berbasis sekolah (MBS) dan project based learning (PBL) yang diklaim sebagai keunggulan Kurikulum Merdeka sebenarnya sudah menjadi bagian dari kurikulum sebelumnya. Namun, hal ini belum bisa masif dilakukan di semua sekolah.
Menurut Aulia, standar-standar isi dalam kurikulum lama sudah mengajak guru dan sekolah menerapkan merdeka Belajar. Namun, perubahan belum terlihat masif karena pendampingan yang dimulai dari penyamaan visi oleh para pendamping/fasilitator dari pemerintah pusat/daerah belum sama. Akibatnya, perubahan yang berkelanjutan dan sesuai dengan standar yang diharapkan tidak terjadi.
”Apa pun standar yang diterapkan, pelatih dan fasilitator yang ditunjuk harus paham konsep dasar dan praktik. Harus paham kedalaman dan keluasan saat menyampaikan materi karena mengajar beragam mata pelajaran. Jadi harus berliterasi dengan beragam mata pelajaran. Sudahkah para pelatih/fasilitator sekolah dilatih seperti itu? Jadi, pendekatan ganti kurikulum itu perlu dipertanyakan,” ujar Aulia.
Iman menyatakan khawatir dengan kurikulum yang coba-coba. Ada penekanan yang kuat dalam pengembangan Profil Pelajar Pancasila, tetapi tetap perlu dikritisi juga apakah sudah relevan dengan keselarasan pendidikan masa depan.
Sementara itu, Doni mempertanyakan pemilihan nama Kurikulum Merdeka yang dikaji dari semiotika lebih untuk meninggalkan jejak program kementerian saat ini.
”Pemilihan nama kurikulum tidak jauh dengan penggagasnya yang menunjukkan visi tidak jauh. Terlihat tidak netral dan visioner. Sebab, istilah Merdeka sangat kental dengan program kementerian saat ini,” kata Doni.
Ferdiansyah mengatakan, berbagai transformasi yang ditawarkan pemerintah harus didasari pada legalitas yang kuat sehingga memberikan kepastian dan tidak mengorbankan masyarakat, utamanya peserta didik. Harus ada kepastian dalam kurikulum yang diterapkan secara nasional.
Baca juga: Guru Didorong Belajar Mandiri Menerapkan Kurikulum Merdeka
Menurut Ferdiansyah, dari kajian panitia kerja DPR tentang kurikulum, ada lima elemen yang harus menjadi perhatian, yakni birokrat pendidik di pusat dan daerah, guru dan tenaga kependidikan yang perlu dilatih dengan serius sehingga memiliki persepsi yang sama, orangtua siswa, siswa, dan organisasi profesi.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan, arah perubahan kurikulum yang termuat dalam Kurikulum Merdeka ialah struktur kurikulum yang lebih fleksibel, fokus pada materi esensial, memberi keleluasaan bagi guru untuk memakai perangkat ajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, serta terdapat aplikasi yang menyediakan referensi bagi guru untuk mengembangkan praktik mengajar secara mandiri dan berbagi praktik baik (Kompas, Sabtu 12 Februari 2022).