Pembahasan RUU TPKS Harus Terbuka dan Libatkan Partisipasi Publik
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terus dikawal kelompok masyarakat sipil. Kendati kehadirannya sangat mendesak, pembahasannya di DPR diharapkan tidak terburu-buru agar UU itu implementatif.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan organisasi masyarakat sipil mengapresiasi gerak cepat pemerintah menyusun daftar inventarisasi masalah dari Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu. Namun, mereka menyayangkan sikap tim pemerintah yang hingga kini tidak kunjung membuka isi daftar inventarisasi masalah tersebut ke publik.
Oleh karena itu, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dalam keterangan pers, Kamis (17/2/2022), meminta kepada DPR dan pemerintah agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR dilakukan secara terbuka. Mereka berharap masyarakat sipil dapat mengakses daftar inventarisasi masalah (DIM) dari RUU TPKS untuk memastikan masukan yang disampaikan terakomodasi.
”Kami mendapatkan informasi bahwa masukan masyarakat sipil 93 persen sudah diakomodasi pemerintah. Sayangnya sampai terdengar kabar DIM pemerintah pada 11 Februari 2022 telah diserahkan kepada DPR, kami belum mendapat gambaran DIM-nya seperti apa, bagian mana masukan sipil yang diakomodasi dan yang tidak diakomodasi,” ucap Ninik Rahayu, Koordinator Advokasi RUU TPKS Maju Perempuan Indonesia (MPI).
Ninik bersama Bivitri Susanti (pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera), Lusia Palulungan (advokat/pendamping perempuan korban kekerasan), dan Ratna Batara Munti (Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia) mengatakan telah menghadiri beberapa konsultasi publik yang digelar tim pemerintah. Pihaknya berulang kali menyuarakan kebutuhan masyarakat sipil untuk melihat DIM yang disusun pemerintah.
Oleh karena itu, saat pemerintah telah mengirim surat presiden dan DIM ke DPR, masyarakat bisa segera mengakses DIM pemerintah. ”Kebutuhan kami bukan sekadar disahkannya UU ini, tetapi apakah substansinya sudah mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama korban,” kata Ninik.
Bivitri menegaskan, momentum pembahasan RUU TPKS harus dikawal semua pihak agar RUU TPKS tidak buru-buru selesai tetapi tidak bisa diimplementasikan. ”Tujuan akhirnya bukan punya RUU TPKS apa pun bentuknya, tetapi punya UU TPKS yang mampu mencapai tujuannya, yakni menangani dengan baik semua kasus kekerasan seksual, dalam arti berfokus pada korban, pemulihan dan hukum acara berjalan baik,” ujarnya.
Partisipasi bermakna
Oleh karena itu, dalam proses pembahasannya, DPR dan pemerintah perlu membuka ruang partisipasi selebar-lebarnya sehingga masukan publik didengar dan dipertimbangkan. Hal terpenting, UU TPKS harus mengakomodasi kebutuhan warga, terutama perempuan, anak, dan disabilitas korban kekerasan seksual.
Dalam proses pembahasannya, DPR dan pemerintah perlu membuka ruang partisipasi selebar-lebarnya sehingga masukan publik didengar dan dipertimbangkan.
Dalam pembahasan RUU tersebut, pihaknya mendorong DPR dan pemerintah berpegang pada pinsip partisipasi bermakna, yaitu melibatkan masyarakat terdampak dan yang punya kepedulian. Jadi, bukan hanya keahlian, tetapi juga harus ada pengalaman karena yang tidak punya pengalaman pasti berbeda perspektifnya.
Soal DIM, menurut Bivitri, pemerintah dan DPR justru akan mendapatkan banyak masukan jika materinya bisa dibaca bersama-sama dengan masyarakat sipil. Karena itu, sebaiknya DIM segera dibuka.
Oleh karena itu, DPR dan pemerintah dalam proses pembahasan RUU TPKS harus mengedepankan partisipasi bermakna, sebagaimana yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam putusan UU Cipta Kerja. Partisipasi bermakna adalah partisipasi yang mengedepankan hak untuk didengarkan pendapatnya, hak dipertimbangkan pendapatnya, dan hak mendapat penjelasan atas pendapat itu.
Untuk itu, DPR dan pemerintah diharapkan transparan dan memberikan bahan, termasuk DIM, sebelum rapat pembahasan. Situasi pandemi diharapkan tidak menjadi hambatan bagi DPR untuk memulai pembahasan RUU TPKS.
Pembahasan per kluster
Lusia bahkan meminta agar pembahasan RUU TPKS dilakukan per kluster dengan simulasi untuk memastikan implementasinya nanti. Jaringan perempuan mengusulkan sembilan kluster pembahasan, yakni pengaturan tindak pidana kekerasan seksual, pemberatan dan rehabilitasi pelaku, hukum acara, restitusi, hak-hak korban, saksi dan keluarga, pendampingan, layanan terpadu, pencegahan, koordinasi dan pemantauan, serta peran masyarakat dan keluarga.
Dalam pembahasan per kluster perlu diidentifikasi pihak dan sumber daya manusia yang akan terlibat dan anggaran yang harus disiapkan. RUU TPKS harus dipastikan bisa implementatif, tidak hanya law in the text.
Sebelumnya, pekan lalu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej memastikan DIM akan dibuka setelah diserahkan ke DPR. ”DIM bukan barang tabu yang tidak boleh dipublikasikan. Namun, hanya masalah waktu saja. Secara etika ini tidak bisa dibuka ke publik kalau belum diserahkan ke DPR. Nanti begitu diserahkan ke DPR, bisa dibuka ke publik,” katanya, Jumat (11/2/2022).