Tipo, atau kesalahan tik, sudah dimulai sejak di bangku sekolah. Keadaan ini sungguh memprihatinkan. Sayangnya, tipo jadi alasan pembenar untuk menutupi kesalahan atau kelemahan.
Oleh
Djony Herfan
·3 menit baca
Tipo menjadi kata bertuah untuk melindungi diri dari kesalahan tik (kesalahan yang bersumber dari ketidakakuratan data). Si penulis berkata, ”Ini tipo.” Ia berharap kesalahan yang dianggap sebagai kesalahan tik dapat dimaklumi.
Kalangan yang kerap menyebut kata tipo sebagai alasan memiliki kepedulian untuk melindungi diri dari kesalahan tik. Ia mempunyai alasan, tipo dapat membebaskan diri dari tanggung jawab meralat teks.
Karena itu, kata tipo lama-kelamaan berkamuflase menjadi situasi lempar batu sembunyi tangan. Seakan-akan lebih aman menyalahkan perangkat atau pengaktifan ejaan otomatis dengan bahasa asing, yang seharusnya dilakukan demi keakuratan data. Dengan demikian, alasan tipo berkorelasi pada kemampuan penulis naskah yang menulis asal cepat, tetapi mengesampingkan akurasi.
Ketika alasan tipo menjadi penguat, justru kesalahan tik itu cenderung diulangi lagi. Ada preseden buruk manakala kesalahan tik tidak segera disadari dan dijadikan alasan pembenar.
Kesalahan tik bukan hanya pada pembentukan kata (seperti ambulan, asesoris, handal, hembus, kuisioner, merubah, nampak, prosentase, silahkan), melainkan juga pada pemilihan kata dan istilah (seperti masing-masing kegiatan, daripada, jam 09.00, di mana, dipungkiri, dihimbau).
Tipo juga terdapat pada tayangan media siaran, seperti Polisi Tangkap 55 Nabi Kabur; Korban Tertelan Jarum Pentul, dan Pilkada Morotai untuk Angkutan Kepala Sawit. Nabi seharusnya Napi, Tertelan seharusnya Menelan, dan Kepala seharusnya Kelapa. Tambahan lagi, kalau penulis belum taat asas pada penggunaan tanda baca.
Ada faktor internal dan eksternal penyebab tipo sebagai kesalahan berulang. Faktor internal berasal dari dalam diri penulis yang mengabaikan pemeriksaan tahap pertama, kedua, dan ketiga. Sementara faktor eksternal berasal dari luar diri penulis yang mengabaikan tahap verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi.
Hal ini biasanya terjadi tidak hanya karena kurangnya keterampilan penulis menyelesaikan naskah tepat waktu, tetapi juga karena penulis menyerahkan sepenuhnya pembetulan dan penyelesaian kepada orang atau bagian lain yang bertugas memeriksa naskah.
Ketika alasan tipo menjadi penguat, justru kesalahan tik itu cenderung diulangi lagi.
Laporan tugas akhir mahasiswa atau siswa menjadi pesemaian alasan tipo yang klasik. Akibatnya, banyak ditemukan kesalahan tik dari setiap halaman, dan sering kali ada 15 kata salah, bahkan 20 kata salah, per halaman.
Naskah harus dikoreksi oleh pembimbing berdasarkan akurasi bahasa, seperti logika kalimat, diksi, data, nama, kata, dan istilah. Kondisi ini mengubah tugas dosen atau guru menjadi seorang korektor bahasa. Jadi, pemakaian alasan tipo sudah dimulai sejak di bangku sekolah. Keadaan ini sungguh memprihatinkan.
Tulisan bebas dari kesalahan atau nirsalah memang sulit dicapai. Banyak alasan bisa dikemukakan, antara lain tenggat (sebagai alasan pembenar yang paling digemari). Kesalahan penulisan lain bisa berupa khilaf atau memang salah. Khilaf bersumber dari ketidaksengajaan, salah kata itu bersumber dari kebelumtahuan atau ketidaktahuan.
Namun, setiap penulis sebaiknya berusaha menyampaikan tulisan bersih dari kesalahan. Jangan sampai kesalahan berulang karena penulis abai pada ejaan sebagai sistem penulisan bangsa Indonesia. Apalagi kalau tulisan itu berujung pada pembenaran atas kesalahan kata, istilah, dan tata bahasa Indonesia. Justru waktu penulis sibuk sekalipun, tipo tidak dijadikan alasan pembenar.
Djony Herfan, Ketua Bidang Usaha FBMM, Dosen Politeknik Negeri Jakarta