Pelafalan atas aksara c pada kosakata asing atau kata tertentu tampaknya bisa membingungkan (sebagian) pemakai bahasa Indonesia. Maka, kesalahan terkait hal itu terus terjadi.
Oleh
Kasijanto Sastrodinomo
·3 menit baca
Narasi iklan obat sakit kepala yang tayang di layar kaca itu mengutip kata paska; bukan pasca- (dengan tanda hubung apabila yang dimaksud prefiks dalam bahasa Sanskerta). Boleh jadi penulis teks iklan itu mengira bunyi huruf c identik k. Penulisan (ejaan) kata itu salah jadinya, kecuali apabila sengaja dilakukan demi efek tertentu.
Kesalahan semacam itu masih terjadi di sana-sini, baik dalam pelisanan maupun penulisan. Mengherankan, sebab pasca- sudah cukup lama beredar dan banyak digunakan di ruang publik—paling populer mungkin sebagai sebutan jenis program studi, pascasarjana, di perguruan tinggi.
Lain lagi ”kasus” seorang pranatacara televisi. Saat membacakan obituari bagi mendiang Max Sopacua (wafat 17/11/2021), ia salah mengeja nama belakang politikus senior itu dengan sopatjua seperti bunyi cuaca; padahal mestinya sopakua.
Berselang hari, rekan satu studionya mengikuti cara yang sama ketika membaca-ucapkan nama belakang sutradara film bekèn, Nyak Abbas Acup (wafat 14/11/1991), dengan bunyi atjup seperti kuncup; seharusnya akup. Salah ucap itu berulang beberapa kali, tapi dipercaya tanpa sengaja. Kedua jurnalis itu semata-mata ingin taat asas pada konvensi ejaan: huruf c, ya, dibunyikan cé.
Salah ucap itu berulang beberapa kali, tapi dipercaya tanpa sengaja
”Insiden” kecil tersebut mengapungkan soal kecik ke permukaan: pelafalan atas aksara c pada kosakata asing atau kata tertentu tampaknya bisa membingungkan (sebagian) pemakai bahasa Indonesia. Inang masalahnya ialah kesenjangan: aksara c dalam khazanah bahasa Indonesia hanya punya nilai bunyi (sound value) tunggal, yaitu cé tadi; sementara dalam ortografi (sistem ejaan) sejumlah bahasa asing Eropa c bisa berbunyi jamak. Dalam bahasa Inggris, contohnya, c memiliki rentang bunyi terbanyak di antara konsonan Inggris sehingga tumpang tindih dengan bunyi k, q, s, t, x.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2015) telah mengadopsi kaidah peralihan bunyi aksara c (cé) menjadi k (ka) dan s (ès). Bunyi c berubah menjadi k apabila berada di depan vokal a, o, u serta konsonan l dan r. Contoh: capital menjadi kapital, comic-komik, cubic-kubik; yang berangkai dengan konsonan, misal, clinic-klinik, creative-kreatif.
Lalu, c bersulih s jika di depan e, i, y; contoh central-sentral, circulation-sirkulasi, cybernetics-sibernetika. Dobel c (cc) juga berubah k, semisal accommodation-akomodasi, dan acclamation-aklamasi. Alih bunyi c menjadi q, t, dan x praktis tak relevan dengan (kosakata) bahasa Indonesia.
Repotnya, c juga bersenyawa dengan z yang sulit dialihkan ke dalam ejaan Indonesia. Contoh: czar juga dieja tsar (dibunyikan zar) ’kaisar’ atau ’raja’; begitu pula Czech, sebutan negara/orang/bahasa di Eropa Timur. Huruf ç (dengan tanda cedilla seperti kecambah di bagian bawah) juga dikenal di sini dengan bunyi s, seperti çastra ’sastra’ (Sanskerta), atau façade ’fasad’ (Perancis). Bunyi c bisa berpasangan menjadi k dan s dalam satu kata (turunan) Inggris sekaligus, seperti electric-electricity; tapi kita telah menekuknya jadi kelistrikan.
Variasi bunyi suatu huruf pada dasarnya tergantung ortografi bahasanya. Misalnya, ejaan Indonesia dengan lugas mengganti Caracas, nama ibu kota negara Venezuela yang berbahasa resmi Spanyol, menjadi Karakas. Sebaliknya pula, di negeri itu, Ciracas, nama kecamatan di Jakarta Timur, bakal dilafalkan sirakas—kecuali jika kita mengubahnya jadi chirachas jika mengikuti ejaan di sana.
Kasijanto Sastrodinomo, Alumnus FIB Universitas Indonesia