Penduduk Daerah 3T hingga Perempuan, Prioritas Program Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2022
Kemendikbudristek mengadakan kembali program Fasilitasi Bidang Kebudayaan atau FBK. Pegiat kebudayaan akan diberi dana hibah maksimal Rp 500 juta per kegiatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengadakan kembali program Fasilitasi Bidang Kebudayaan atau FBK 2022. Program dana hibah kebudayaan ini diprioritaskan untuk sejumlah kelompok, antara lain penduduk di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, serta perempuan.
FBK diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak 2020. FBK 2022 ditujukan ke individu, komunitas, lembaga, atau organisasi kebudayaan untuk melakukan dua kegiatan. Pertama, dokumentasi karya atau pengetahuan maestro. Kedua, pendayagunaan ruang publik untuk pemajuan kebudayaan.
Peserta mesti mengajukan proposal proyek kebudayaan untuk mendapat dana hibah FBK. Adapun pendaftaran FBK berlangsung selama periode 14 Februari-14 Maret 2022, sementara proses seleksi pada 14 Maret-14 April 2022. Jumlah pembiayaan maksimal Rp 500 juta untuk setiap kegiatan yang lolos seleksi.
Proposal yang diajukan kelompok prioritas pun mesti dipisahkan dari kelompok umum untuk memastikan aksi afirmasi program ini tercapai.
Sebelumnya, dana FBK 2021 dialokasikan untuk tiga kegiatan, yaitu dokumentasi karya/pengetahuan maestro, penciptaan karya kreatif inovatif, dan pendayagunaan ruang publik. Proposal tersebut dinilai 33 anggota Komite Seleksi yang, antara lain, terdiri dari seniman dan budayawan.
”Penyelenggaraan FBK pada 2021 telah memfasilitasi 131 penerima (dana) dan menghasilkan program-program terbaik di bidang kebudayaan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid melalui keterangan tertulis, Senin (14/2/2022).
Ia menambahkan, penerima bantuan dana FBK 2022 diprioritaskan kepada pihak yang berdomisili dan melaksanakan kegiatan kebudayaan di daerah 3T (tartinggal, terdepan, terluar). Kelompok prioritas lainnya adalah pegiat seni budaya yang ada di provinsi dengan nilai Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) di bawah rata-rata nasional tahun 2020.
Perempuan dan penyandang disabilitas juga termasuk pihak yang diprioritaskan, begitu pula peserta yang melaksanakan kegiatan terkait dengan warisan budaya tak benda (WBTB). Kemendikbudristek mencatat ada 1.528 WBTB di Indonesia pada 2013-2021. Sementara itu, WBTB Indonesia yang diakui dan dicatat oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebanyak 12 buah, antara lain gamelan, wayang, keris, dan tari Saman.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Fitra Arda mengatakan, FBK 2022 juga terbuka terhadap warga lansia. Menurut dia, penduduk senior adalah penyangga pembangunan nasional. Mereka juga pelestari nilai budaya, pemelihara, sekaligus pewaris budaya kepada generasi berikutnya.
Transfer ilmu dan nilai budaya diharapkan terjadi dengan pelibatan lansia. Fitra menambahkan, pemerintah dan masyarakat mesti menyebarkan pengetahuan yang dimiliki para warga lansia.
”Usia bukan penghambat produktivitas untuk berkarya. (Warga) Lansia juga bukan beban negara. Mereka justru adalah ’penyangga peradaban’. (Warga) Lansia dengan kematangan pola hidup dan pikir serta pengetahuannya merupakan penjaga nilai tuntunan hidup antargenerasi,” ujar Fitra.
Revolusioner
Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay menilai, FBK sebagai program hibah dana dengan model yang cukup revolusioner di Indonesia. Ini karena FBK berorientasi pada hasil. Dana hibah dapat digunakan secara fleksibel dan bertanggung jawab selama tujuan proposal proyek tercapai.
”Skema hibah dana di Indonesia selama ini rigid (kaku). Misalnya, dulu dana hanya bisa digunakan untuk membeli alat dan memperbaiki infrastruktur, sementara dana tidak bisa digunakan untuk riset,” katanya. ”FBK cukup revolusioner. Pegiat seni budaya jadi bisa mengajukan proposal dengan lebih kreatif,” ucapnya.
Adanya dewan juri untuk seleksi proposal juga diapresiasi. Dengan ini, substansi proposal terpilih dapat dipertanggungjawabkan.
Transparansi data tentang penerima hibah, jumlah dana yang diterima, hingga proyek yang dikerjakan pun menjadi penting. Dengan ini, publik dapat memantau pelaksanaan FBK karena dana menggunakan anggaran negara.
Hafez menambahkan, sosialisasi program ini masih perlu diperluas. Selain itu, proposal yang diajukan kelompok prioritas pun mesti dipisahkan dari kelompok umum untuk memastikan aksi afirmasi program ini tercapai.
Sebelumnya, kurator dan anggota Koalisi Seni Alia Swastika menilai, FBK menandai kehadiran negara ke pelaku seni budaya. Program dana hibah tersebut dinilai mampu menggerakkan kembali kegiatan seni budaya yang terhambat selama pandemi Covid-19.
”Narasi yang selama ini ada ialah pelaku budaya dan seniman selalu berjuang sendiri, tidak ada yang mendanai. FBK jadi pernyataan penting bahwa negara hadir,” kata Alia (Kompas.id, 24/5/2021).
Proposal
Hafez mengatakan, FBK menjadi sarana tepat bagi pegiat seni budaya untuk menyusun proposal program kebudayaan. Keterampilan ini penting agar mereka mampu mengajukan proposal kepada pihak lain, baik perusahaan maupun pendonor asing.
Menurut penelitian berjudul Keberlangsungan Lembaga Seni di 8 Kota oleh Koalisi Seni pada 2016, rata-rata lembaga seni belum mapan secara finansial. Dari 227 responden, sebagian di antaranya mendanai lembaganya secara swadaya, antara lain sumbangan pribadi para anggota.
”Ini menunjukkan bahwa kegiatan seni di organisasi-organisasi seni Indonesia masih menggunakan subsidi pribadi. Jarang ada lembaga yang mapan dengan pendanaan dari luar organisasinya,” ujar Hafez.