RUU TPKS sangat dinantikan publik. Proses penyusunan RUU termasuk daftar isian masalah harus dilakukan dengan memperhatikan aspirasi publik, agar UU yang dihasilkan sesuai dengan harapan publik.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati mengapresiasi langkah cepat pemerintah dalam menyiapkan Daftar Isian Masalah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, organisasi masyarakat sipil meminta pemerintah membuka kepada publik isi daftar isian masalah tersebut. Pemerintah juga mesti memastikan adanya partisipasi publik dalam penyusunan daftar isian masalah, terutama masukan atas hal-hal krusial dalam RUU tersebut.
Harapan tersebut disampaikan para aktivis organisasi masyarakat sipil, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Asosiasi LBH APIK Indonesia. Mereka meminta pemerintah tidak terburu-buru menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), kemudian menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
YLBHI dalam siaran persnya, Jumat (4/2/2022), bahkan mengkritik kegiatan konsultasi publik bersama masyarakat sipil dan akademisi untuk menjadi masukan dalam proses penyusunan DIM RUU TPKS yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP), Kamis (3/2/2022).
Pada siaran pers berjudul ”Konsultasi RUU TPKS oleh KSP: Penuh Rahasia dan Tak Terbuka”, YLBHI mengapresiasi undangan terhadap jaringan masyarakat sipil dan akademisi, termasuk YLBHI oleh Gugus Tugas RUU TPKS yang dipimpin Kepala Staf Kepresidenan.
”Namun, pada pelaksanaan yang melibatkan jaringan masyarakat sipil, naskah DIM yang sedianya akan dijadikan pokok bahasan utama tidak ditunjukkan dalam bentuk dokumen ataupun tayangan atau presentasi yang dapat kami lihat poin-poin yang disampaikan,” ujar Ketua Umum YLBHIMuhammad Isnur dan Syafirah Hardani, Staf Bidang Riset dan Pengembangan Organisasi YLBHI.
Para saat konsultasi tersebut, para pemateri yang terdiri dari utusan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya menyampaikan hal-hal yang ada di dalam DIM secara verbal, tidak ada penjelasan poin per poin.
Oleh karena itu, YLBHI dan sejumlah aktivis gerakan perempuan juga mempertanyakan proses tersebut. Mereka menilai masyarakat sipil dilibatkan tanpa mengetahui persis isi DIM yang disusun pemerintah sehingga dikhawatirkan masukan dan informasi yang diberikan masyarakat sipil tumpang tindih atau bahkan bertentangan dengan DIM.
”YLBHI memahami bahwa pemerintah beranggapan bahwa DIM tidak dapat dipublikasikan kepada publik. Namun paling tidak poin-poin yang disampaikan dapat dipaparkan secara jelas tervisualisasi, ataupun DIM disampaikan di tempat dengan beberapa series meeting, tidak secara verbal dan sulit kami petakan poin-poinnya,” kata Syafirah.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan tidak memfinalkan DIM RUU TPKS secara terburu-buru dan tetap membuka ruang partisipasi publik dan membahas bersama melalui konsultasi publik berikutnya.
”Seperti yang ditegaskan Kepala Staf Kepresidenan dalam banyak berita hari ini bahwa pemerintah menjamin partisipasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan seluas luasnya. Maka, partisipasi masyarakat harus dimaknai secara substantif bukan semata prosedural,” ujar Ratna Batara Munti, Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia yang juga Direktur LBH APIK Jabar.
Oleh karena itu, KSP tidak bisa hanya mengundang sekali dua kali dalam konsultasi publik yangorganisasi masyarakat sipil hanya dibatasi berbicara 5 menit dan sebelumnya tidak ada bahan yang disampaikan, minimal dalam bentuk poin-poin.
Masyarakat sipil sangat berharap ada diskusi intensif atas pasal pasal krusial seperti soal pengaturan TPKS yang secara verbal disampaikan ada perubahan cukup mendasar.
”Masyarakat sipil sangat berharap ada diskusi intensif atas pasal-pasal krusial, seperti soal pengaturan TPKS, yang secara verbal disampaikan ada perubahan cukup mendasar. Misalnya dikeluarkannya Pasal 5 tentang kekerasan siber dan Pasal 8 tentang eksploitasi seksual, meski kami apresiasi ada beberapa terobosan yang disampaikan,” tegas Ratna.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan memberikan perhatian soal restitusi, soal pemberian layanan terpadu, dan rehabilitasi pelaku. Terhadap hal-hal krusial dalam RUU TPKS perlu ada diskusi intensif dengan melibatkan masyarakat sipil, terutama mereka yangbekerja bersama korban dan mengalami banyak hambatan selama ini.
”Kami berharap ada simulasi-simulasi terkait muatan penting tersebut, juga soal sumber daya manusia dan anggarannya, untuk memastikan RUU TPKS bisa implementatif nantinya pasca-disahkan menjadi UU. Jadi tidak hanya ingin cepat karena kebetulan Presiden sudah memerintahkan demikian. Tapi memastikan kualitas atau mutu RUU ini adalah yang utama agar tujuan RUU tercapai,” kata Ratna.
Dengar aspirasi publik
Secara terpisah, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati memastikan pemerintah menerima masukan publik terkait pembahasan RUU TPKS, menyusul Surat Kementerian Sekretaris Negara yang menunjuk Kementerian PPPA sebagai leading sector mewakili Presiden dalam penyusunan pandangan pemerintah dan DIM RUU TPKS.
”Kementerian PPPA terbuka terhadap semua masukan publik untuk menyempurnakan DIM RUU TPKS. Kami sedang mengupayakan penyusunan DIM yang komprehensif dan optimal, yang dapat menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat terkait kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak,” tegas Bintang, yang sehari sebelumnya, Rabu (2/2/2022) malam berdiskusi dan menerima masukan dari beberapa pemimpin gerakan perempuan.
Kementerian PPPA akan mengawal pengesahan RUU TPKS dengan mengembangkan kerja sama, dialog di setiap tahap pembahasan sesuai mekanismenya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Karena itu penting menerima masukan dari berbagai elemen masyarakat yang berpengalaman di dalam penanganan kasus kekerasan seksual, akademisi, pekerja hak asasi manusia, pendamping korban, serta organisasi dan lembaga masyarakat.
”Aspirasi masyarakat telah didengarkan dan diupayakan sebesar-besarnya dapat masuk dan menjiwai keseluruhan rancangan peraturan perundangan ini,” kata Bintang.
Kemarin, Menteri PPPA menggelar rapat koordinasi lintas sektor dengan mengundang kementerian/kembaga terkait, sebagai upaya mempercepat penyusunan dan pembahasan DIM RUU TPKS. Hadir dalam rapat tersebut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy.
Menteri PPPA meminta kementerian/lembaga yang turut dalam penyusunan DIM untuk melakukan penyempurnaan sesuai dengan substansinya masing-masing. “Saat ini DIM RUU TPKS sebanyak 623 sudah selesai dibahas dan disepakati oleh kementerian/lembaga terkait,” ujar Bintang.
Selanjutnya, seluruh kementerian/lembaga akan melakukan pendalaman, penajaman, dan penyempurnaan substansi sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Selain itu, DIM yang sudah ada akan dirapikan untuk mengakomodasi masukan dari berbagai pihak, seperti koalisi masyarakat sipil maupun akademisi.
Mulai Sabtu (5/2) hingga Senin (7/2) depan, Kemen PPPA akan melaksanakan beberapa konsultasi publik untuk menyempurnakan DIM RUU TPKS dan pandangan pemerintah, termasuk dengan dinas pengampu perempuan dan anak dan unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA).
Muhadjir Effendy pun mendukung pembahasan DIM RUU TPKS. “Ini harus segera ditindaklanjuti, karena kalau tidak segera dipercepat, saya khawatir akan terabaikan lagi. Padahal RUU TPKS sudah sangat mendesak dan dibutuhkan oleh banyak pihak. DIM sudah disusun dan hanya perlu dirapikan kembali, saya mohon betul-betul ditargetkan penyelesaian secepat mungkin agar dapat segera diparipurnakan oleh DPR,” ujar Muhadjir.