Pesanggrahan Muntok di Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, adalah salah satu cagar budaya yang sarat sejarah. Pengunjung dapat jalan-jalan sekaligus belajar di sana.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Muntok, kota di ujung barat Kepulauan Bangka Belitung, sudah seperti laboratorium sejarah. Jika bertemu orang yang tepat, mereka dapat menceritakan momen-momen bersejarah bangsa yang pernah terjadi di Muntok. Cerita mereka bukan hanya pengetahuan, melainkan juga inspirasi bagi pengunjung.
Alfani, juru pelihara Pesanggrahan Muntok, sudah menanti di pintu ketika sedikitnya delapan pengunjung datang, Minggu (19/12/2021). Ia tidak membuka pembicaraan dengan menjelaskan apa itu Pesanggrahan Muntok. Kebetulan pengunjung sudah tahu bahwa Pesanggrahan Muntok dulu adalah rumah pengasingan Soekarno, Presiden pertama Indonesia.
Pesanggrahan Muntok dikenal juga sebagai Wisma Ranggam. Bangunan bergaya Eropa ini terdiri dari satu bangunan induk serta dua bangunan di sayap kiri dan kanan. Bangunan seluas 651,11 meter persegi ini berdiri di atas lahan seluas 7.910 meter persegi.
Mulanya, bangunan itu dibuat dari kayu. Bangunan kemudian dirombak dengan material batu bata dan semen oleh perusahaan timah Banka Tin Winning (BTW). Pesanggrahan Muntok selesai dibangun pada 1927 di bawah arahan arsitek Antwerp J Lokollo.
Wisma ini mulanya jadi rumah istirahat bagi tamu-tamu BTW. Namun, pada 5 Februari-5 Juli 1949, wisma ini jadi rumah Soekarno saat diasingkan oleh Belanda pada Agresi Militer II. Selain Soekarno, Agus Salim juga diasingkan di sini, begitu pula M Roem dan Ali Sastroamidjojo.
Sementara itu, tokoh-tokoh seperti Moh Hatta, AG Pringgodigdo, Asa’at, serta Soerjadi Soerjadarma diasingkan ke Pesanggrahan Menumbing. Lokasinya ada di puncak Bukit Menumbing, sedangkan Pesanggrahan Muntok ada di kaki bukit.
”Awalnya Soekarno ditempatkan di Pesanggrahan Menumbing. Tapi, beliau tidak tahan dingin dan memilih ke wisma ini,” kata Alfani. Dingin yang dimaksud bukan soal cuaca, melainkan peraturan Hatta (di Pesanggrahan Menumbing) yang terkesan dingin.
Hatta memang dikenal tegas dan teratur. Dalam pengasingan di Pesanggrahan Menumbing, Hatta membatasi agar setiap orang mandi dengan sepuluh gayung air. Soekarno, menurut analisis para pegiat sejarah zaman sekarang, merasa tidak bebas sehingga ia pindah ke Pesanggrahan Muntok.
Bertemu masyarakat
Kepindahan Soekarno ke kaki Bukit Menumbing justru menjadi kunci terjalinnya hubungan antara masyarakat Bangka Barat dan para tokoh bangsa. Dengan tinggal di kaki bukit, Soekarno leluasa bercengkerama dengan masyarakat, datang ke hajatan warga, dan jalan-jalan naik mobil Ford Deluxe 8 V bernomor polisi BN 10.
Hal tersebut membuat nasionalisme warga Bangka Barat semakin menggelora. Sebelumnya, Belanda membuang tokoh-tokoh bangsa ke Muntok dengan asumsi bahwa warga di sana, yang saat itu kebanyakan adalah warga keturunan Tionghoa, tidak nasionalis.
Belanda rupanya salah perhitungan. Warga di sana justru nasionalis. Mereka bahkan menyambut Soekarno begitu ia tiba di Muntok.
Pertemuan Soekarno dengan masyarakat disertai pula dengan dialog. Masyarakat menyampaikan aspirasinya, sementara tokoh negara menyimak. Aspirasi itu disebut menjadi salah satu bahan diskusi para tokoh negara yang diasingkan di Muntok.
Diskusi para tokoh negara biasanya dilakukan di Pesanggrahan Menumbing, di puncak Bukit Menumbing. Hatta disebut kerap berkontemplasi selama di pengasingan. Ia juga berdiskusi dengan rekan-rekannya. Pemikiran para tokoh negara ini yang nantinya dibawa ke Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat Bambang Haryo Suseno mengatakan, penyerahan kedaulatan Belanda ke Indonesia bermula dari Bangka. Keberhasilan pertama ditandai dengan Perjanjian Roem-Royen, dilanjutkan dengan perundingan di Den Haag, lalu berujung ke berakhirnya perselisihan antara Belanda dan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Mengangkat nilai sejarah
Kepala Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi Agus Widiatmoko mengatakan, nilai-nilai sejarah ini akan diangkat kembali. Masyarakat, wisatawan, dan khususnya generasi muda diharapkan bisa mempelajari dan terinspirasi dari sepak terjang para tokoh bangsa.
Kami mau mengangkat kembali nilai-nilai sejarah, utamanya dari bapak pendiri bangsa.
”Kami mau mengangkat kembali nilai-nilai sejarah, utamanya dari bapak pendiri bangsa,” kata Agus. Dua bangunan ini (Pesanggrahan Menumbing dan Pesangrahan Muntok) sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Namun, kalau bangunan hanya dilestarikan tanpa dijadikan tempat wisata edukatif, tempat ini akan jadi biasa saja.
Hingga kini, para pemangku kepentingan masih mendiskusikan cara terbaik untuk menghidupkan bangunan cagar budaya tersebut, berikut nilai-nilai sejarah yang tersimpan di dalamnya. Menurut Direktur Kreatif di Luar Kotak Andre Donas, narasi sejarah perlu dibuat dengan pendekatan yang disesuaikan dengan target audiens, yakni generasi muda.
Elemen visual mesti ditonjolkan. Hal itu sesuai dengan karakter anak muda zaman sekarang yang kerap mengonsumsi konten visual. Narasi sejarah juga mesti disusun sedemikian rupa agar tidak hanya berupa panel berisi tulisan panjang. Narasi sejarah agar dapat disampaikan kepada audiens secara interaktif.