Mengenang Bung Karno, Mengenang Bung Hatta
Kalau ada bangsa yang masih sulit memetakan masa depannya dengan pasti, Indonesia mungkin salah satunya. Padahal, bagi Bung Karno dan Bung Hatta, corak masa depan itu cukup jelas.

Dalam rangka merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-76 pada 17 Agustus 2021 ini, izinkan saya sebagai warga sepuh menulis kenangan akan dua tokoh besar Bung Karno (1900-1970) dan Bung Hatta (1902-1981).
Bung Karno dan Bung Hatta punya posisi yang sangat penting dan krusial dalam membingkai sejarah modern Indonesia.
Bung Karno yang berapi-api adalah salah satu orator terbesar abad ke-20 di muka bumi dan Bung Hatta tipe manusia tenang, tetapi menghanyutkan. Keduanya hasil tempaan kekejaman kolonialisme di negeri ini dengan kepribadian khas masing-masing.
Coba buka kembali IM (Indonesia Menggugat, 1930) Bung Karno dan IM (Indonesia Merdeka, 1928) Bung Hatta, dua bentuk pembelaan sebagai protes keras dan berani terhadap sistem penjajahan yang mengisap bangsa ini. Satu disampaikan di Bandung, satu lagi di Den Haag, Belanda.
Dengan membaca ulang dua warisan sejarah ini, semakin sadarlah kita betapa dahsyatnya ruh kedua tokoh bangsa di saat kritikal itu.
Simaklah kutipan di bawah ini bagaimana Bung Karno mengentak untuk menjelaskan tujuan pembelaannya.
"Dan jikalau nanti kami uraikan segala kami punya keyakinan politik, jikalau nanti kami beberkan segala sifat-sifat PNI dan segala penglihatan atau ideologi kami, jikalau nanti kami masukkan ‘politik’ di dalam gedung mahkamah ini, maka itu bukan untuk mempropagandakan kebenaran kami punya keyakinan itu, melainkan hanya supaya Tuan-tuan bisa mengetahui asas, sifat, dan aksinya PNI, dan bisa menakar, bisa mengerti, bisa begrijpen [memahami] kami punya penglihatan politik dan karena itu, mengerti isi dan maksud segala perkataan dan tindakan kami yang Tuan-tuan periksa dalam proses ini". (Ir Soekarno, Indonesia Menggugat. Yogyakarta: Aditya Media, 2004, hlm 11).
Lagi: “Siapa yang masih mengharapkan pertolongan dari sistem imperialisme, siapa yang masih percaya akan ‘anugerah’ yang akan dianugerahkan olehnya, siapa yang masih menurut akan omongan ‘mission sacree’, siapa yang masih mengarahkan mukanya ke Barat. Ini adalah sama sekali buta akan kenyataan yang sebenarnya, buta akan realiteit.”

Pembicaraan antara Presiden Soekarno dengan Wakil Presiden Moh. Hatta sekitar pembentukan Kabinet, Juni 1953. IPPHOS
Seru, kan? Itu baru dua kutipan. Seluruh isi pidato pembelaan sekitar 200 halaman itu bagi saya sungguh dahsyat menggelegar, menciutkan nyali hakim kolonial. Sekarang, simak pulalah cara Bung Hatta dalam pembelaannya di Den Haag yang membuat hati ini terenyuh.
"Kalau mahasiswa Belanda, Perancis dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda mereka yang serba menggembirakan, maka pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan yang siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya, dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, dan membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya". (Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 13). Aslinya dalam Bahasa Belanda, diterjemahkan oleh Drs Hazil).
Betul, kan, Bung Hatta tenang menghanyutkan? Dalam usia begitu belia saat menyampaikan pembelaannya. Bagian akhir pidatonya, Bung Hatta mengingatkan penjajah akan hukum besi sejarah.
"Nederland let op uw saeck" (Nederland, jaga baik-baik kepentinganmu) sering diucapkan oleh mereka yang mendorong pemerintah kolonial untuk melanjutkan terus politik tangan besinya. Dari tempat ini saya mau melontarkan kembali kata-kata yang sama kepada mereka itu, sambil memperingatkan bahwa kepentingan Nederland tidaklah tertolong oleh kesewenang-wenangan dan pameran kekuatan dalam menghadapi arus pasang nasionalisme Indonesia, bahkan sebaliknya! Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia akan berakhir, buat saya telah merupakan suatu kepastian. Tinggal persoalan waktu saja lagi, cepat atau lambat, bukan ya atau tidak. Bangsa Belanda harus menerima hukum besi sejarah ini, terlepas dari apakah dia mau menerimanya atau tidak. Dan janganlah Nederland memukau diri, bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh tegak sampai akhir jaman". (Ibid, hlm 147).
Itulah empat kutipan heroik dari kedua tokoh bangsa yang berasal dari dua sumber pidato pembelaan mereka dalam menghadapi sistem kolonial yang amat menghina dan menyakitkan itu.
Kegamangan ke depan
Selanjutnya, mari kita tengok gerak sejarah berikutnya dalam kaitannya dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Sebuah drama hubungan dua manusia hebat yang pernah mengguncangkan Indonesia. Dua manusia pejuang yang cintanya terhadap negeri ini sampai ke tulang sumsum. Tetapi mengapa kita masih juga gamang mengarahkan gerak sejarah bangsa ini ke depan?
Kalau ada bangsa yang masih sulit memetakan masa depannya dengan pasti, Indonesia mungkin salah satunya. Padahal, bagi Bung Karno dan Bung Hatta, corak masa depan itu cukup jelas. Modal kita secara kultural adalah bahwa pembentukan bangsa mendahului pembentukan negara di Indonesia, yaitu sudah dimulai sejak dasawarsa pertama abad ke-20 dan puncaknya pada dasawarsa ketiga abad itu.
Sementara negara Indonesia sebagai konsep politik baru muncul melalui proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Secara teori, fondasi bangunan bangsa kita seharusnya sudah cukup kokoh, sekiranya kesalahan-kesalahan fatal tak terjadi pada periode pasca-proklamasi.
Di antara kesalahan itu, tak dilaksanakannya Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata. Komitmen yang serba verbalistik kepada kelima sila itu adalah dosa politik yang terbesar yang pernah dilakukan bangsa ini, khususnya oleh beberapa pemimpin puncaknya, terutama sejak 1950-an. Atau apakah karena dasar Pancasila itu terlalu mendahului zaman, para elite belum siap melaksanakannya?
Secara teori, fondasi bangunan bangsa kita seharusnya sudah cukup kokoh, sekiranya kesalahan-kesalahan fatal tak terjadi pada periode pasca-proklamasi.
Sekiranya Soekarno-Hatta tetap bergandengan tangan untuk waktu yang agak lama, dapat diperkirakan Indonesia akan mengalami perkembangan lain yang jauh lebih baik dan lebih bermartabat dibandingkan yang kita saksikan kemudian.
Sebenarnya Soekarno secara formal tak menginginkan Hatta melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956, tetapi itu sudah tak mungkin. Dasar watak Hatta yang kukuh, jika keputusan telah diambil, hampir tak mungkin ia akan surut, sekalipun berbagai pihak membujuknya, termasuk sahabat terdekatnya.
Ibarat sebuah mobil, Soekarno gasnya, sementara Hatta remnya. Soekarno pasca-Hatta ibarat mobil tanpa rem. Mobil tanpa rem itu akhirnya tabrak sini dan tabrak sana, kadang-kadang laju dengan persneling lima. Yang kurang diperhitungkan oleh kedua tokoh itu waktu itu adalah bahwa penumpang mobil itu sebuah bangsa besar yang baru merdeka, mendiami sebuah rantai kepulauan yang ribuan banyaknya.

Menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI, mural potret Presiden Pertama RI Soekarno menghiasi ruang-ruang publik di sudut kota, seperti yang terlihat di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, Jumat (6/8/2021). Sosok Proklamator yang akrab disapa Bung Karno itu menjadi salah satu tokoh paling inspiratif dan dicintai rakyatnya. Hingga kini potret serta kata-katanya tak pernah hilang dari dinding kota dan ruang publik.
Perbedaan subkultur yang melatarbelakangi Soekarno dan Hatta telah menyebabkan keduanya berpisah dalam politik, sekalipun hubungan pribadi antara mereka tetap terjalin sampai akhir hayatnya. Perpisahan Soekarno-Hatta ternyata punya dampak beruntun bagi perjalanan sejarah modern Indonesia seperti tergambar di bawah ini.
Pertama, meledaknya pergolakan daerah yang langsung atau tak langsung adalah karena Hatta meninggalkan posisi sebagai wapres. Hatta adalah simbol orang sabrang (luar Jawa). Tetapi kita yang masih hidup ini tentu tak bisa memutar jarum ke belakang. Semua sudah berlalu. Tak perlu diratapi.
Perpisahan Soekarno-Hatta ternyata punya dampak beruntun bagi perjalanan sejarah modern Indonesia.
Bung Karno dan Bung Hatta sudah lama bersemayam di alam sana dalam perjalanan masing-masing di alam barzah, menanti kiamat. Kenanglah segala yang baik, lupakan dan maafkan kekurangan mereka. Perbedaan watak keduanya memang tajam, tetapi sekiranya dapat dikelola dengan bijak tentu saling melengkapi.
Kedua, berkat kerja sama Presiden Soekarno dengan TNI, pembangkangan daerah yang dipelopori perwira Angkatan Darat yang sakit hati ini berhasil dipadamkan dengan meninggalkan luka berat bagi pihak yang dikalahkan. Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai warga negara telah berusaha keras agar dicari solusi damai antara Jakarta dan daerah bergolak. Tetapi sayang, semua upaya itu berujung dengan jalan buntu.
Daerah bergolak terparah Sumatera Barat, tempat asal Bung Hatta, karena proklamasi pemerintah tandingan dalam bentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada 15 Februari 1958 dipusatkan di sana. Hanya dalam tempo tiga tahun PRRI sudah lumpuh.

Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera. Letjen Soeharto menjadi Ketua Presidium kabinet tersebut. Bung Karno sedang mengumumkan susunan kabinet tersebut pada tanggal 25 Juli 1966. Letjen Soeharto dan Adam Malik duduk mendengarkan
Ketiga, dengan mundurnya Bung Hatta sebagai wapres, kian terbukalah peluang besar bagi PKI untuk memainkan kartu politik kekuasaannya dengan berlindung di bawah payung Soekarno. Bung Hatta dikenal sebagai tokoh yang tak percaya pada PKI. Partai Masyumi, lawan tangguh PKI, dibubarkan Desember 1960 dengan alasan beberapa tokohnya terlibat PRRI. Pembubaran ini tak bisa dipisahkan dari peran PKI yang memang sudah lama ingin Masyumi menghilang dari panggung politik nasional.
Keempat, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit dengan membubarkan Majelis Konstituante dan menyatakan UUD 1945 berlaku kembali. Maret 1960 parlemen dibubarkan. Situasi politik sangat memanas. Bung Hatta menentang semua kejadian ini, tetapi dia tak berdaya. Dengan payung UUD 1945 ini Soekarno kemudian menciptakan sistem politik baru dalam bentuk Demokrasi Terpimpin (1959-1966).
Sistem baru ini ternyata hanya berumur pendek, sesuatu yang sudah diperkirakan Bung Hatta dalam artikelnya “Demokrasi Kita”, yang muncul pertama kali Mei 1960. Dengan terjadinya prahara politik G30S/PKI 1965, sistem Demokrasi Terpimpin runtuh dengan sendirinya. PKI pada 12 Maret 1966 dibubarkan oleh penguasa baru Jenderal Soeharto, sekalipun Soekarno secara resmi baru diganti 1968 lewat sidang MPRS, pimpinan Jenderal AH Nasution.
Kelima, setelah Presiden Soekarno diberhentikan, sebenarnya Bung Hatta punya peluang menggantikannya sebagai presiden kedua RI. Tetapi pintu untuk itu ditutup rapat oleh penguasa baru yang memang tak nyaman dengan sistem demokrasi. Dan Hatta adalah demokrat sejati, dalam teori dan praktik.
Bangkitlah Indonesia
Demikianlah sketsa ringkas tentang hubungan Bung Karno dan Bung Hatta, terutama di era pasca-proklamasi. Keduanya telah menempuh jalan hidup dan kariernya masing-masing. Bung Karno lebih dulu wafat dalam keadaan yang kurang elok diperlakukan oleh penguasa baru. Sebelas tahun kemudian Bung Hatta menyusul sahabatnya itu menghadap penciptanya. Semoga Allah memaafkan segala kesalahan dan kekurangan kedua tokoh yang fenomenal ini. Amin!

Presiden Joko Widodo mengukuhkan 68 pelajar SMA sebagai anggota pasukan pengibar bendera pusaka atau paskibraka di Halaman Istana Merdeka pada Kamis (12/8/202) sore.
Di saat Bung Karno sedang bergumul di atas pembaringan kematiannya, Bung Hatta mengunjungi sahabatnya ini. Keduanya diam terpaku, air mata Bung Hatta meleleh. Jam perpisahan itu sudah amat dekat.

Ahmad Syafii Maarif
Akhirnya, sambil tetap mengenang keduanya, dengan dasar Pancasila, marilah kita bersepakat untuk terus mengucapkan: “Bangkitlah Indonesiaku!” Arwah Bung Karno dan Bung Hatta akan menangis di alam sana, jika generasi yang datang kemudian melupakan cita- cita besar yang telah digagas kedua pemimpin puncak ini, yaitu kemerdekaan bangsa yang berdaulat penuh!
Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005