Pesanggrahan Menumbing di Kepulauan Bangka Belitung punya lorong waktu yang membawa Anda melintasi waktu dari tahun 1920-an ke 2021. Selamat berselancar dalam lorong sejarah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Ruang utama Pesanggrahan Menumbing kosong beberapa tahun lalu. Ruangannya berdebu dan usang. Di dinding ada pajangan foto-foto dan tulisan lama, dokumentasi saat Wakil Presiden pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta dan sederet tokoh negara Indonesia zaman dulu diasingkan di sana oleh Belanda. Selebihnya ruangan itu diam, tak bernyawa, dan renta dimakan waktu.
Pesanggrahan Menumbing ada di puncak Bukit Menumbing, Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Ketinggiannya sekitar 445 meter di atas permukaan laut. Lokasinya di ujung barat Bangka Belitung, sekitar 140 kilometer dari ibu kota Pangkal Pinang atau setara 2-3 jam naik mobil.
Jalan menuju Pesanggrahan Menumbing menanjak dan berliku tajam. Lebar jalan di bukit sekitar dua meter, cukup untuk satu mobil. Sisi kiri-kanannya hutan.
Pepohonan tidak lagi rapat di puncak bukit. Di sana ada bangunan berlantai dua dengan atap dak. Gaya arsitekturnya nieuwezakelijkheid alias new objectivity, gaya arsitektur modern Belanda di era 1920-an. Bangunannya luas, sekitar 643 meter persegi.
Pesanggrahan Menumbing dulu adalah Berghotel Menumbing yang dibangun pada 1927-1930, kemudian diresmikan sebagai hotel pada 1928. Fasilitas di hotel itu antara lain listrik, telepon, air mengalir, dan lapangan tenis.
Dua dekade kemudian, tepatnya 22 Desember 1948, rombongan tokoh negara diasingkan ke sana. Mereka adalah Moh Hatta, Sekretaris Negara AG Pringgodigdo, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Asa’at, serta Kepala Staf TNI Angkatan Udara Soerjadi Soerjadarma. Soekarno menyusul, tetapi kemudian pindah ke Pesanggrahan Muntok di kaki Bukit Menumbing.
Pesanggrahan Menumbing bukan lagi hotel beken saat tokoh-tokoh negara tiba. Listrik dan air mengalir tidak ada. Toiletnya bau. Kasur pun tidak ada.
Mereka semua ditempatkan di ruang utama yang dipagari teralis besi. Mereka dipenjara di sana selama beberapa pekan. Belanda baru membongkar kerangkeng itu setelah diprotes dunia internasional.
Ruang berpagar besi itu yang kini disulap jadi ruang pamer. Isinya narasi-narasi sejarah, barang sejarah, hingga instalasi patung Soekarno-Hatta. Tidak seperti bangunannya, pameran itu jauh dari kesan ”tua”.
Dimensi lain
Pintu Pesanggrahan Menumbing seperti wormhole (”lubang cacing”) menuju dimensi lain. Saat pintu dibuka, pengunjung tahu-tahu tiba di ruang aesthetic ala abad ke-21. Ruangannya sejuk pula. Ruang utama yang semula kusam dan berdebu kini setara museum modern.
Ruang utama—yang kini jadi ruang pamer—didominasi warna hitam dengan pencahayaan kuning lembut. Di sisi kanan ruangan ada panel sentuh yang menceritakan pengasingan para pemimpin RI ke Bangka Barat di masa Agresi Militer II. Sekali sentuh, tulisan dan animasi kisah pengasingan bakal muncul di panel.
Beberapa meter dari pintu masuk ada atrium berisi patung Soekarno-Hatta, lengkap dengan fitur video mapping yang menampilkan kutipan-kutipan para tokoh bangsa. Salah satu kutipannya berbunyi: ”Memimpin adalah menderita”, kata Agus Salim.
Konsultan tata pamer Pesanggrahan Menumbing, Andre Donas, mengatakan, pameran ini menggunakan pendekatan baru. Orientasi pameran tidak berpaku ke artefak, melainkan narasi. Orientasi pameran ke pengunjung, bukan benda.
”Kami ingin menampilkan kesan, bukan sekadar pesan. Yang penting adalah membangun narasi yang membuat pengunjung sadar bahwa ini tempat penting untuk kedaulatan negara,” kata Andre di Pangkal Pinang, Senin (20/12/2021).
Karakter Hatta banyak ditonjolkan dalam pameran ini. Ruang pamer yang gelap melambangkan kontemplasi, sama seperti Hatta yang banyak merenung selama masa pengasingan. Ia juga berdiskusi dengan tokoh-tokoh negara dan masyarakat.
Semburat cahaya temaram di ruangan yang gelap melambangkan ide. Dari pengasingan di Bangka Barat ini lahir sejumlah gagasan kebangsaan. Gagasan ini yang akhirnya dibawa ke Konferensi Meja Bundar untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Itu sebabnya pameran ini bertema Cahaya Kebangsaan.
Andre yang juga Direktur Kreatif Luar Kotak, sebuah komunitas kreatif, bekerja sama dengan anak-anak muda buat mewujudkan pameran ini. Pemerintah Kabupaten Bangka Barat hingga Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi pun terlibat.
Pengembangan
Cahaya Kebangsaan masih berupa pameran tahap awal. Pameran masih akan dikembangkan sejalan dengan rencana pemugaran cagar budaya Pesanggrahan Menumbing.
”Tahun depan bukan hanya narasi sejarah, melainkan juga dinamika masyarakat masa dulu yang mendukung tokoh-tokoh bangsa dan kemerdekaan. Belanda membuang tokoh negara ke Bangka karena mereka pikir masyarakatnya tidak nasionalis. Rupanya mereka salah,” kata Kepala BPCB Jambi Agus Widiatmoko.
Ini upaya mengangkat kembali nilai-nilai sejarah bangsa. Bangunan bersejarah agar menjadi laboratorium sejarah untuk menguatkan karakter kebangsaan.
Ia menambahkan, ada rencana menjadikan taman hutan rakyat (tahura) Menumbing sebagai tempat belajar alam. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bangka Barat Ridwan mengatakan, tahura ini luasnya 3.333,2 hektar dan ada sejumlah tanaman endemik.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bambang Haryo Suseno, peran Bangka penting dalam merebut kedaulatan negara secara diplomatis. Sementara Menteri Sosial Tri Rismaharini yang hadir di Muntok mengatakan, penting untuk mengangkat kembali sejarah bangsa agar publik memahami perjuangan bangsa secara utuh.