Perubahan Pendidikan Perlu Libatkan Partisipasi Publik
Dalam menyusun kebijakan untuk transformasi pendidikan, Kemendikbudristek mendengar masukan dari banyak pihak. Akan tetapi, beberapa pihak menilai Kemendikbudristek terlalu cepat dalam mengambil kebijakan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perubahan untuk kemajuan pendidikan nasional yang dilakukan pemerintah tidak akan berkesinambungan jika dilakukan tergesa-gesa dan minim pelibatan publik. Dua tahun terakhir, partisipasi publik dinilai minim dalam berbagai kebijakan pendidikan yang dilakukan pemerintah, sehingga transformasi yang ditawarkan dan dijalankan tidak dipahami arahnya.
Dalam acara Satu Frekuensi Bertajuk Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Nasional yang digelar Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Kamis (30/12/2021), Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, refleksi bukan berarti untuk mencari kekurangan, karena ada juga hal positif dari kebijakan pemerintah yang diapresiasi.
“Tapi ada yang masih mengganjal pikiran kita tentang berbagai kebijakan pendidikan yang wajib kita lihat supaya jangan mengulang kesalahan dan kekurangan di masa lalu,” ujarnya.
Niat baik penyederhanaan kurikulum misalnya, ujar Unifah, sebenarnya baik dan sejalan dengan perjuangan PGRI. Sayangnya, kebijakan ini dianggap kurang melibatkan banyak pihak sehingga menimbulkan kebingungan dan kegaduhan.
“PGRI selalu mendukung perubahan kurikulum pada masanya. Kurikulum diubah ada baiknya. Namun, yang ingin kami sampaikan, jangan sampai tidak melibatkan banyak pihak sehingga tidak dipahami. Pendidikan itu untuk semua dan berkeadilan,” kata Unifah.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. Ada kelemahan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dinilai terlalu cepat dan tergesa-gesa mengambil kebijakan tanpa membuka ruang konsultasi publik yang luas. “Akibatnya ada banyak kegaduhan yang dialami dan kontradiktif dengan agenda transformasi yang dipikirkan sendiri oleh pemerintah. (Dengan) absennya agenda pelibatan publik secara luas, akhirnya kebijakan berpotensi sempit. Hal ini sering dikeluhkan banyak pihak,” kata Syaiful.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Muti mengingatkan tentang penyelenggaraan pendidikan yang harus mengikuti sistem. Ada aturan hukum dan peraturan berlaku yang diikuti, bukan mengikuti siapa yang memimpin.
“Bicara keberlangsungan pendidikan untuk berkesinambungan dalam upaya memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa ini, jangan sampai dominan dipengaruhi pergantian kepemimpinan di kementerian. Ada keinginan membawa perubahan revolusioner, tapi tidak jelas ujungnya,” ujar Abdul.
Proses pendidikan, ujar Abdul, merupakan bagian dari kesejarahan yang panjang dan unik, khas Indonesia. Sebab, Indonesia digali dari kebijakan yang ada di dalam budaya dan masyarakat secara keseluruhan serta pendidikan adalah bagian dari kedaulatan budaya.
“Pendidikan Indonesia tumbuh dari bawah ke atas (bottom up), dari masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah indikasi dari demokrasi yang sehat yang masyarakatnya majemuk. Karena itu, partisipasi publik jangan dianggap memperlambat keinginan. Kita harus mengikuti dinamika, tetapi yang esensial dipertahankan dan hal baru dipelajari sebagai konsekuensi dari dunia yang berubah,” kata Abdul.
Partisipasi publik jangan dianggap memperlambat keinginan. Kita harus mengikuti dinamika, tetapi yang esensial dipertahankan dan hal baru dipelajari sebagai konsekuensi dari dunia yang berubah.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Pendidikan Cecep Darmawan mengatakan, selama beberapa dekade, pendidikan di Indonesia ada kemajuan meski masih tertinggal dari negara lain.
Terkait kebijakan pendidikan, Cecep menilai pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan aspek regulasi dan minim kajian akademik. Akibatnya, terjadi inkonsistensi dan disharmoni kebijakan pendidikan.
“Kebijakan pendidikan yang dibentuk kurang melibatkan partisipasi publik, sehingga kerap mendapat protes dan penolakan dari berbagai pihak. Kebijakan pendidikan yang dibentuk saat ini terkesan seolah-olah sedang melakukan testing the water atau trial and error. Akibatnya, kesinambungan atau keberlanjutan suatu kebijakan kurang diperhatikan,” kata Cecep.
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengingatkan negara harus hadir dalam mengelola pendidikan untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan pendidikan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Terkait dimensi keadilan dalam kebijakan pendidikan, Doni mengatakan pemerintah harus melayani warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Di sinilah, terbuka peran serta masyarakat dalam pendidikan yang sudah menjadi sejarah sebelum negara ini merdeka.
“Sebelum negara merdeka, masyarakat sudah berperan dalam pendidikan. Jadi, partisipasi masyarakat seharusnya jadi spirit utama dalam mengelola pendidikan,” kata Doni.
Doni mengingatkan kebijakan tentang guru lewat guru penggerak maupun sekolah penggerak, dinilai tidak adil, karena ada yang ditinggalkan. Peningkatan mutu guru dan sekolah harus dilihat secara demografi dan berkeadilan.
“Tidak boleh ada guru-guru yang ditinggalkan saat mereka sama-sama melakukan tugas mendidik anak bangsa. Guru penggerak ini merupakan program yang terbatas dan mahal, sementara jumlah guru lebih dari tiga juta orang. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana semua guru ini maju bersama-sama dengan dukungan pemerintah pusat dan daerah yang sama,” kata Doni.
Revisi UU sisdiknas
Syaiful Huda mengatakan untuk mendukung transformasi pendidikan yang berkesinambungan perlu perbaikan sistem pendidikan nasional. Hal ini dilakukan dengan rencana merevisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dibuat tahun 2003.
Menurut Syaiful, DPR dan Kemendikbudristek sudah sepakat dengan agenda merevisi UU Sisdiknas yang menyeluruh. Selain itu, melakukan penataan UU terkait pendidikan supaya menjadi satu regulasi. Saat ini, selain UU Sisdiknas, ada UU Pendidikan Tinggi dan UU Guru dan Dosen.
“Kami minta pada pemerintah supaya dibuka ruang publik yang luas untuk bisa ikut membahas perubahan UU Sisdiknas, supaya agenda penting dan inti untuk transformasi pendidikan jangan sampai tidak terdiskusikan di ruang publik dan masuk dalam UU Sisdiknas,” ujar Syaiful.
Cecep mendukung dibentuknya UU Sisdiknas baru sesuai dengan model omnibus law supaya pendidikan nasional mengacu pada satu UU. “Dalam perumusannya perlu melibatkan seluruh elemen pendidikan dan pemangku kebijakan pendidikan dalam merumuskan setiap kebijakan,” kata Cecep.
“Sudah saatnya pemerintah mengedepankan kebijakan pendidikan yang inklusif, sistematis, berbasis akademis, dan partisipatif juga berkelanjutan tanpa harus terlebih dahulu melakukan coba-coba (trial and error) dalam kebijakan pendidikan,” kata Cecep.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan keberhasilan dalam pendidikan sangat menantang karena hasilnya baru bisa terlihat di masa depan. Indikasi perubahannya terlihat, tetapi hasilnya baru akan terasa lama.
Dalam menyusun kebijakan untuk transformasi pendidikan, Nadiem mengatakan, ia mencoba mendengar masukan dari banyak pihak.
"Lalu pertanyaannya, mendengar dari siapa? Yang saya pelajari, yang terpenting mendengar dengan membuat hierarki dari siapa stakeholders terpenting. Yang jelas guru dan kepala sekolah karena mereka kepanjangan kita di sekolah. Tentunya setelah itu baru murid-murid dan orangtua, pakar-pakar dan lain-lain," kata Nadiem.
Nadiem mengatakan, sebagai contoh dalam hal perubahan kurikulum, yang ditanya bagus atau tidak adalah guru. Demikian pula, yang menulis kurikulum ya guru, dan yang meringkas juga guru.
"Filsafat kita harus benar-benar jelas pengguna atau user-nya ini siapa. Siapa stakeholders yang terpenting. Mendengar juga sangat penting, tapi memprioritaskan siapa yang didengar," kata Nadiem.