Perlu Fokus Mendukung Kualitas Pendidikan di Masa Pandemi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diminta untuk tidak memaksakan berbagai kebijakan pendidikan yang belum urgen di masa pandemi Covid-19 ini.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akan menggelar asesmen nasional serta menyusun kurikulum baru di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Sejumlah pihak menilai pelaksanaan dua program ini belum mendesak dan justru akan memperlebar kesenjangan pendidikan di masa pandemi.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, Kamis (29/7/2021), meminta rencana pelaksanaan Asesmen Nasional (AN) pada akhir 2021 dibatalkan selama masa pandemi Covid-19 belum terkendali.
”Jika AN tetap dipaksakan di masa pandemi ini, hasilnya juga akan berpotensi sama dengan hasil pemetaan yang sudah ada, seperti Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia dan PISA (Program Penilaian Siswa Internasional) sebelumnya. Bahkan, bisa lebih buruk lagi. Lebih baik energi dan anggaran difokuskan untuk segera membenahi ancaman learning loss karena pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang belum optimal,” kata Zanatul.
Menurut Zanatul, PJJ yang sudah 1,5 tahun dilaksanakan masih belum efektif. PJJ melahirkan problematika makin besarnya fakta ketimpangan digital. Akibatnya, ada siswa dan guru yang sanggup melaksanakan proses pembelajaran, sementara banyak juga siswa dan guru lain yang tak dapat melakukan PJJ.
Anggota Dewan Pakar P2G, Suparno Sastro, menambahkan, dengan fakta ketimpangan digital selama PJJ, Permendikbud No 17/2021 tentang AN Pasal 5 Ayat 4 justru menambah ketimpangan menjadi diskriminasi baru bagi siswa. Prasyarat AN harus dilaksanakan di tempat yang memiliki akses internet. Realitanya, ada sekitar 120.000 SD yang belum memiliki TIK (komputer) minimal 15 paket, juga 46.000 sekolah yang sama sekali tidak punya akses internet, bahkan aliran listrik. Belum lagi ditambah kualitas sinyal internet yang buruk di beberapa wilayah.
Potret PJJ yang tak efektif, ketimpangan digital yang makin menganga, akses, dan kualitas jaringan internet pendukung PJJ yang belum berubah signifikan berakibat angka putus sekolah meningkat selama PJJ. Ini masih ditambah kompetensi guru dalam melaksanakan pedagogi digital yang rendah. Semestinya, persoalan-persoalan mendesak ini menjadi fokus pembenahan Kemendikbud Ristek bersama lintas kementerian lain dan pemerintah daerah.
Sudah banyak data tentang kondisi pendidikan Indonesia. Ada akreditasi sekolah yang selama ini sudah dapat memotret delapan standar nasional pendidikan secara utuh dan otentik. Akreditasi ini dilakukan oleh lembaga mandiri di luar Kemendikbud Ristek secara periodik.
Sementara Survei Lingkungan Belajar juga setiap tahun dibuat Kemendikbud Ristek, diisi oleh sekolah melalui format Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan Peta Mutu Pendidikan (PMP). Karena EDS ini dibuat pemerintah, tentu sekolah akan mengisi dengan jawaban yang baik-baik saja. Potensi masalah baru akan timbul.
Survei Karakter dan Lingkungan Belajar juga akan bernasib sama, yaitu sekolah, guru, dan siswa berlomba mengisi survei dengan jawaban yang positif-positif agar sekolah mereka dilabeli predikat baik, bahkan sangat baik, oleh Kemendikbud Ristek.
”Survei Lingkungan Belajar dan Survei Karakter tidak akan memotret secara komprehensif dan otentik ekosistem sekolah. Sepanjang metode yang digunakan Kemendikbud Ristek itu-itu saja,” kata Iman.
Kurikulum baru
Secara terpisah, di webinar Satu Frekuensi bertajuk ”Kurikulum Sekolah Penggerak Solusi Atau Masalah di Masa Pandemi?” yang digelar Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis (APKS) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sabtu (24/7/2021), Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan, dalam kondisi pandemi ini, yang dibutuhkan dukungan riil untuk membantu guru menerapkan kurikulum yang sederhana dan darurat. Para guru dan sekolah butuh dukungan untuk bisa melewati masa sulit ini, bukan dengan program-program baru yang dinilai tidak relevan sekarang, termasuk dengan rencana implementasi kurikulum baru di sekolah penggerak.
Yogi Anggraena dari Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan, Kemendikbud Ristek, mengatakan, memang ada sejumlah intervensi di sekolah penggerak, termasuk kurikulum. Tujuannya untuk meningkatkan mutu dan kualitas pembelajaran, tidak hanya dari kurikulum, tapi juga peningkatan sumber daya sekolah meliputi kepala sekolah, pengawas, dan guru.
”Melakukan pengembangan kurikulum, pembelajaran dengan kurikulum fleksibel, dan program Merdeka Belajar. Namun, sejauh ini belum disebut kurikulum baru, tapi pembelajaran dari sekolah penggerak,” kata Yogi.
Menurut Guru Besar Universitas Indonesia Said Hamid Hasan, perubahan kurikulum sah-sah saja. Jika dianggap Kurikulum 2013 tidak relevan, bisa diubah, tapi kalau masih relevan bisa dipakai.
”Dalam uji coba kurikulum baru, sekolah penggerak yang dipilih harus mewakili karakteristik sekolah di Indonesia. Pengembangan kurikulum tidak hanya akademik dan pedagogi, tapi perhatikan juga kebijakan hukum,” ujar Hamid.
Hamid mengatakan, yang diharapkan bangsa saat ini adalah bisa membina sekolah dalam masa pandemi. Sebab, kita tidak tahu kapan pandemi berakhir.
Karena itulah diperlukan dukungan pengembangan konsep-konsep agar pembelajaran tetap bisa berkualitas. Ini semua tidak hanya untuk pengetahuan, tetapi juga agar kemampuan berpikir siswa terlatih dengan baik. ”Ini seharusnya jadi fokus daripada mulai uji coba kurikulum baru,” kata Hamid.
Pemerhati pendidikan Darmaningtyas mengatakan, program sekolah penggerak adalah bagian dari proses kastanisasi baru dalam pendidikan atau wajah baru dari almarhum rintisan sekolah bertaraf internasional. ”Kalau kurikulum ini dikembangkan yang diuji coba di sekolah penggerak, ini melanggar dari prinsip pendidikan yang seharusnya nondiskrimiantif,” ujar Darmaningtyas.
Hampir dua tahun masyarakat mengalami tekanan psikologis akibat pandemi. Publik lebih mengutamakan soal keselamatan dan bertahan hidup secara ekonomi.
”Yang dibutuhkan kebijakan di pendidikan yang meringankan tekanan psikologis dan ekonomi siswa serta orangtua, bukan membuat suatu desain kurikulum baru yang urgensinya rendah,” kata Darmaningtyas.