Penggunaan kata syariah pada tekfin (tekfin syariah) sebenarnya mengganggu dan kurang tepat. Semata untuk kepentingan pasar dan pemasaran jenama oleh pelaku industri?
Oleh
Faizi, Dosen Ekonomi Syariah FEB UPN Veteran Jakarta
·3 menit baca
Belum diketahui secara pasti siapa orang pertama yang menggunakan istilah teknologi finansial (tekfin) syariah. Yang pasti kata syariah yang dilekatkan pada tekfin cukup berhasil menjadi jenama bisnis dalam layanan keuangan berbasis teknologi informasi.
Hampir semua layanan keuangan, yang sebelumnya dijalankan secara tradisional oleh institusi perbankan dan non-perbankan, kini tersedia dalam bentuk layanan digital dengan pelbagai bentuk dan varian: pendanaan, pinjaman, investasi, dana kelolaan, asuransi, dan lain-lain. Tentu dengan tambahan kata syariah, baik di depan maupun di belakang.
Penggunaan kata syariah pada tekfin sebenarnya cukup mengganggu dan kurang tepat. Kekurangtepatan ini terasa mengganggu sekali ketika dikaitkan dengan definisi teknologi finansial oleh Wharton Fintech Club yang mendefinisikan tekfin sebagai penggunaan teknologi informasi untuk efektivitas dan efisiensi sistem dan layanan keuangan modern (Oseni dan Ali 2019).
Jadi, kata kuncinya terletak pada teknologi, dan teknologi nir syariah. Dalam artian tidak terkait dengan status kesyariahan terhadap sesuatu yang dihasilkan dari rahim kecanggihan teknologi.
Penggunaan label syariah juga mengharuskan terpenuhinya aspek legal-formal syariah pada semua produk dan layanan yang ditawarkan tekfin seperti halnya label halal yang melekat kuat pada produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan lainnya.
Karena itu, kata syariah pada tekfin menjadi sangat bias dan menyimpang karena akan tertolak dengan sendirinya manakala tekfin yang dijalankan tidak memenuhi aspek-aspek pokok yang diwajibkan dalam hukum Islam. Anomali seperti ini tidak dapat dihindari pada penggunaan kata syariah pada tekfin, lebih-lebih orientasinya untuk kepentingan pasar dan pemasaran jenama (branding marketing) oleh pelaku industri.
Dalam perspektif industri keuangan, penggunaan istilah syariah juga sangat musykil. Bagaimana mungkin kita (seseorang) dapat membedakan tekfin syariah dengan nonsyariah hanya dengan kata syariah yang dilabelkan pada entitas perusahaannya, sementara proses dan praktik di lapangan tidak diketahui secara transparan, dan bahkan mungkin tidak terpenuhinya aspek syariah yang menjadi tolok ukur utama kesyariahan sebuah tekfin. Terlebih, tekfin dimaknai sebagai titik temu kecanggihan teknologi informasi dengan sistem atau layanan keuangan modern.
Maka, istilah yang tepat menurut penulis adalah tekfin sesuai syariah atau solusi tekfin dalam keuangan syariah. Penegasan ini penting mengingat terdapat komponen tertentu dalam dunia tekfin yang mungkin tidak selaras dengan prinsip syariah atau masih diperdebatkan status kesyariahannya dan karena itu perlu dilakukan ”rekayasa ulang” melalui proses ijtihad ulama atau ahli syariah agar sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai syariah. Pilihan istilah yang paling rasional adalah tekfin sesuai syariah, bukan tekfin syariah.
Penggunaan istilah tekfin syariah di Indonesia dalam konteks bisnis dan transaksi keuangan modern sepertinya lebih pada pertimbangan kemudahan dan kepraktisan. Tekfin syariah, misalnya, lebih pendek dan mudah diingat ketimbang tekfin secara syariah atau solusi tekfin dalam keuangan syariah, meskipun tidak ada kaitan secara langsung dengan praktik riil di lapangan.
Sebab, konsep tekfin dalam Islam hakikatnya tidak terikat dengan halal-haram dan tidak dapat memberikan justifikasi atas kesyariahan sesuatu tindakan sepanjang keberadaannya tidak digunakan untuk hal-hal yang secara tegas dilarang Islam dan mencederai nilai-nilai agung syariah (maqasid syariah), seperti tindak kejahatan, penipuan, dan perilaku kriminal lainnya.
Penilaian atas syariah tidaknya sebuah tekfin sesungguhnya tidak terlalu penting mengingat industri keuangan berbasis teknologi ini baru berada pada tahap awal pertumbuhan. Biarkan industri ini berkembang pesat dan menemukan pasarnya sendiri, setelah itu baru kita lakukan kajian mendalam atas praktiknya: apakah sesuai prinsip syariah atau melanggar ketentuan syariah?
Faizi, Dosen Ekonomi Syariah FEB UPN Veteran Jakarta