Pandemi, Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Terus Berlanjut
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tak kunjung berhenti. Perlu ada langkah cepat untuk melindungi perempuan dan anak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada masa pandemi Covid-19, perempuan, anak perempuan, dan anak laki-laki mengalami berbagai kekerasan. Prevalensi kekerasan berbasis jender daring yang dialami perempuan berusia 15-19 tahun paling tinggi di Indonesia.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 menemukan, selama satu tahun terakhir, 1 dari 11 perempuan mengalami kekerasan fisik ataupun seksual, baik dari pasangan maupun selain pasangan. Bahkan, kekerasan fisik yang dilakukan pasangan (suami, pasangan yang hidup bersama/tidak menikah, pasangan seksual tinggal terpisah) meningkat. Demikian pula kekerasan seksual dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh selain pasangan juga meningkat.
Tak hanya perempuan, anak-anak perempuan dan laki-laki berusia 3-17 tahun juga mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 menemukan, selama 12 bulan terakhir, sebanyak 3 dari 10 anak perempuan dan 2 dari 10 anak laki-laki mengalami satu jenis kekerasan atau lebih.
Demikian hasil SPHPN dan SNPHAR tahun 2021 yang diluncurkan Senin (27/12/2021) di Jakarta. Hasil survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dipaparkan Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati dan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar. Sebelumnya, SPHPN dilakukan pada tahun 2016 dan SNPHAR tahun 2018.
”Hasil survei ini sangat penting bagi berbagai pemangku kepentingan. Survei ini dapat membantu memahami skala dan permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai dasar dalam pengembangan kebijakan dan program pencegahan serta penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujar Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Menurut Bintang, survei tersebut merupakan satu-satunya sumber data statistik kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menghasilkan estimasi prevalensi kekerasan di tingkat nasional (population-based survey).
Di tingkat global, hasil dari kedua survei tersebut juga sangat penting dalam pengukuran dan pelaporan berbagai capaian indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kekerasan seumur hidup
Selain data kekerasan selama setahun terakhir, SPHPN tahun 2021 menemukan 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Angka ini turun dibandingkan SPHPN tahun 2016, yaitu 33,4 persen atau 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual.
Adapun SNPHAR tahun 2021 menemukan 3 dari 10 anak laki-laki (34 persen) dan 4 dari 10 anak perempuan (41,05 persen) yang berusia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Sementara dalam SNPHAR tahun 2018, tercatat 6 dari 10 anak laki-laki (62,31 persen) dan 6 dari 10 anak perempuan (62,75 persen) mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.
Dibandingkan SPHPN 2016 dan SNPHAR 2018, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak menurun. Meski demikian, menurut Bintang, angkanya masih memprihatinkan. ”Artinya, kita tidak boleh berpuas hati dan berhenti di sini saja. Perjalanan kita masih panjang. Seharusnya tidak boleh ada satu pun anak dan perempuan yang mengalami kekerasan, apa pun alasannya,” tegasnya.
Karena itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak tetap mendapat perhatian serius dan menjadi prioritas. Apalagi, kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es di masyarakat.
”Saya mengapresiasi kesadaran dan partisipasi masyarakat yang terus meningkat. Kasus-kasus kekerasan seksual terungkap karena korban dan keluarga berani bicara serta melaporkan kasusnya. Saya mengajak masyarakat jangan ragu kontak hotline SAPA 129 atau nomor Whatsapp (WA) 08111129129, pasti akan ditindaklanjuti,” ujar Bintang.
Kepala BPS Margo Yuwono dalam sambutannya menyampaikan, SPHPN dilakukan di 33 provinsi dan 160 kabupaten/kota dengan jumlah sampel 12.800 rumah tangga yang tersebar di 1.280 blok sensus. Responden adalah perempuan usia 15-64 tahun.
Adapun SNPHAR dilakukan di 33 provinsi, 188 kabupaten/kota, dan 236 kecamatan dengan jumlah sampel 14.160 rumah tangga yang tersebar di 1.416 blok sensus. Responden adalah laki-laki atau perempuan usia 13-24 tahun.
”Statistik dan informasi yang dihasilkan dari SPHPN dan SNPHAR akan memiliki peran sangat penting dalam penyusunan kebijakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.
Pendorong RUU TPKS
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menilai temuan survei menarik. Secara umum, kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup menurun. Di satu sisi menjadi berita baik karena bisa jadi mengindikasikan upaya pencegahan berhasil. Namun, di sisi lain perlu pendalaman mengingat angka pelaporan kekerasan dalam lingkup rumah tangga setahun terakhir ini cenderung meningkat.
”Sementara itu, kekerasan seksual serta kekerasan fisik atau seksual setahun terakhir oleh nonpasangan mengalami peningkatan. Ini juga merupakan informasi yang penting, terutama karena ditunjukkan bahwa peningkatan terjadi pada bentuk kekerasan seksual. Isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kita kenali meningkat pada tahun 2021 dan tampaknya punya korelasi dengan temuan ini,” kata Andy.
Oleh karena itu, seharusnya hasil survei tersebut dapat menjadi argumentasi pendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menegaskan, cara membaca menurunnya data kekerasan dari hasil survei harus utuh. Menurut dia, ada banyak kemungkinan mengapa data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menurun.
Saat ini, kesadaran masyarakat dalam melaporkan kasus kekerasan semakin baik sehingga memiliki efek cegah. Di sisi lain, ada pula efek edukasi yang menyebabkan kerentanan kekerasan bisa terminimalkan.
Faktor lain, juga karena adanya intervensi pencegahan yang semakin banyak sehingga kesadaran masyarakat semakin meningkat serta pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak juga semakin intens.
”Harapannya, hasil survei ini menjadi pemantik untuk meningkatkan kualitas perlindungan anak, menumbuhkan budaya perlindungan anak, dan terus menjadi motivasi optimasi penanganan kasus-kasus kekerasan,” kata Susanto.