Penetapan gamelan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO bukan berarti akhir dari pelestarian. Sebaliknya, pelestarian dan pengembangan gamelan mesti lebih gencar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan gamelan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) pada sidang UNESCO di Paris, Perancis, 15 Desember 2021. Ini berarti Indonesia mengemban tanggung jawab untuk melestarikan dan mengembangkan gamelan. Lantas, apa yang mesti kita lakukan ke depan?
Sebelum itu, mari mengenal gamelan lebih dulu. Gamelan sudah menjadi bagian masyarakat jauh sebelum Indonesia merdeka. Alat musik tradisional ini diperkirakan ada di Jawa sejak tahun 404 Masehi. Ini tampak dari penggambaran di relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
UNESCO mencatat gamelan sebagai media ekspresi budaya. Selain itu, gamelan juga sebagai media penghubung manusia dengan alam semesta. Adapun gamelan dimainkan pada pertunjukan seni, kegiatan tradisional, dan ritual keagamaan.
Indonesia berpeluang menjadikan dirinya pusat musik gamelan,
Masyarakat Jawa, khususnya orang-orang keraton, mengilhami gamelan sebagai sumber nilai kehidupan. Perilaku mereka berdasar pada falsafah gamelan.
Pengrawit akan segera memegang bilah saron yang baru dipukul sebelum memukul bilah saron lain. Tujuannya, agar bunyi dari bilah saron pertama tidak mengganggu bunyi bilah kedua. Makna dari laku ini adalah agar seseorang tahu kapan waktu untuk diam dan menyimak perkataan orang lain. Ini menumbuhkan rasa saling pengertian dan toleransi antarmanusia.
Selain di Jawa, gamelan juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti Madura, Lombok, dan Bali. Di Bali, gamelan menjadi elemen penting dalam upacara adat. Upacara akan lengkap dengan Panca Gita, yaitu nyanyian atau bunyi pengiring. Gamelan merupakan salah satu penghasil bunyi tersebut.
Selain untuk upacara adat, gamelan juga mengiringi pertunjukan tari hingga teater. Gamelan hingga kini masih hidup dan jadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat.
Tantangan
Di sisi lain, pelestarian gamelan menghadapi sejumlah tantangan. Ketua Persatuan Dalang Indonesia (Pepadi) Kota Tegal Tarmono mengatakan, sebagian anak muda berjarak dengan gamelan. Proses regenerasi pun terhambat.
”Anak muda sekarang, misalnya di daerah Pemalang, Tegal, dan Brebes, agak jauh (hubungannya) dengan gamelan. Itu karena tidak ada sanggar untuk pelatihan,” kata Tarmono yang juga pengrawit saat dihubungi, Selasa (21/12/2021).
Tantangan lain adalah ruang pentas yang terbatas. Para pengrawit selama ini bergantung pada hajatan warga untuk tampil, seperti acara pernikahan ataupun sunatan. Selama tidak ada orang yang nanggap wayang atau mengadakan pertunjukan wayang, para pengrawit tidak punya panggung kesenian.
Menurut Tarmono, yang dibutuhkan para pengrawit adalah dibukanya ruang-ruang untuk berkesenian dan pentas. Ini semakin penting karena ruang seni para pengrawit semakin terbatas selama pandemi Covid-19. Ia berharap agar pemerintah menginisiasi pentas virtual atau bahkan menghadirkan gamelan pada acara pemerintahan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, pihaknya dan komunitas-komunitas gamelan yang mengusulkan penetapan WBTB akan berdiskusi awal tahun depan. Diskusi itu, antara lain, bakal membahas langkah-langkah agar gamelan terus hidup di masyarakat.
Upaya tersebut mesti dikerjakan bersama, termasuk masyarakat. Sebab, setelah gamelan ditetapkan sebagai WBTB oleh UNESCO, itu berarti gamelan menjadi milik warga dunia. Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikannya dan memastikan gamelan tetap hidup di masyarakat.
”Salah satu cara paling efektif untuk itu adalah mengintegrasikannya ke pendidikan. Saya sudah bicara dengan Mas Menteri (Nadiem Anwar Makarim) dan beliau sepakat. Sebenarnya kegiatan gamelan di sekolah cukup hidup di banyak tempat, seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Namun, (dampaknya) belum begitu terlihat,” ucap Hilmar.
Pemerintah berencana menambah jumlah gamelan di sekolah. Selain itu, kegiatan dan diskusi yang berhubungan dengan gamelan akan diadakan. Upaya mendekatkan gamelan ke generasi muda juga akan dilakukan. Para musisi akan dilibatkan.
”Ada festival gamelan internasional di Solo pada 2018. Kami berencana mengulangnya di tahun depan, kira-kira pertengahan tahun depan. Sekarang kami sedang membicarakan rencana festival itu. Ada juga simposium mengenai gamelan nanti,” kata Hilmar.
Menurut budayawan Sardono W Kusumo, pendidikan gamelan mesti bertumpu pada praktik dan penciptaan karya. Keduanya membuat gamelan terus mengalami perbaruan sehingga dapat bertahan selama berabad-abad selama ini.
”Yang diperlukan adalah praktik dan penciptaan. Jadi, bagaimana kita mengembalikan sistem pendidikan seperti zaman konservatori dan akademi dulu,” katanya.
Pengaruh besar
Penetapan gamelan sebagai WBTB oleh UNESCO bukan garis finis. Masih ada langkah selanjutnya yang mesti diambil untuk mengukuhkan posisi gamelan. Kita belum boleh puas diri.
Etnomusikolog Franki Raden mengatakan, gamelan berpengaruh besar buat perkembangan musik di seluruh dunia, khususnya pada abad ke-20. Ini bermula dari dibawanya gamelan ke Barat oleh mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Raffles pada abad ke-19.
Saat dibunyikan, orang di sana menyadari bahwa gamelan memiliki tangga nada yang tidak biasa, berbeda dengan instrumen-instrumen musik yang ada di Barat. Gamelan pun diteliti dan dijadikan alat mengukur tangga nada instrumen non-Barat.
Hal ini mendasari perkembangan teori nada non-Barat, kemudian menjadi dasar disiplin ilmu etnomusikologi. Buku yang memengaruhi etnomusikologi dunia, Music in Java, karya etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, juga bicara soal gamelan. ”Komposer Perancis, Claude Debussy, bahkan terpengaruh oleh gamelan,” kata Franki.
Pengaruh gamelan bagi musik dunia ini, menurut dia, layak diklaim. Hal itu dapat berpengaruh positif bagi Indonesia dari segi politik, budaya, dan pariwisata.
Selain itu, Indonesia berpeluang menjadikan dirinya pusat musik gamelan, setara dengan Vienna sebagai pusat musik klasik dan AS sebagai pusat jazz. Hal ini jadi gerbang pengembangan musik-musik lain di Indonesia.
”Selain gamelan, ada ratusan jenis musik lain di Indonesia. Dengan klaim tersebut, kita dapat menyebut bahwa Indonesia pusat world music,” ucap Franki.