Banyak guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar yang menjadi guru karena panggilan hati. Mereka berhak mendapatkan insentif yang layak.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang merancang program pemberian insentif bagi guru-guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Prinsipnya, para guru yang mengabdi di daerah 3T akan mendapat poin untuk membantu mempercepat karier dan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pada wawancara Kompas dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, Senin (22/11/2021), Nadiem mengatakan, harus ada keuntungan yang didapat guru dengan mengabdi di daerah 3T, baik untuk karier maupun kesejahteraan. ”Untuk yang mengambil kesempatan menjadi guru 3T seharusnya terakselerasi kariernya karena ’pengorbanannya’. Harus ada dampak karier dan kesejahteraan bagi guru 3T,” ujarnya.
Di daerah 3T, guru honorer menjadi andalan karena sekolah kekurangan tenaga pengajar. Berbagai program kepada daerah 3T telah digelar pemerintah, di antaranya pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), termasuk bagi guru honorer di daerah 3T.
Ada pula kebijakan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) yang disesuaikan berdasarkan indeks kemahalan daerah. Jumlah dana BOS di daerah 3T bisa meningkat 20-100 persen dari sebelumnya.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Iwan Syahril mengatakan, ada konsep seperti talent pool yang bisa dikembangkan untuk mendorong guru-guru mau mengabdi di daerah 3T. Selama ini redistribusi guru tidak jalan di daerah karena keputusan mengirim guru ke daerah 3T masih dipandang sebagai ”hukuman”.
Selama ini redistribusi guru tidak jalan di daerah karena keputusan mengirim guru ke daerah 3T masih dipandang sebagai ”hukuman”.
”Padahal, dalam karier anggota profesi, guru yang bisa menyelesaikan tugas berat dan menantang seperti di daerah 3T seharusnya ada kebanggaan profesi. Hal ini belum tumbuh di kalangan profesi guru,” kata Iwan.
Menurut Iwan, talent pool untuk guru-guru yang hendak mengabdi di daerah 3T salah satunya bisa memanfaatkan guru penggerak. Para guru penggerak memiliki inovasi dan ketangguhan untuk mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa karena memiliki nilai-nilai pendidikan yang sudah dijiwai. Mereka bisa dikirim sebagai guru dalam waktu terbatas ataupun sebagai kepala sekolah untuk satu periode yang diharapkan bisa menggerakkan transformasi pendidikan di sekolah daerah 3T.
”Bayangannya, guru-guru secara sukarela dari daerah mana saja yang terpanggil bisa mengajar di daerah 3T untuk periode terbatas. Nanti, yang namanya sistem rotasi guru ke daerah 3T bisa berjalan biasa, seperti yang terjadi di profesi TNI/Polri untuk peningkatan karier berkelanjutan guru. Namun, dengan desentralisasi pendidikan, masih perlu dibahas serius dengan pemerintah daerah bagaimana mengimplementasikannya sesuai regulasi dan bisa cepat,” kata Iwan.
Menurut Iwan, upaya untuk mendorong pemerintah daerah membenahi tata kelola guru di setiap daerah dengan melakukan redistribusi guru dan mengatasi kekurangan guru salah satunya dengan rapor pendidikan daerah.
Salah satu indikatornya ada indeks pemerataan guru untuk melihat mana daerah yang melakukan pemerataan guru lebih baik atau kemajuan/kemunduran suatu daerah terkait pengelolaan guru.
Selama ini, sejak 2006, pemerintah juga menggelontorkan dana untuk guru-guru yang bertugas di daerah khusus. Di Kemendikbudristek ada tunjangan daerah khusus yang dilihat dari keterpencilan (berhubungan dengan geografis atau lokasi) dan ketertinggalan (kondisi sosial ekonomi, budaya, dan pendapatan masyarakat).
Pada tahun 2021, besar tunjangan daerah khusus sebesar Rp 1,7 triliun. Tunjangan ini dibagi dalam bentuk dana alokasi khusus nonfisik senilai Rp 1,3 triliun untuk sekitar 34.000 guru pegawai negeri sipil (PNS). Lalu, ada di Kemendikbudristek untuk guru non-PNS sekitar Rp 400 miliar.
Dari pengamatan Kompas di berbagai sekolah di daerah 3T hingga Selasa (30/11/2021), banyak siswa di jenjang SMA yang masih belum lancar membaca dan menghitung. ”Saya coba tulis angka ribuan, terus minta mereka baca, tetapi tidak bisa. Juga membaca kalimat panjang masih susah. Ini sangat fatal sekali,” kata Donatus Bria Seran, Kepala SMA Negeri Bolan, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. SMA ini berada di tepi Laut Timor, salah satu daerah terluar Indonesia yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste.
Lebih dari 50 persen siswa SD di daerah ini memiliki kemampuan membaca yang sangat rendah. ”Bahkan, mengeja suku kata pun sangat kesulitan. Ketahuan bahwa dasar mereka tidak kuat. Mereka belum tuntas baca tulis di tingkat SD,” kata guru SMA Negeri 2 Fatuleu Barat, Simon Seffi, yang kemudian mendirikan taman baca. Dia mengetahui masalah ini saat siswa SMA di sekolahnya tidak mengerti matematika yang diajarkan lantaran tidak bisa membaca.
Tak hanya masalah capaian belajar rendah yang dihadapi guru 3T. Sebagai guru pun, mereka sulit untuk mengembangkan diri. Ratusan guru di Kabupaten Nunukan, perbatasan Kalimantan Utara-Malaysia, tidak tersentuh pelatihan untuk bekal mengajar dan mengembangkan diri akibat kondisi geografis yang susah dijangkau. Bahkan, di sana masih ada sekolah yang menggunakan Kurikulum 2006 bukan Kurikulum 2013.
Aprem Acob, guru kelas III di SDN 014 Krayan, sudah 16 tahun mengajar dari guru honorer (2005) dan menjadi PNS (2014), belum pernah ikut pelatihan. ”Metode mengajar kami dapat dari para guru senior yang sudah pensiun,” kata Acob.
Di SMAN 1 Krayan, umumnya guru mengampu dua mata pelajaran. Para guru mencoba ikut pelatihan daring karena internet sudah ada. Namun, kendala sinyal lemah dan jaringan membuat guru tak mudah untuk mengikuti beragam pelatihan daring yang disediakan, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta.
Masalah krusial lainnya bagi guru 3T adalah kesejahteraan dan kehidupan yang layak. Dodi Riana (39), guru SD Negeri Jayamekar, Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, sudah 17 tahun menjadi guru honorer. Gajinya hanya Rp 370.000 per bulan. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Dodi menjadi tukang ojek seusai mengajar.
Beberapa bulan terakhir, Dodi memilih tinggal di sekolah, berbagi tempat dengan ruang guru. Dia tinggal di ruang sempit bersama keluarganya dan tidur beralaskan kasur di lantai. Keputusan ini demi memudahkan dia memberikan tambahan belajar bagi siswa di rumah karena sekolah masih menggelar pembelajaran tatap muka terbatas. (ELN/FRN/ITA/CIP/TAM)