Penguatan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Dinanti
Implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar. Salah satunya, pengesahan sejumlah regulasi yang melindungi perempuan masih tertunda.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan hukum dan pemberdayaan perempuan tidak banyak berubah. Berbagai praktik diskriminasi terhadap perempuan terus terjadi di sejumlah daerah. Padahal, Indonesia sudah 37 tahun meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Hal itu terlihat dari rekomendasi Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW).
Rekomendasi Komite CEDAW dikeluarkan pada 15 November 2021, menanggapi laporan berkala ke-8 Indonesia dan jawaban Indonesia atas list of issues (LOI) tentang kemajuan implementasi komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia sepanjang tahun 2012-2018. Laporan itu disampaikan dalam Sidang PBB ke-80 Komite CEDAW pada 28-29 Oktober 2021.
Salah satunya, Komite CEDAW menyayangkan terus tertundanya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal, regulasi itu dinilai sangat penting bagi kehidupan perempuan Indonesia agar terlindungi dari segala bentuk kekerasan seksual, dalam konteks perempuan, perdamaian, dan keamanan.
Indonesia juga didesak segera mengadopsi dan mengesahkan sejumlah RUU dan perubahan UU terkait yang direkomendasikan sejak 10 tahun lalu untuk melindungi hak perempuan dari diskriminasi. Rancangan UU itu, antara lain, RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, perubahan/revisi UU Perkawinan, dan RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
”Beberapa perubahan perlindungan hukum dan pemberdayaan perempuan telah dilakukan. Namun, terkesan perubahan amat lambat, bahkan stagnan, dan banyak kebijakan yang masih diskriminatif terhadap perempuan,” ujar Rita Serena Kolibonso, Koordinator Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI), dalam pernyataan pers di Jakarta, Senin (29/11/2021).
Delegasi RI menghadiri Sidang ke-80 PBB Komite CEDAW pada 28-29 Oktober 2021 secara virtual dan langsung dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta perwakilan kementerian atau lembaga, termasuk Komnas HAM, serta kepala daerah dari Aceh dan Papua. Namun, Komnas Perempuan tidak mengikuti sidang itu. GPPI termasuk pihak yang memberi pandangan tertulis atas LOI yang disampaikan kepada Komite CEDAW.
Beberapa perubahan perlindungan hukum dan pemberdayaan perempuan telah dilakukan. Namun, perubahan amat lambat dan banyak kebijakan diskriminatif terhadap perempuan.
Selain mendorong percepatan pengesahan sejumlah regulasi yang melindungi perempuan, Komite CEDAW juga merekomendasikan agar Indonesia melakukan diseminasi dan sosialisasi dari kesimpulan dan rekomendasi Komite CEDAW kepada semua pihak, termasuk institusi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat.
”Peningkatan kapasitas para hakim, jaksa, praktisi, dan penegak hukum untuk memahami substansi kesetaraan dan keadilan jender sangat penting. Hal itu mesti dibarengi penegakan pencegahan dan perlindungan hak-hak perempuan sesuai Konvensi CEDAW,” kata Rita.
Perlu aturan tegas
Komite CEDAW juga menekankan rekomendasi agar Indonesia membuat aturan yang tegas, didukung langkah sistematik, tegas, dan sanksi hukum. Itu bertujuan untuk melarang dan menghapus perkawinan anak, kawin paksa, ataupun mencegah praktik sunat perempuan (FGMC).
Kebijakan tersebut juga menyangkut praktik kebijakan yang diskriminatif, melanggar HAM, dan berbahaya, seperti tes keperawanan pada proses seleksi perempuan calon militer di institusi TNI, serta memantau dampaknya bagi kehidupan perempuan.
Perlindungan perempuan dari korban perdagangan orang dan implementasi dari UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga mendapat sorotan. Pemerintah Indonesia diminta agar tidak menunda lagi meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga.
Komite juga meminta komitmen Pemerintah Indonesia menurunkan angka kematian ibu secara serius di Sulawesi, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga diminta menjadikannya suatu gerakan pencegahan kematian maternal.
Aida Milasari dari CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) menegaskan, pihaknya menyambut gembira karena isu-isu dan pertanyaan penting yang diangkat CWGI mendapat tanggapan dalam sidang Komite CEDAW. Beberapa isu itu di antaranya akses perempuan dan anak perempuan terhadap keadilan, akses perempuan adat juga dibahas.
”Dalam konteks pandemi, kekerasan berbasis jender daring juga mendapat perhatian komite agar segera ditangani, termasuk kekerasan berbasis jender di rumah tangga dan ruang publik,” ujarnya.
Atashendartini Habsjah dari GPPI menegaskan, sejumlah isu khusus perempuan, seperti PRT dan perempuan PMI, belum mendapat perhatian khusus. Sebab, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) lebih banyak diberatkan oleh persoalan anak.
Bahkan, dalam isu kesehatan reproduksi yang merugikan perempuan, terutama kehamilan yang terkait dengan inses, perempuan korban sulit mengakses aborsi meskipun diatur dalam UU Kesehatan.
Secara terpisah, Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, mengapresiasi rekomendasi sebagai masukan konstruktif untuk perbaikan dan perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi.
”Dialog konstruktif merupakan forum untuk mendapatkan masukan khususnya dari Komite CEDAW terkait komitmen Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan Konvensi CEDAW. Tentunya, kami akan menerima rekomendasi tersebut,” kata Ratna.