Kiat-kiat Guru Pinggiran Menerobos Keterbatasan
Keterbatasan tidak menghalangi para guru daerah tertinggal, terdepan, dan terluar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Kreativitas yang sederhana pun bisa menginspirasi anak-anak untuk mau belajar.
Tiang bambu setinggi sekitar 12 meter itu menjulang di SD Negeri Cirangkong 1, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Di ujungnya dipasang antena pemancar rakitan dengan jangkauan frekuensi siaran 1-2 kilometer. Ada kabel menuju kantor tata usaha sekolah.
Ada ruangan berukuran 2 meter x 3 meter yang dimodifikasi menjadi studio siaran guru-guru menyampaikan materi pelajaran. Cara kerjanya sederhana. Guru menyampaikan materi pelajaran di depan kamera laptop di ruangan siaran. Apa yang ada di layar laptop itu dapat dilihat siswa melalui televisi.
Perangkat antena pemancar televisi tersebut sangat berguna untuk mendukung pembelajaran jarak jauh yang awalnya tak efektif. Para guru dipusingkan dengan kebijakan pembelajaran daring. Mayoritas siswa tak mempunyai telepon pintar ditambah lagi kemampuan orangtua siswa membeli pulsa secara reguler juga terbatas.
”Ide ini muncul karena kendala menerapkan pembelajaran daring. Sebab, dari sekitar 200 siswa, hanya 20 persen yang orangtuanya mempunyai telepon pintar,” kata Wahyu Kamal (38), guru kelas V yang menggagas pembuatan antena pemancar televisi sederhana, Minggu (22/11/2021).
Awal pandemi pada Maret 2020, guru-guru SD Negeri Cirangkong 1 menjalankan PJJ. Berselang tiga bulan, pembelajaran di sekolah yang berjarak sekitar 145 kilometer dari Kota Bandung itu berjalan tidak optimal Capaian penyampaian materi pelajaran hanya 30 persen. Tingkat partisipasi belajar siswa 35 persen, sedangkan realisasi hasil belajar 25 persen dari target.
Pertengahan 2020, Wahyu menyampaikan ide pembelajaran melalui saluran radio. Ia memasang pemancar radio yang telah dirancang sebelumnya. Perangkat itu dibuat bermodal ilmu dan keterampilannya saat bersekolah di SMK Negeri 2 Tasikmalaya jurusan Elektronika.
”Ternyata tidak banyak warga yang memakai radio. Hanya sedikit yang bisa mengikuti pelajaran. Skema ini hanya berjalan satu bulan,” katanya.
Bukannya putus asa, bapak dua anak itu justru semakin terlecut mencari sistem belajar lebih baik. Ide pembelajaran lewat layar kaca muncul setelah melihat hampir di setiap rumah siswa memiliki televisi.
Gagasan itu disetujui guru-guru dan orangtua siswa melalui komite. Solusi kendala pembelajaran harus segera dihadirkan agar siswa tidak semakin ketinggalan pelajaran.
Perangkat pemancar radio dibongkar. Dengan menggunakan beberapa komponen seperti modulator, converter, booster penguat sinyal, dan pencatu daya, Wahyu membuat pemancar jaringan TV. Anggarannya sekitar Rp 3 juta bersumber dari dana bantuan operasional sekolah.
Sistem pembelajaran ini diuji coba selama sebulan. Hal itu dilakukan untuk memantau kualitas sinyal di rumah-rumah siswa. Hasilnya, sinyal dalam radius 1-2 km dari pemancar dari sekolah masih cukup kuat menangkap siaran.
Untuk mendukung kualitas suara, jaringan TV lokal dengan kanal 64 UHF itu menggunakan mixer audio yang dibeli secara daring. Sementara satu set mikrofon dan penyuara kuping atau earphone berasal dari sumbangan donatur.
”Perangkat itu tidak hanya memudahkan guru, tetapi juga siswa karena dapat mengikuti secara visual dan audio,” ujar Wahyu, lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2008.
Akan tetapi, pembelajaran melalui jaringan bernama SDN 1 Cirangkong TV itu masih punya beberapa kelemahan. Salah satunya adalah guru dan siswa tidak dapat berinteraksi langsung karena komunikasi satu arah.
Untuk mengatasi hal itu, siswa mengikuti pembelajaran melalui TV secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 5-7 orang. Siswa yang mempunyai gawai dipencar agar setiap kelompok kebagian alat.
”Interaksi disampaikan melalui gawai. Misalnya, ada pelajaran yang belum dimengerti, siswa dapat memberitahukannya supaya guru mengulang kembali agar siswa paham,” jelasnya.
Ketua Komite SD Negeri Cirangkong 1 Nur Kamal (44) mengapresiasi terobosan jaringan TV untuk pembelajaran di sekolah itu. Sebab, jika dipaksakan menggunakan telepon pintar, orangtua siswa juga terbebani untuk membeli kuota internet sekitar Rp 100.000 per bulan.
”Belajar melalui TV juga memudahkan pengawasan. Jika menggunakan HP (handphone), orangtua belum tentu tahu apakah anak betul-betul belajar atau main gim,” ujarnya.
Baca juga : Guru Honorer di Perbatasan: Gaji Seadanya, Bertani, dan Mengabdi Seutuhnya
Demi internet
Di perbatasan Indonesia-Malaysia, guru-guru SMA 1 Krayan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, berperan besar membantu para siswa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Sekitar 70 persen siswa di sekolah ini bisa lolos seleksi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Di masa-masa pendaftaran perguruan tinggi, sejumlah guru SMA di Krayan merelakan waktunya secara cuma-cuma untuk mendampingi siswa di depan layar komputer. Mereka meluangkan waktu di luar jam sekolah.
Di masa-masa pendaftaran perguruan tinggi, sejumlah guru SMA di Krayan merelakan waktunya secara cuma-cuma untuk mendampingi siswa di depan layar komputer. Mereka meluangkan waktu di luar jam sekolah.
Sejumlah siswa yang memiliki nilai dan prestasi menonjol dianjurkan mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan dengan menunjukkan nilai dan prestasi lainnya. Karena sebagian besar wilayah Krayan tak ada jaringan internet, sejumlah siswa diminta datang ke sekolah untuk mendaftar ke perguruan tinggi dengan jaringan Very Small Aperture Terminal atau VSAT melalui komputer sekolah.
Jaringan VSAT tak selalu mulus. Saat instalasi awal, bantuan dari pemerintah itu disebut berkecepatan 3 Mbps. Namun, dalam praktiknya, kecepatan internet hanya 1 Mbps. Maka saat cuaca buruk, jangan harap bisa menonton video di Youtube, mengunjungi sebuah laman saja harus menunggu setengah mati.
”Kami bisa sampai malam di ruang komputer untuk bantu melengkapi dan upload berkas-berkas pendaftaran. Orangtua siswa sudah paham dan percaya kalau anak-anak di sekolah sampai malam untuk urusan itu,” ujar Wakil Ketua Kurikulum SMAN 1 Krayan Yohanes Tandi Aman (36), Kamis (25/11/2021).
Sejumlah siswa yang tinggal jauh dari pusat kecamatan sulit mendapat jaringan internet yang baik. Agar mereka memahami informasi seputar beasiswa, Yohanes mengumpulkan sejumlah informasi tentang beasiswa dan perguruan tinggi dari internet, kemudian mencetaknya. Selain itu, ia kerap mengunduh video seputar universitas. Informasi-informasi itu ia bagikan kepada siswa saat pembelajaran tatap muka.
Bantuan jaringan VSAT baru tersedia pada 2015. Sebelum itu, para guru seperti Yohanes membantu siswa mendaftar dan mencari tahu informasi seputar perguruan tinggi dengan menumpang internet milik kantor PLN di Krayan. Itu dilakukan di luar jam sekolah dan para guru tak berharap uang lembur.
Saat ini, meski beberapa kantor desa sudah memiliki jaringan internet gratis, tak semua siswa SMA mahir mengoperasikan komputer. John Carles, guru komputer SMAN 1 Krayan, masih menjumpai siswa yang belum mengerti cara menyalakan komputer. Sebab, siswa tersebut berasal dari daerah yang jauh dari pusat kecamatan.
Di pedalaman Krayan, hanya sedikit orang yang memiliki komputer atau laptop. Hal itu semakin parah karena selama pandemi pembelajaran tatap muka nyaris tak ada. Selama dua bulan terakhir, tatap muka di SMAN 1 Krayan baru dimulai. Ia menyilakan para siswa yang ingin praktik komputer di luar jam mata pelajaran untuk mengejar ketertinggalan.
Setidaknya kemampuan komputer dasar perlu dikuasai siswa. Sebab, sejumlah tes masuk perguruan tinggi menggunakan tes berbasis komputer, salah satunya UTBK (ujian tulis berbasis komputer). Saat jam kelas kosong, sejumlah siswa kerap datang ke ruang komputer untuk praktik bersama John.
”Setiap ada luang waktu, kapan pun anak-anaknya mau, kita praktik langsung. Kalau kita hanya pakai teori saja, beberapa dari mereka tidak punya barangnya di rumah juga kan,” kata John.
Yohanes dan koleganya juga memberi informasi terkait beasiswa apa saja yang tersedia di perguruan tinggi. Yang sering ia perkenalkan adalah beasiswa Bidikmisi, beasiswa penuh yang disediakan bagi keluarga kurang mampu dan siswa berprestasi.
Upaya sukarela para guru itu berbuah hasil manis. Siswa lulusan tahun 2020 SMA 1 Krayan berjumlah 109 siswa. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen melanjutkan ke perguruan tinggi di Samarinda, Tarakan, Depok, Yogyakarta, hingga Aceh. Pencapaian ini turut memotivasi para adik kelas.
Sekolah ”mobile”
Sementara itu, pendidikan kian dirasakan penting untuk menyasar masyarakat di pedalaman. Mengenalkan angka dan huruf akan membantu warga komunitas tak lagi dibodoh-bodohi orang luar. Sekaligus mengantar mereka bertahan dan berdaya di tengah arus global.
Di Jambi, tiga komunitas adat di pedalaman belum mendapatkan layanan maksimal bidang pendidikan. Mereka adalah Suku Orang Rimba yang menyebar di dalam dan sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Suku Talang Mamak di ekosistem Bukit Tigapuluh, dan suku Batin Sembilan yang tinggal di sepanjang aliran sungai dalam hutan-hutan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan.
Secara khusus Orang Rimba merupakan yang paling belum merata menerima asupan pendidikan. Hasil survei Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Tahun 2018 menunjukkan baru 225 Orang Rimba mengenyam bangku pendidikan dari total populasi 2.777 jiwa yang menyebar dalam kawasan taman nasional. Itu berarti, baru menjangkau 8,10 persen.
Data di atas menunjukkan bahwa pendidikan belum memadai bagi komunitas pedalaman itu. Salah satu kendala yang dihadapi Orang Rimba untuk mendapatkan pendidikan adalah akses yang sulit dan jauhnya tempat tinggal mereka dengan fasilitas pendidikan.
Mereka yang tinggal paling dekat dengan pinggir hutan lebih mudah dijangkau pendidikan. Beberapa di antaranya mulai menetap di desa-desa sekitar, seperti pada kelompok Nangkus, Afrizal, dan Celitai.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Haidir menceritakan kondisi itu mendorong pihaknya mengupayakan pendidikan lebih merata bagi seluruh warga. Tujuannya agar mereka melek angka dan huruf. Setara dengan warga negara lainnya.
Haidir menjelaskan, pendidikan yang dikembangkan berupa non formal. Ada sekolah rimba dan mobile school. ”Jalur nonformal dipilih karena lebih fleksibel dari segi kurikulum, waktu, dan tempat,” kata Haidir.
Di sekolah rimba dan mobile school, anak-anak diajarkan mengenal huruf dan angka. Belajar menulis, membaca, berhitung, serta pengetahuan umum yang kontekstual dengan kehidupan mereka. Uniknya, mereka juga memperdalam pengetahuan tentang adat istiadat. Sejumlah tetua adat dilibatkan dalam proses belajar mengajar ini. Mereka memberikan materi adat istiadat Orang Rimba kepada anak-anak.
Saat ini sudah ada enam sekolah rimba yang dirintis balai. Salah satunya, Sekolah Rimba Kejasung, berlokasi di Kabupaten Batanghari. Sekolah itu diselenggarakan untuk mengasup pendidikan bagi kelompok pimpinan Tumenggung Celitai.
Kelompok itu telah dimukimkan oleh Kementerian Sosial pada 2010. Sayangnya, permukiman belum dilengkapi dengan sarana pendidikan. Bangunan sekolah sebagai ruang kelas diusahakan secara swadaya oleh kelompok Temenggung Celitai. Kelasnya berupa bangunan belum berdinding dari kayu.
Meskipun kelompok Celitai sudah hidup menetap, mereka masih mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan. Sebab, tiada mata pencarian yang bisa didapat di sekitar permukiman.
Saat orangtuanya melangun (berpindah tempat sebagai tanda dukacita akibat kematian anggota kelompok) atau mencari hasil hutan, anak-anak terpaksa ikut pindah. Dalam kondisi itu, diadakan pula sekolah berpindah atau mobile school.
Ada pula Sekolah Rimbo Pintar Sungai Kuning, Sekolah Rimba Sako Selensing, Sekolah Rimba Terap Serengam, Sekolah Rimba Talang Kayu Bulan, dan Sekolah Rimba Sako Ninik Tuo.
Baca juga : Hidup Nomadik demi Angka dan Aksara bagi Orang Rimba
Untuk mobile school, lanjutnya, petugas pendidikan akan mendekati kelompok yang tengah berduka itu. Asupan pendidikan di tempat yang baru sekaligus menjadi bagian dari penghiburan. Namun, mobile school tidak hanya dikhususkan untuk anak-anak yang sedang melangun, tetapi juga bagi para orangtua yang belum tersentuh pendidikan.