Vokal dalam bahasa Indonesia kini bertambah jadi enam. Selain ”a”, ”e”, ”i”, ”o”, dan ”u”, ada pula ”eu”. Untuk mengakomodasi bahasa-bahasa daerah yang memiliki vokal rangkap?
Oleh
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung
·3 menit baca
Suatu hari saya iseng menelusuri jumlah kata bahasa Sunda yang direkam Kamus Besar Bahasa Indonesia melalui KBBI daring. Sebagai penutur asli, saya merasakan banyak kejanggalan, tetapi saya masih dapat memahaminya.
Saya terus menelusuri sampai mata saya terpaku pada satu frasa, kecap lemas. Saya sama sekali tidak mengenali frasa itu dalam bahasa Sunda. Apakah frasa tersebut merupakan kata majemuk untuk nomina ”kecap (saus bumbu dari kedelai) yang bisa membuat lemas”? Duh! Memang ada?
Setelah saya klik, muncul maknanya. Ternyata, ”kecap lemas” itu merupakan penyerapan dari kecap lemes, yang berarti ”kata halus” (KBBI; bahasa halus). Mengapa kata kecap dan lemas yang dapat langsung dipadankan (kata dan halus) harus diserap? Lucunya, penyerapan itu membuat makna frasa tersebut melenceng karena kata lemas dalam bahasa Indonesia punya makna lain.
Penyerapan tersebut justru bisa membingungkan pengguna bahasa. Sebagai gambaran, bahasa Sunda dikenal memiliki tingkat bahasa (undak-usuk), yakni basa kasar, basa loma, dan basa lemes.
Ketiga tingkat itu ditandai dengan perbedaan kosakata (kecap; dibunyikan seperti pada kata cecak), yaitu kecap kasar (kata kasar), kecap loma (kata akrab), dan kecap lemes (kata halus). Mungkin, kata lemes dianggap sebagai kata non-baku dari lemas, seperti bener dan benar atau males dan malas.
Masalah lain pada penyerapan kosakata bahasa Sunda dalam KBBI adalah pengadaptasian kata yang mengandung bunyi [eu]. Namun, bunyi [eu] tersebut diadaptasi menjadi [ê] pepet karena bahasa Indonesia tidak punya lambang untuk bunyi [eu], seperti geulis-gelis (cantik), keukeuh-kekeh (kukuh, ngotot), aseupan-asepan (kukusan), baheula-bahela (dahulu), atau beunyeur-benyer (menir).
Pertanyaannya, apakah masyarakat Sunda menerima dan merasa bangga kosakata bahasanya diserap ke dalam bahasa Indonesia? Ternyata tidak!
Penyerapan dengan perubahan penulisan itu justru terasa mengganggu bagi penutur bahasa Sunda yang terbiasa membedakan bunyi [é], [ê], dan [eu]. Bahkan, pada banyak kata, bunyi [ê] dan [eu] dapat membedakan makna seperti pada bener-beuneur (benar-bernas), peres-peureus (peras-pedih), hideng-hideung (rajin-hitam), atau lebet-leubeut (masuk-lebat).
Iseng lagi! Saya melakukan survei sangat kecil-kecilan melalui pancingan di media sosial Facebook tentang penulisan gelis di KBBI. Respons kawan-kawan Facebook saya pada umumnya merasa terganggu dan tidak setuju penulisan geulis menjadi gelis. ”Lebih baik hapus saja kata itu dari KBBI daripada jadi rusak.”
Masalahnya, mencabut lema pada KBBI bukan perkara mudah. Setiap lema merupakan hasil pendataan dengan metode perkamusan, tidak sembarangan. Oleh karena itu, penghapusan lema pun tidak bisa dilakukan secara semena-mena. Kalau begitu, solusi apa yang dapat dilakukan? Apakah entri-entri bermasalah itu akan dibiarkan?
”Kita adopsi eu menjadi vokal bahasa Indonesia, seperti a, e, i, o, dan u.” Demikian disebutkan E Aminudin Aziz, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, pada Diskusi Kelompok Terpumpun Bahan Kemahiran Berbahasa di Jakarta, 10-13 November 2021.
Wah, ini suatu terobosan! Dengan demikian, vokal bahasa Indonesia kini menjadi enam. Saya setuju! Selamat datang eu!
Tendy K Somantri, Pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas Bandung