Bahasa Indonesia milik kita mempersatukan sekian ratus bahasa di Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia menjadi lebih mudah dipahami dalam narasi atau cerita.
Oleh
Yanusa Nugroho, Cerpenis
·3 menit baca
Sejak sekolah dasar saya tak suka pelajaran Bahasa Indonesia. Saya lebih menyukai pelajaran Mengarang. Seingat saya, nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia saya hanya rata-rata enam. Pelajaran Mengarang selalu tujuh atau delapan.
Saya sendiri tak punya jawaban pasti mengapa bisa begitu. Seingat saya, di pelajaran Bahasa Indonesia, yang muncul adalah kalimat-kalimat yang memiliki ”jarak” dengan apa yang saya pahami. Misalnya, begini.
Ini Ibu Amir dalam pemahaman saya, saat itu, karena saya ”berpikir” dengan bahasa Jawa, saya memahaminya sebagai ’istri Pak Amir’. Padahal, konteks kalimat sebenarnya harus dimaknai ’ibu si Amir’, yang dalam pikiran saya seharusnya ditulis ”ini ibunya Amir”.
Ini juga sekadar penggambaran. Mungkin Anda—yang pada tahun 1968-1969 masih sekolah dasar, kelas lima atau enam—masih ingat syair yang kira-kira begini.
Terbit liurku melihat kolak/Dijual orang di tepi jalan/Untung teringat nasihat emak/Di situ aku dilarang makan dan seterusnya, sampai muncul kata kudapan. Kolak sekarang dimasak emak/Kami menanti tidaklah lama/Harganya murah rasanya enak/Kudapan bersih makan bersama.
Kudapan yang—kemudian—saya pahami sebagai ’makanan kecil/makanan yang dimakan di luar waktu makan’ saya bayangkan sebagai sesosok hewan mirip kuda, hanya karena di situ ada kata kuda (dalam bahasa ibu saya, padanan kata kudapan adalah nyamikan/camilan.)
Itu hanya contoh kecil dari lautan kebingungan saya menghadapi pelajaran Bahasa Indonesia. Itu sebabnya, dalam setiap mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang saya sukai adalah bagian membaca cerita-ceritanya.
Dalam setiap mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang saya sukai adalah bagian membaca cerita-ceritanya.
Salah satu yang saya ingat berjudul ”Daun Pisang Melambai” (semoga tak terlalu meleset dari apa yang saya ingat). Cerita yang sederhana. Isinya mengisahkan seorang anak kecil seusia saya ketika itu, yang membantu ayahnya menyelamatkan kereta api dari kemungkinan terguling.
Saya menjadi ”lebih mudah” memahami pelajaran Bahasa Indonesia karena saya menikmati setiap bahan bacaan yang ada di buku pelajaran tersebut. Di dalam teks yang saya baca tersebut ada unsur ”petualangan” (ikut bekerja membantu ayah yang seorang pekerja lapangan di sebuah stasiun kecil) dan dilakukan pada malam hari.
Ada juga unsur ”kepahlawanan” (dengan berhasil menghentikan laju kereta api agar tidak melalui rel yang sambungannya terlepas) yang bagi anak usia 9-10 tahun adalah sesuatu yang membanggakan. Dari kisah itu, tanpa saya ”sadari” telah belajar subyek, predikat, obyek, dan sebagainya. Itu saya sadari sekian tahun kemudian ketika sudah duduk di sekolah menengah atas.
Ini secuil contoh bahasa Indonesia dari sebuah dialog lawakan (yang saya tulis ulang karena pita kasetnya sudah entah ke mana). Contoh kecil bahwa begitu banyak ”kesenjangan” seperti yang saya tuliskan di atas; hanya saja ini lebih kepada aspek pengucapan yang ”mirip”.
A: Pidato yang luar biasa dari Pak Lurah. Saudara-saudara, marilah kita meresapi makna yang terkandung… (terhenti karena disela oleh seseorang).
B: Meresapi? Tidak kuat, Pak. Meres sarung saja susah, apalagi meres sapi.
Inilah bahasa Indonesia milik kita, yang mempersatukan sekian ratus bahasa di Indonesia.