DPR Dorong PAUD Jadi Bagian Wajib Belajar 12 Tahun
Perlu komitmen politik untuk menguatkan kesadaran akan pentingnya PAUD dalam ranah pendidikan. Salah satunya melalui melalui produk legislasi.
Oleh
Nasrullah Nara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat mendorong cakupan program wajib pelajar diperlebar dari jenjang persekolahan SD, SLTP, dan SLTA hingga usia pra sekolah dasar. Dengan demikian, cakupan wajib belajar 12 tahun kelak, akan melingkupi pula jenjang pendidikan anak usia dini atau PAUD.
Komitmen tersebut disampaikan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dalam sambutanya saat membuka Workshop Pendidikan bertema "Bergerak Bersama untuk Pemulihan Belajar Menuju PAUD Berkualitas" di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (22/11/2021).
"Saat ini kami mempunya pekerjaan rumah legislasi untuk memperlebar cakupan wajib belajar sembilan tahun (SD, SLTP dan SLTA) untuk ditarik ke bawah sehingga menjadi 12 tahun, sehingga PAUD pun ikut tercakup di dalamnya," kata Syaiful.
Menurut Syaiful, perlu komitmen politik untuk menguatkan kesadaran akan pentingnya PAUD dalam ranah pendidikan. Salah satunya melalui melalui produk legislasi. Dengan keberpihakan melalui perundang-undangan, eksistensi serta pondasi pendidikan anak Indonesia akan semakin kuat. "Kesadaran pentingnya PAUD menjadi bagian dari wajib belajar akan memberikan manfaat jangka panjang yang baik dalam membentuk generasi emas," ujar Wakil rakyat dari Fraksi PKB dearah pemilihan Jawa Barat itu.
Acara tersebut dihadiri Direktur PAUD Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) Muhammad Hasbi, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Deddy Supendi, serta Asisten Bidang Pendidikan dan Kesra Kota Cimahi Maria Fitriana (mewakili Bupati Cimahi).
Menurut Syaiful, sesungguhnya beberapa waktu lalu organisasi guru PAUD dan elemen masyarakat telah melakukan peninjauan kembali terhadap Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dinilai kurang proporsoinal dalam memosisikan guru PAUD. Melalui peninjauan kembali para guru PAUD menghendaki adanya kesetaraan hak antara guru formal dan nonformal.
Dia menambahkan, meskipun telah sama-sama diakui sebagai pendidik oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, ternyata yang diakui sebagai guru oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya kalangan pendidik PAUD formal saja. "Meski belum berhasil, hal itu harus terus diperjuangkan. Pengertian guru harus mencakup pendidikan PAUD formal dan PAUD nonformal," ujarnya.
Syaiful menyebutkan, pertimbangan pemerintah yang saat itu tidak memasukan guru PAUD sebagai pendidik formal tetapi pendidik non formal karena faktor keterbatasan anggaran. "Saat itu saya sudah melakukan upaya counter draft untuk menyanggah.
Saat ini, ujar Syaiful Huda, dari 20 persen anggaran pendidikan atau sebesar RP 514 triliun, pemerintah dalam hal ini Kemdikbudristek hanya mengelola Rp 87 triliun. Sedangkan pendidikan berbasis keagamaan yang berada di bawah Kementerian Agama mendapat Rp 55 trilun. Sisanya langsung tersalurkan ke daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pemerintah melalui APBN hanya mengalokasikan bantuan setiap anak sebesar Rp 1,2 juta per tahun lewat bantuan operasional selolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP).
Menyinggung segi pembayaan satuan pendidikan tiap siswa, Syaiful menjelaskan, saat ini pendidikan di Indonesia masih tertinggal dari negara lain. Pemerintah melalui APBN hanya mengalokasikan bantuan setiap anak sebesar Rp 1,2 juta per tahun lewat bantuan operasional selolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP).
Sedangkan negara tetangga seperti Singapura mengalokasikan sekitar Rp 10 juta per tahun untuk setiap anak, sedangkan Malaysia mengalokasikan sekitar Rp 7,5 juta. "Jadi, money follow student (anggaran yang melekat pada siswa) untuk Indonesia idealnya dibutuhkan Rp 3,2 juta per tahun untuk setiap anak dari Sabang sampai Merauke," ujarnya.
Bacajuga: Penyaluran Dana BOP untuk Guru PAUD Diupayakan Dipercepat
Hal lain yang diperjuangkan Komisi X adalah money follow teacher (anggaran yang melekat pada guru) sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan guru nasional. "Kegelisahan yang lain adalah menghapus adanya dikotomi atau perbedaan perlakuan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Ke depan saya sangat berharap tidak lagi ada perbedaan atau terjadi diskriminasi terhadap sekolah swasta. Sesuai amanat undang undang semua sekolah atau entitas pendidikan harus diperlakukan adil," ujarnya.
Tantangan di masa pandemi
Dalam kesempatan itu, Direktur PAUD Kemdikbudristek, Muhammad Hasbi menegaskan, siswa di jenjang pendidikan anak usia dini selama pandemi Covid-19 mengalami learning loss atau kehilangan kesempatan belajar paling besar.
Menurut Habsi, PAUD, sebagaimana jenjang pendidikan lainnya, menghadapi tantangan besar semasa pandemi ini. Kegiatan bermain-belajar tidak dapat dilakukan secara normal di satuan PAUD, dan tidak mudah bagi orangtua di rumah untuk dapat membimbing anak agar stimulasi bagi perkembangan keterampilan dasarnya dapat terus berlangsung secara berkesinambungan, tanpa terinterupsi, apalagi terhenti sama sekali.
"Jika intensitas belajar anak usia dini menurun, mereka akan kesulitan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Hasbi, pertemuan tatap muka (PTM) terbatas merupakan cara terbaik untuk menanggulangi risiko berkurangnya kesempatan belajar dan untuk mengejar pemulihan PAUD berkualitas.