Pandemi Covid-19 berpotensi mengurangi jumlah peserta didik jenjang pendidikan anak usia dini. Selain keterbatasan pembelajaran, permasalahan sosial ekonomi akibat krisis pandemi diduga menjadi penyebab utama.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah peserta didik jenjang pendidikan anak usia dini atau PAUD pada tahun ajaran 2020/2021 turun sekitar 600.000 anak. Penurunan ini diduga disebabkan oleh kondisi pandemi Covid-19.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jumeri saat menghadiri webinar Hari Gizi Nasional yang digelar Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI), Senin (1/2/2021), di Jakarta.
Jumeri mengatakan, penurunan ini bisa memperparah angka partisipasi kasar (APK) PAUD. Dengan demikian, perjuangan untuk mengantarkan anak belajar di PAUD semakin panjang.
Menurut Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbud (Maret 2020), jumlah penduduk usia 3-6 tahun mencapai 19.118.894 orang. Adapun siswa PAUD secara nasional mencapai 7.837.572 orang sehingga APK PAUD secara nasional tercatat 41,18 persen.
Menurut Jumeri, pemerintah menaruh perhatian tentang urgensi PAUD dalam draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Berbagai rencana meningkatkan peran PAUD terhadap tumbuh kembang anak ataupun kualitas satuan PAUD akan dimasukkan dalam draf.
Mari kita bersama-sama menggelorakan semangat orangtua mendaftarkan anaknya ke jenjang PAUD. Pada saat bersamaan, kami akan tingkatkan mutu satuan PAUD.
”Mari kita bersama-sama menggelorakan semangat orangtua mendaftarkan anaknya ke jenjang PAUD. Pada saat bersamaan, kami akan tingkatkan mutu satuan PAUD,” katanya.
Ketua Umum Pengurus Pusat HIMPAUDI Netti Herawati mengatakan, fenomena penurunan peserta didik PAUD yang disampaikan oleh Kemendikbud juga sesuai dengan survei yang dilakukan PP HIMPAUDI. Sebanyak 29,6 persen dari responden anggota HIMPAUDI menjawab jumlah siswa sebelum dan saat pandemi Covid-19 masih sama.
Namun, 22,8 persen responden lainnya menyebut jumlah siswa saat pandemi Covid-19 telah berkurang 50 persen. Lalu, 39,3 persen responden mengatakan jumlah siswa selama pandemi sudah berkurang 25 persen.
Berdasarkan survei daring PP HIMPAUDI kepada 25.935 responden pada Desember 2020, ditemukan sejumlah temuan bahwa pandemi Covid-19 memperparah kondisi sosial ekonomi keluarga. Sebanyak 12.172 responden mengaku telah mengurangi pengeluaran untuk pakaian, lalu 8.525 responden mengaku menghemat listrik dan bahan bakar, serta 7.323 responden mengaku telah mengurangi belanja makanan dan minuman.
Dari sisi layanan, survei daring PP HIMPAUDI kepada 10.985 responden pada Juni 2020 ditemukan, 75 persen responden mengatakan pembelajaran PAUD selama pandemi susah dilakukan. Dua persoalan yang dihadapi, yaitu keterbatasan kepemilikan gawai dan akses jaringan telekomunikasi seluler.
Kedua survei tersebut secara tidak langsung mengonfirmasi survei terkait adanya penurunan jumlah siswa PAUD selama masa pandemi Covid-19.
”Ketika pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama empat menteri yang membolehkan tatap muka di sekolah, kebanyakan guru PAUD merasa senang. Kami memaknainya ada tekanan depresi pada guru selama pandemi,” kata Netti.
Sebelum pandemi Covid-19, sejumlah guru PAUD mengalami masalah sosial ekonomi. Ketika pandemi melanda, permasalahan itu kemungkinan meningkat, seperti pengurangan pengeluaran untuk makanan.
Netti menilai, kondisi pandemi Covid-19 sudah parah. Sementara anak usia dini tetap perlu mendapatkan pembelajaran layak untuk menunjang tumbuh kembang mereka.
Unicef Education Specialist, Nugroho Indera Warman, menambahkan, sebelum pandemi Covid-19, Indeks Perkembangan Anak Usia Dini (ECDI) di Indonesia pada 2018 mencapai 88,3. Dimensi ECDI yang skor besar adalah kemampuan fisik (97,8) dan kemampuan belajar (95,2). Dimensi ECDI yang memiliki skor rendah yaitu literasi-numerasi (64,6) dan kemampuan sosial-emosional (69,9).