Pembangunan manusia antarwilayah di Indonesia belum merata. Hal itu mengakibatkan terjadi kesenjangan mutu manusia. Oleh karena itu, penanganan ketimpangan pembangunan tersebut mesti dipercepat.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski Indeks Pembangunan Manusia Indonesia meningkat di semua provinsi pada tahun kedua pandemi Covid-19, ketimpangan kualitas manusia masih terjadi. Provinsi maupun kabupaten/kota dengan indeks lebih rendah itu perlu penanganan segera agar tidak makin tertinggal dari daerah lain dan terwujudnya keadilan dan pemerataan pembangunan.
Kesenjangan nilai indeks pembangunan manusia (IPM) antarwilayah pasti akan memengaruhi capaian IPM secara keseluruhan. Sepanjang provinsi atau kabupaten/kota dengan nilai IPM rendah tidak didorong untuk mempercepat peningkatan kualitas manusia melalui sejumlah indikator yang diukur dalam IPM, maka capaian daerah lain yang tinggi jadi kurang bermakna.
”Penegakan azas keadilan dalam pembangunan penting karena tidak seorang pun boleh tertinggal dalam pembangunan,” kata Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia Sudibyo Alimoeso, di Jakarta, Selasa (16/11/2021). Mereka yang tertinggal harus dibantu dan didorong agar bisa tumbuh lebih cepat dan sejajar dengan daerah lain.
Penegakan asas keadilan dalam pembangunan penting karena tidak seorang pun boleh tertinggal dalam pembangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (15/11/2021) memublikasikan nilai IPM Indonesia 2021 sebesar 72,29 atau naik 0,49 persen dibandingkan nilai IPM tahun 2020. Sebanyak 10 provinsi memiliki IPM lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional dan 21 provinsi di bawah rata-rata nasional.
IPM tertinggi dicapai DKI Jakarta sebesar 81,11, DI Yogyakarta (DIY) 80,22, dan Kalimantan Timur (Kaltim) 76,88. Sementara nilai terendah diperoleh Papua 60,62, Papua Barat 65,26, dan Nusa Tenggara Timur 65,28. Selisih IPM DKI Jakarta dan Papua sebesar 20,49 poin. Daerah dengan IPM di atas 80 dikategorikan sangat tinggi, 70-80 disebut tinggi, 60-70 masuk kelompok sedang dan kurang dari 60 dinamai rendah.
Ketimpangan IPM tidak hanya terjadi antarprovinsi, tetapi juga antarkabupaten/kota dalam provinsi. Kesenjangan yang tinggi terjadi di Papua. Dalam IPM Papua 2020, karena IPM 2021 per provinsi belum dipublikasikan semua, IPM Kota Jayapura mencapai 79,94 atau kategori tinggi. Namun, IPM Kabupaten Nduga di tahun yang sama hanya 31,55 atau selisih 48,39 poin.
Kesenjangan IPM antarkabupaten/kota itu terjadi di semua provinsi. Dari data IPM 2020, daerah pedalaman, kepulauan, pesisir, perbatasan atau jauh dari ibu kota provinsi umumnya memiliki IPM terendah di provinsi tersebut. Sementara secara nasional, nilai IPM terkecil didominasi provinsi di kepulauan Maluku, Nusa Tenggara (kecuali Bali), dan Papua.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan serta dosen Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sukamdi, menambahkan, kesenjangan IPM antarprovinsi maupun antarkabupaten/kota dalam provinsi bukan hal baru. Tren ini sudah terjadi sejak perhitungan IPM hingga tingkat kabupaten atau kota dilakukan di Indonesia.
”Kondisi itu menunjukkan pertumbuhan IPM di setiap kabupaten/kota atau provinsi bermasalah,” katanya. Daerah dengan nilai IPM rendah sulit mengejar daerah dengan IPM lebih tinggi. Daerah dengan IPM rendah sejatinya tetap tumbuh, tetapi pertumbuhannya tidak mampu menyaingi daerah yang IPM-nya sudah tinggi yang juga terus meningkat.
Data BPS menunjukkan, sejak 2010 hingga 2021, tiga provinsi dengan IPM tertinggi selalu duduki DKI Jakarta, DIY, dan Kaltim. Sementara tiga provinsi terbawah ditempati bergantian, antara Papua, Papua Barat, NTT, dan Sulawesi Barat dengan posisi Papua selalu di peringkat terendah.
Upaya mendongkrak IPM perlu dilakukan dengan tepat. Selama ini, banyak pemerintah daerah memandang nilai IPM sebagai satu kesatuan. Padahal, nilai IPM itu dibentuk oleh sejumlah indikator, baik yang termasuk dimensi kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi. Karena itu, intervensi perlu dilakukan secara tepat sesuai indikator yang memberi sumbangan terbesar pada rendahnya nilai IPM.
Dengan tersedianya data IPM hingga tingkat kabupaten/kota melalui BPS, seharusnya pemerintah daerah bisa mengelaborasi serta mencari solusi dan mengintervensi secara tepat untuk mendongkrak IPM mereka.
”Data IPM ini bisa dijadikan alat bagi setiap kabupaten/kota untuk mengenali dan mencari prioritas guna mendongkrak nilai IPM,” kata Sukamdi. Karena itu, kebijakan untuk meningkatkan IPM satu daerah tidak bisa disamakan dengan daerah lain.
Sudibyo mengingatkan mereka yang tertinggal dalam capaian IPM tidak bisa ditinggalkan. Selain butuh intervensi yang tepat sesuai kondisi setiap daerah, upaya mendongkrak IPM daerah yang tertinggal dipastikan membutuhkan biaya mahal karena karakter wilayahnya rumit. Akibatnya, efisiensi intervensi akan rendah. Karena itu, upaya mengatasi ketimpangan IPM tidak bisa dilihat dari kacamata untung-rugi semata.
Mereka yang tertinggal sejatinya tetap menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang berhak merasakan pembangunan. ”Jika mereka dibiarkan dan fokus mengerjakan yang mudah untuk mendongkrak IPM, mereka yang tertinggal akan terus tertinggal dan ketimpangan semakin besar hingga mempersulit peningkatan IPM secara keseluruhan,” katanya.
Selain itu, pemerintah perlu seia sekata dalam mengatasi persoalan ini. Daerah memang memiliki hak otonomi untuk mengelola daerahnya. Namun, kebijakan yang diambil perlu selaras dengan aturan yang dibuat pemerintah pusat.
Pemerintah daerah sering menerjemahkan secara berbeda atau justru menerapkan mentah-mentah kebijakan pemerintah pusat tanpa disesuaikan dengan kondisi daerah. Akibatnya, banyak program pemerintah yang pelaksanaannya di lapangan menjadi tidak optimal. Karena itu, kepemimpinan di daerah yang baik penting untuk menuntaskan kesenjangan IPM.
Sudibyo juga berharap kebijakan untuk mengatasi ketimpangan IPM ini tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik sesaat, demi mencari popularitas masyarakat. Jika popularitas yang dikejar, daerah dengan IPM yang tertinggal dipastikan akan makin terpinggirkan karena IPM adalah proses pembangunan yang tidak populer.
Sementara Sukamdi menilai pemerintah perlu ”memaksa” agar daerah lebih peduli untuk meningkatkan IPM di wilayah mereka. Upaya ini perlu disertai petunjuk teknis untuk pelaksanaannya, anggaran untuk menjalankannya, serta sanksi dan penghargaan berupa insentif atau disinsentif atas usaha yang telah dicapai pemerintah daerah.
”Inisiatif dan inovasi daerah dalam meningkatkan IPM di wilayah mereka perlu terus didorong hingga percepatan peningkatan IPM bisa dilakukan,” tambahnya.