Berbagai upaya perlu dilakukan agar pembangunan manusia di Tanah Air tidak sampai terdegradasi. Kemunduran pembangunan manusia berpotensi memperlambat terwujudnya Indonesia menjadi negara maju.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Kinerja pemerintah hingga 2019 atau sebelum merebaknya pandemi Covid-19 cukup menggembirakan. Hal itu, antara lain, termanifestasi dari meningkatnya status Indonesia ke negara berpendapatan menengah atas (upper middle income) dan tercapainya pembangunan manusia dalam kategori tinggi (high human development).
Meningkatnya pencapaian pembangunan manusia sejalan dengan peningkatan status pendapatan merupakan modal amat penting untuk meraih kemajuan bangsa ke level yang lebih tinggi. Ini mengingat di antara keduanya (pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi) akan saling berkontribusi secara positif (mutually reinforcing). Dalam konteks itu, Indonesia berpotensi menjadi negara maju dalam dua atau tiga dekade ke depan.
Dalam konteks itu, Indonesia berpotensi menjadi negara maju dalam dua atau tiga dekade ke depan.
Namun, disayangkan, modal penting pencapaian pembangunan manusia yang telah digenggam pada 2019 itu kini berpotensi terlepas kembali. Program Pembangunan PBB (UNDP) pada 20 Mei 2020 mengingatkan, pembangunan manusia secara global untuk pertama kali berpotensi mengalami kemunduran sejak dipublikasikan 30 tahun lalu (1990). Covid-19 adalah faktor penyebab turunnya pendapatan, kesehatan, dan pendidikan sebagai tiga dimensi utama pembangunan manusia.
Pengalaman kemunduran
Untuk Indonesia, kemunduran pembangunan manusia pernah terjadi sebelumnya, yakni akibat dampak krisis 1997. Berdasarkan perhitungan BPS, nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami penurunan dari 67,7 sebelum krisis (1996) menjadi 64,3 sesudah krisis (1999).
IPM Indonesia baru pulih kembali sepenuhnya pada 2004, melampaui keadaan pada 1996, dengan nilai indeks 68,7.
Mundurnya pencapaian pembangunan manusia pada krisis 1997/1998, antara lain, akibat meningkatnya angka kemiskinan hingga 24,5 persen pada 1998 dari sebelumnya 12,4 persen pada 1997 (Skoufias, 2000). Sebagai perbandingan, angka kemiskinan di Malaysia meningkat dari 8,2 persen sebelum krisis menjadi 10,4 persen sesudah krisis. Sementara Thailand meningkat dari 9,5 persen sebelum krisis menjadi 12,9 persen sesudah krisis (Lustig et al, 2000).
Meningkatnya angka kemiskinan melemahkan pula daya beli kelompok masyarakat tersebut, dengan pengeluaran terkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Menurunnya daya beli juga menyebabkan kualitas pangan yang dikonsumsi kian tak layak. Dengan daya beli yang semakin menurun, penduduk kian rentan terserang penyakit dan menurunkan derajat kesehatan.
Dengan daya beli yang semakin menurun, penduduk kian rentan terserang penyakit dan menurunkan derajat kesehatan.
Semakin besarnya porsi pengeluaran untuk pangan menyebabkan mengecilnya porsi pengeluaran nonpangan, khususnya pendidikan dan kesehatan, sehingga kian memperparah kondisi kesehatan dan pendidikan. Dalam kasus krisis 1997, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, antara lain, tecermin dari turunnya kunjungan ke layanan kesehatan, yakni dari 7,4 persen (1997) menjadi 5,6 persen (1998) (Frankenberg et al, 1999).
Sementara itu, turunnya pengeluaran pendidikan menyebabkan partisipasi sekolah menurun dan angka putus sekolah meningkat.
Menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia (1999), dampak krisis pada kuartil penduduk terendah merupakan yang terparah dengan partisipasi sekolah menurun dari 51,5 persen pada 1997 menjadi 45,9 persen pada 1998. Sementara itu, angka putus sekolah (drop out) pada kelompok terbawah meningkat dari 14,2 persen pada 1997 menjadi 25,2 persen pada 1998.
Daya beli plus
Pengalaman mundurnya pembangunan manusia pada 1997 itu sepatutnya dapat menjadi pembelajaran agar tidak kembali terulang pada masa pandemi. Untuk itu, perlu upaya serius agar pembangunan manusia tidak mengalami kemunduran sehingga peta jalan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju masih dalam jangkauan (within reach).
Mitigasi terhadap kemunduran pembangunan manusia akibat krisis 1997 itu cukup memberikan gambaran bahwa melemahnya daya beli merupakan faktor yang amat berperan terhadap kemunduran pembangunan manusia. Karena itu, agar pengalaman kemunduran akibat krisis itu tidak terulang kembali di masa pandemi, mempertahankan daya beli masyarakat amat krusial dilakukan.
Selain bantuan sosial, hal penting yang juga harus dilakukan adalah menjaga stabilitas harga barang dan jasa serta pemulihan kegiatan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja. Namun, mempertahankan daya beli masyarakat tampaknya belum cukup mengantisipasi kemunduran pembangunan manusia di tengah pandemi.
Namun, mempertahankan daya beli masyarakat tampaknya belum cukup mengantisipasi kemunduran pembangunan manusia di tengah pandemi.
Upaya tambahan diperlukan untuk memperluas ruang gerak penduduk dalam melakukan berbagai aktivitas, khususnya dalam pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Sangat disayangkan, keinginan memperluas ruang gerak itu kini terganjal ketidakpatuhan sebagian penduduk dalam menjalankan protokol kesehatan, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Padahal, kepatuhan dalam menjalankan protokol kesehatan dapat mengerem kemunduran pembangunan manusia. Diyakini, semakin patuh masyarakat menjalankan protokol kesehatan, akan memperlambat penularan virus korona sehingga secara perlahan dapat memperluas ruang gerak masyarakat.
Berbagai upaya perlu dilakukan agar pembangunan manusia di Tanah Air tidak sampai terdegradasi. Hal ini mengingat pemulihan kemunduran pembangunan manusia membutuhkan waktu lebih lama dan memerlukan anggaran yang besar. Pada kenyataannya, kemunduran pembangunan manusia menjadikan Indonesia tidak dapat tepat waktu menjadi negara maju.