Angka putus sekolah diperkirakan meningkat akibat pandemi Covid-19. Terdapat 10 daerah dengan tingkat kerawanan putus sekolah tertinggi, yaitu di Pulau Maluku, Sulawesi, Papua, dan kepulauan Nusa Tenggara.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis akibat pandemi Covid-19 berisiko meningkatkan angka putus sekolah pada anak-anak dari keluarga miskin. Risiko lebih besar lagi pada anak-anak dari keluarga miskin di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan karena mereka kendala mereka mengikuti pembelajaran jarak jauh juga lebih besar.
Kondisi tersebut akan menambah jumlah anak tidak sekolah yang berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 mencapai 4.337.503 anak usia 7-18 tahun. Berdasarkan data ini, tiga provinsi terbesar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, menjadi penyumbang terbesar anak tidak sekolah.
Namun, pada masa pandemi ini anak putus sekolah paling rawan terjadi di Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Anak-anak tersebut berasal dari keluarga nelayan miskin, buruh tani, dan juga pekerja sektor informal.
”Kondisi perekonomian orangtua yang terdampak krisis akibat pandemi berpotensi menyebabkan anak tidak dapat melanjutkan sekolah,” kata Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amich Alhumami dalam seminar bertema ”Tantangan Merdeka Belajar di Era Pandemi dan Daerah 3T” yang diselenggarakan secara daring oleh Universitas Mulawarman, Kalimantan timur, Sabtu (12/9/2020).
Amich mengatakan, meskipun banyak siswa dari keluarga miskin mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP), kebutuhan sekolah tidak bisa semata-mata tertutupi dari dana KIP. Ada biaya tidak langsung yang tidak terjangkau KIP, seperti gawai untuk pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi ini, juga kebutuhan penunjang belajar lainnya.
Tantangan lainnya, kata Amich, dalam kondisi tekanan ekonomi yang berat orangtua sering kali berpikiran praktis untuk menghentikan pendidikan anaknya mencapai SMP atau SMA agar dapat bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. ”Ini menjadi ancaman serius putus sekolah,” kata Amich.
Ancaman lainnya, pernikahan usia anak. Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Widodo mencontohkan, ada anak perempuan kelas III SMP terpaksa putus sekolah karena dinikahkan oleh orangtuanya. ”Padahal, anak itu punya prestasi dan bakat,” katanya.
Pembelajaran di 3T
Widodo mengatakan, sebelum pandemi pun tantangan pendidikan di daerah 3T sangat tinggi. Populasi masyarakat besar tetapi tersebar, disparitas sosial ekonomi, dan geografis sangat tinggi, serta distribusi guru pun tidak merata.
Pada masa pandemi, tantangan bertambah karena pembelajaran jarak jauh. Lokasi siswa yang tersebar dan kondisi infrastruktur yang buruk sering kali menjadi kendala dalam pembelajaran di luar jaringan (luring). Sementara fasilitas pembelajaran daring sangat minim.
”Kami berusaha mencari solusi atas kendala yang terjadi. Ada beberapa praktik baik, seperti bantuan dari aparat TNI untuk membantu guru mengajar, guru kunjung di permukiman warga yang berada di perkebunan kelapa sawit, membentuk pos belajar, juga menggunakan jasa kurir untuk mengantar materi atau tugas kepada siswa,” kata Widodo.
Amich mengatakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) di daerah 3T masih lemah. Dari 68 persen siswa yang dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh, hanya 15 persen yang menggunakan aplikasi yang memungkinkan interaksi dengan guru, sebanyak 20 persen menggunakan aplikasi Whatsapp. Sisanya, sebanyak 14 persen siswa belajar menggunakan program belajar dari televisi atau radio dan 19 persen mengikuti kelompok belajar atau kunjungan guru ke rumah.
Untuk meminimalisasi risiko anak putus sekolah, menurut Amich, dengan memaksimalkan pembelajaran agar anak tetap dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Subsisi pulsa internet dan program belajar di rumah melalui televisi, kata Amich, merupakan upaya untuk menjaga anak tetap belajar. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga sudah berkoordinasi Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperluas jaringan internet di daerah.
”Kendalanya memang tidak semua anak bisa mengakses gawai. Namun, sekolah bisa menggunakan dana BOS (bantuan operasional sekolah) agar anak dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik. Guru kunjung costly (mahal) dan butuh energi yang sangat besar. Mungkin tidak banyak (guru kunjung) meski tetap akan dilakukan,” kata Amich.
Menurut Sudarman, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan sarana belajar mengajar untuk mengatasi kendala pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini. Di sisi lain, tantangan bagi guru untuk memberikan pembelajaran yang efektif kepada murid-muridnya.
”Guru tidak perlu menunggu orang lain berbuat sesuatu, tetapi (langsung) lakukan. Gunakan hati secara tulus untuk membimbing anak didik,” katanya.