Pembangunan Manusia dan Lingkungan Saling Memengaruhi
Pembangunan berhasil meningkatkan kesejahteraan. Namun, pembangunan yang dilakukan juga menekan lingkungan dan menimbulkan persoalan balik hingga mengurangi kesejahteraan yang diraih.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
DOKUMENTASI GREENPEACE
Hasil investigasi Greenpeace yang menemukan deforestasi di Papua yang dijadikan kebun kelapa sawit.
JAKARTA, KOMPAS — Selama 30 tahun terakhir, nilai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia meningkat secara konsisten. Peningkatan itu menunjukkan pembangunan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pembangunan yang dilakukan juga menekan lingkungan dan menimbulkan persoalan balik hingga mengurangi kesejahteraan yang diraih.
Semua tindakan manusia akan berdampak pada Bumi hingga memicu berbagai bencana, termasuk perubahan iklim dan pandemi Covid-19 yang berlangsung saat ini. Karena itu, arah pembangunan perlu di tata ulang hingga kelestarian Bumi tetap terjaga. Upaya itu tidak hanya memastikan kesejahteraan masyarakat sekarang, tetapi juga menjamin keberlanjutannya bagi generasi masa depan.
”Gaya hidup kita perlu lebih diperhatikan untuk menjaga Bumi tetap hijau dan biru,” kata Perwakilan Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) untuk Indonesia Norimasa Shimomura dalam diskusi virtual peluncuran Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2020 dari Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2019 dalam HDR 2020 mencapai 0,718, atau naik 37,3 persen dibandingkan dengan nilai IPM tahun 1990 saat konsep IPM pertama kali diperkenalkan. Nilai itu juga naik dari nilai IPM 2018 sebesar 0,712. Dengan nilai tersebut, Indonesia masuk kelompok negara ber-IPM tinggi pada peringkat ke-107 dari 189 negara, bersama Bolivia dan Filipina.
KOMPAS/ZOOM/M ZAID WAHYUDI
Tiga panelis berdiskusi tentang keterkaitan antara aspek lingkungan dan upaya meningkatkan indeks pembangunan manusia dalam diskusi virtual Peluncuran Laporan Pembangunan Manusia 2020 dari Jakarta, Rabu (16/12/2020). Mereka adalah Rima Prama Artha, ekonomi dari Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Indonesia (kanan atas); Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Tantri Arundhati (kanan bawah), dan Kepala Grup Kajian Ekonomi Lingkungan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah (kiri bawah).
Usia harapan hidup masyarakat Indonesia pada 2019 naik menjadi 71,7 tahun dari 71,5 tahun pada 2018. Pada periode sama, lama harapan sekolah pun meningkat dari 13,5 tahun jadi 13,6 tahun dan rata-rata lama sekolah naik dari 8,0 tahun jadi 8,2 tahun. Sementara pendapatan nasional bruto per kapita bertambah dari 11.042 dollar AS atau Rp 154,59 juta dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS menjadi 11.459 dollar AS atau Rp 160,43 juta.
Gaya hidup kita perlu lebih diperhatikan untuk menjaga Bumi tetap hijau dan biru.
Mulai tahun ini, UNDP mengenalkan konsep baru menghitung IPM, yaitu dengan memasukkan faktor tekanan lingkungan (planetary pressures) yang diukur berdasarkan produksi emisi karbon. Penurunan emisi karbon itu juga menjadi indikator capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030. Diperhitungkannya tekanan lingkungan membuat nilai IPM Indonesia 2019 turun jadi 0,691 dan rankingnya pun merosot 16 peringkat, paling besar di antara Bolivia dan Filipina.
Masuknya indeks tekanan lingkungan dalam penilaian IPM 2019 itu, dinilai ekonom UNDP Indonesia, Rima Prama Artha, sangat relevan dengan konteks dunia saat ini yang tengah menghadapi pandemi Covid-19. Indikator baru ini membuat pembangunan kesejahteran bisa dinilai apakah sejalan atau tidak dengan perkembangan lingkungan.
Selama ini, ketidakseimbangan antara aspek ekonomi dan lingkungan telah menimbulkan berbagai bencana. Rusaknya lingkungan itu pada gilirannya memengaruhi capaian tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat. ”Upaya meningkatkan IPM bisa mendorong kerusakan lingkungan dan rusaknya lingkungan bisa membuat IPM rendah,” ujarnya.
Indikator lingkungan itu juga memastikan agar tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam capaian pembangunan sebagai salah satu prinsip dari SDG. Pembangunan yang mengejar IPM semata bisa menciptakan kesenjangan yang menguntungkan sebagian kelompok dan membuat kelompok yang lain tertinggal. Karena itu, indikator baru ini diharapkan bisa mengurangi ketimpangan tersebut.
Kepala Grup Kajian Ekonomi Lingkungan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah mengatakan, ketergantungan pada sejumlah komoditas pertanian dan pertambangan membuat ekonomi ekonomi Indonesia memiliki risiko besar terhadap lingkungan.
”Praktik bisnis di sebagian sektor juga tidak ramah lingkungan dan penegakan hukum lingkungan pun kurang,” katanya. Saat bersamaan, pesatnya pertambahan populasi urban dan konsep kota berkelanjutan yang belum kuat makin menekan kondisi lingkungan.
Berbagai bencana yang terjadi pada gilirannya mengurangi tingkat kesehatan dan produktivitas masyarakat. Sejumlah studi menunjukkan kebakaran hutan yang menjadi bencana tahunan di Indonesia berdampak besar pada kesehatan janin dan penurunan kognitif mereka. Situasi itu berdampak pada rendahnya produktivitas masyarakat hingga akan memengaruhi capaian IPM.
Secara regulasi, lanjut Alin, Indonesia sebenarnya memiliki komitmen yang besar untuk mencapai target SDG, termasuk dalam indikator penurunan emisi karbon yang kini masuk dalam penghitungan IPM. Namun, bagaimana agar target SDG tersebut bisa diseleraskan dengan kebijakan yang implementatif dan mampu dilaksanakan pemerintah daerah jadi tantangannya.
GREENPEACE
Pemandangan udara hutan primer dekat sungai Digul di Papua selatan.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sri Tantri Arundhati mengatakan, tekanan lingkungan akibat pembangunan yang memicu sejumlah bencana sangat memengaruhi ketahanan Indonesia. Karena itu, masuknya indikator lingkungan dalam penghitungan IPM bisa mendorong Indonesia membuat perencanaan pembangunan yang lebih baik.
Upaya menyelaraskan pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan IPM dengan lingkungan, lanjut Shimomura, bisa dilakukan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Adanya kebijakan yang mendukung lingkungan, insentif yang tepat, ataupun pendekatan norma dan nilai sosial perlu terus didorong hingga menumbuhkan kesadaran dan aksi nyata pada lingkungan.