Nilai Indeks Pembangunan Manusia terus tumbuh. Pandemi Covid-19 yang terkendali bisa dijadikan momentum untuk mendongkrak indeks yang menggambarkan kesejahteraan masyarakat tersebut.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah gempuran pandemi sepanjang 2021, nilai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia justru meningkat di semua dimensi yang diukur. Melandainya kasus Covid-19 dan mulai bangkitnya ekonomi perlu dijaga agar bisa jadi pendongkrak lompatan kesejahteraan manusia Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin (15/11/2021), mengumumkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2021 sebesar 72,29. Artinya, nilai IPM Indonesia naik 0,49 persen dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 71,94. Dengan demikian, IPM Indonesia masuk kelompok tinggi karena nilainya lebih dari 70.
Sejak 2018 hingga tahun ini, tidak ada provinsi yang memiliki IPM rendah dengan nilai kurang dari 60. Pada tahun ini terdapat dua provinsi dengan nilai IPM di atas 80 atau sangat tinggi, 21 provinsi dengan IPM tinggi dengan nilai berkisar 70-80, dan 11 provinsi dengan IPM sedang dengan nilai 60-70.
Sebanyak 10 provinsi memiliki nilai IPM lebih tinggi dari rata-rata nasional. Nilai IPM tertinggi dicapai DKI Jakarta sebesar 81,11 dan terendah Papua, yaitu 60,62.
”Status IPM Indonesia sejak 2016 adalah tinggi,” kata Kepala BPS Margo Yuwono.
Kenaikan IPM tahun ini didorong oleh kenaikan nilai pada semua indikator dari tiga dimensi yang diukur, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi atau standar hidup layak.
Untuk dimensi kesehatan, dengan indikator umur harapan hidup (UHH), naik dari 71,47 tahun pada 2020 menjadi 71,57 tahun pada 2021. Artinya, semua bayi yang lahir pada 2021 memiliki peluang hidup hingga usia 71,57 tahun.
Pada dimensi pendidikan, rata-rata lama sekolah pada penduduk berumur lebih dari 25 tahun naik dari 8,48 tahun (2020) menjadi 8,54 tahun (2021). Adapun indikator harapan lama sekolah anak usia 7 tahun atau saat memulai pendidikan formal bertambah dari 12,98 tahun (2020) menjadi 13,08 tahun (2021) atau setara pendidikan diploma I.
Kenaikan IPM tahun ini didorong oleh kenaikan nilai pada semua indikator dari tiga dimensi yang diukur, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi atau standar hidup layak.
Sementara untuk dimensi ekonomi dengan indikator pengeluaran per kapita per tahun juga meningkat dari Rp 11.013.000 (2020) menjadi Rp 11.156.000 (2021). Namun, besaran pengeluaran masyarakat itu masih lebih rendah daripada pengeluaran per kapita 2019 atau sebelum terjadi pandemi sebesar Rp 11.299.000.
Data IPM yang disusun BPS ini tersedia mulai dari level nasional hingga kabupaten atau kota. Namun, data IPM ini tidak bisa disandingkan dengan IPM negara lain karena faktor paritas daya beli (purchasing power parity) di setiap negara belum diperhitungkan.
IPM antarnegara itu baru bisa dibandingkan jika menggunakan data IPM yang dikeluarkan Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang diumumkan dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) setiap akhir tahun.
Dalam HDR 2020, nilai IPM Indonesia sebesar 0,718 atau masuk kelompok tinggi dan berada di peringkat ke-107 dari 189 negara yang diukur. Namun, jika aspek tekanan lingkungan (planetary pressures adjusment) dimasukkan, nilai IPM Indonesia turun menjadi 0,691.
Penanganan pandemi
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang juga anggota Tim Pakar Satuan Tugas Covid-19, Turro Selrits Wongkaren, mengatakan, dalam kondisi normal atau tidak ada gejolak yang berarti, semua nilai indikator dari tiga dimensi IPM pasti akan naik meski kenaikannya tidak besar.
Namun, nilai IPM bisa didongkrak agar naik lebih cepat jika ekonomi tumbuh baik. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, pendapatan atau pengeluaran masyarakat pun akan membesar hingga standar hidup layak mereka pun meningkat. Cara ini pernah dibuktikan China yang IPM-nya sebelum tahun 1990 masih di bawah Indonesia, tapi kini jauh meninggalkan Indonesia.
Meski selama 2021 terjadi dua kali lonjakan Covid-19, nyatanya pengeluaran per kapita masyarakat terus meningkat. Kenaikan ini, lanjut Turro, tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang terus membaik dan penanganan pandemi yang tepat.
Setahun pertama pandemi atau tahun 2020, banyak penduduk kehilangan pekerjaan atau berkurang pendapatannya dan sejumlah usaha tutup. Akibatnya, ekonomi tumbuh negatif.
Turunnya pengeluaran masyarakat membuat indikator pengeluaran per kapita yang digunakan untuk menghitung IPM 2020 pun turun dibandingkan setahun sebelumnya. Namun, karena indikator kesehatan dan pendidikan tetap tumbuh, IPM Indonesia 2020 tetap naik dibandingkan IPM 2019.
Pascalonjakan kasus Covid-19 pada Januari-Februari 2021, pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) guna menekan laju penyebaran penyakit sekaligus memastikan ekonomi tetap tumbuh. Adapun pada lonjakan Covid-19 pada Juli-Agustus, pemerintah menerapkan PPKM berlevel 1-4.
Upaya itu nyatanya membuahkan hasil dengan terus menurunnya kasus, turunnya angka kematian melalui vaksinasi yang gencar dilakukan sejak awal tahun, dan ekonomi pun tetap bergerak hingga pengeluaran masyarakat pun meningkat kembali.
Selain itu, pemerintah mengelontorkan dana bantuan sosial untuk berbagai kelompok sasaran, mulai dari masyarakat bawah, usaha kecil menengah, industri besar, bantuan listrik, pulsa untuk anak sekolah, hingga kartu prakerja. Meski banyak bantuan itu digelontorkan pada 2020, manfaatnya baru bisa dirasakan pada 2021.
Karena itu, Turro menilai kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sudah pada jalur yang tepat. ”Salah satu keberhasilan Indonesia dalam mengatasi dampak pandemi adalah menurunkan kasus Covid-19, tetapi secara bersamaan juga tidak melakukan lockdown (penutupan wilayah) secara penuh,” katanya.
Kini, tantangannya adalah menjaga agar pertumbuhan ekonomi yang dirasakan akan terus meningkat tidak terganggu lagi oleh lonjakan kembali Covid-19. Situasi sekarang merupakan peluang bagi Indonesia untuk pulih dan bangkit lebih cepat dibandingkan negara lain serta meningkatkan daya saing ekonominya mumpung negara-negara lain masih berkutat dengan Covid-19.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan, tambah Turro, ialah memastikan peraturan yang dimiliki Indonesia saat ini melalui Undang-Undang Cipta Kerja bisa meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus memastikan semua orang bisa bekerja secara sosial.
Selain itu, protokol kesehatan tetap perlu dijaga, khususnya guna menghindari lonjakan kasus Covid-19 pada awal 2022 atau setelah masa libur panjang tahun baru. Jika kenaikan kembali kasus Covid-19 bisa dihindarkan, ekonomi dipastikan akan pulih lebih cepat dan percepatan kesejahteraan masyarakat pun bisa dilakukan.