Transformasi Pendidikan Masih Parsial, Inkonsisten, Terlalu Bertumpu pada Guru
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan tidak bisa hanya bertumpu pada guru semata. Lingkungan ekosistem pendidikan pun harus dibenahi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan kualitas guru melalui berbagai program selalu dilakukan oleh setiap menteri pendidikan. Akan tetapi, transformasi pendidikan tak bisa semata-mata menuntut guru berubah karena harus berjalan beriringan dengan standar-standar lain yang membuat ekosistem pendidikan berjalan dengan baik.
Dalam webinar bertajuk ”Akselerasi Peningkatan Kompetensi Guru melalui Program Guru Penggerak” yang digelar Tempo Media Grup, Senin (15/11/2021), Guru Besar Universitas Pendidikan Cecep Darmawan mengatakan, berbagai program untuk guru esensinya untuk transformasi pendidikan, yakni dengan konsep memberdayakan diri sendiri (self help) lalu memengaruhi atau berdampak pada ekosistem pendidikan.
”Tentu kita mengapresiasi program guru penggerak karena bertujuan baik. Tapi berbagi program silih berganti tiap kementerian itu punya kelemahan, sering kali inkonsisten. Kita butuh program yang berkelanjutan supaya hasilnya bisa dirasakan siapa pun pimpinannya,” kata Cecep.
Cecep mengatakan, program guru penggerak harus terintegrasi dengan pemenuhan standar nasional pendidikan lainnya. Para guru yang bertransformasi menjadi guru penggerak juga butuh dukungan sarana dan prasarana ditambah dengan digitalisasi pendidikan, standar pembiayaan, hingga kurikulum.
”Keberhasilan mengakselerasi transformasi pendidikan tidak bisa dilihat satu sisi dengan guru penggerak. Ide bagus ini jangan sampai parsial. Kebijakan yang dibutuhkan harus komprehensif, persoalan tidak dilekatkan pada guru saja, tapi juga sistem pendidikan. Tidak bisa hanya guru penggerak kalau yang lain tidak bergerak,” tutur Cecep.
Tentu kita mengapresiasi program guru penggerak karena bertujuan baik. Tapi berbagi program silih berganti tiap kementerian itu punya kelemahan, sering kali inkonsisten.
Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Dudung Koswara. Menurut dia, berbagai program guru penggerak seperti sekolah penggerak hingga organisasi penggerak diyakini sebagai upaya lompatan pemerintah untuk membawa perubahan yang selama ini dinilai berjalan lamban. ”Guru penggerak adalah upaya supaya bagian proses pendidikan bertranformasi. Tetapi yang namanya harapan dan kenyataan tidak sesuai,” kata Dudung.
Menurut Dudung, di lapangan terjadi beragam kesulitan dan tantangan dalam meningkatkan kompetensi guru sehingga transformasi terjeda. Kesejahteraan guru juga masih jadi masalah. Misalnya, masih ada guru honorer bergaji di bawah Rp 500.000 per bulan. Demikian pula soal perlindungan profesi guru. Masih saja ada guru yang diadukan ke polisi saat menjalankan pendidikan kepada peserta didik. Politisasi guru oleh pemerintah daerah saat pemilihan kepala daerah karena dianggap bukan pendukung politik masih terjadi juga. Belum lagi karier guru yang tidak jelas.
”Guru pun butuh merdeka. Ada trimerdeka untuk guru yang harus diperjuangkan, yakni merdeka kesejahetraan guru, merdeka kompetensi di mana pemerintah terlibat meningkatkan kompetensi guru, serta merdeka perlindungan untuk bisa melayani dan mendidik siswa dengan maksimal,” kata Dudung.
Pemimpin pembelajaran
Sementara itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, sosok guru, khususnya guru penggerak berpengaruh. Para guru yang ikut program guru penggerak menyadari betapa pentingnya menjadi pembelajar sepanjang hayat.
”Saya selalu bertanya kenapa guru mau ikut? Karena sebenarnya banyak guru yang sudah lama mau perubahan tapi lingkungan belum mendukung. Di guru penggerak, peserta disiapkan menjadi pemimpin pembelajaran. Saya berharap praktik baik dari guru penggerak ini terus dibagikan. Dari guru ke guru dan sekolah untuk menjadi obor perubahan Merdeka Belajar,” ujar Nadiem.
Nadiem menambahkan, pelatihan guru selama ini berfokus pada teknik pelajaran, belum membawa guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Selama sembilan bulan guru dilatih daring dan didampingi, mengalami perubahan pola pikir untuk tidak semata fokus pada urusan administrasi, tetapi kebutuhan murid dan menggerakkan teman-teman guru untuk perubahan dan perbaikan.
”Mereka akan jadi calon pemimpin di masa depan, menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah. Mereka akan membawa perubahan untuk transformasi Merdeka Belajar,” ujar Nadiem.
Ketua Kelompok Kerja Guru Penggerak Kemendikbudristek Kasiman memaparkan, kepemimpinan penting untuk mendorong perubahan. Para guru penggerak ini disiapkan menjadi pemimpin pembelajaran, bisa menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah dengan pola pikir yang memandang pendidikan dan anak didik untuk mengembangkan masa depan Indonesia.
Pendidikan dan pelatihan guru selama ini kebanyakan diarahkan pada prestasi atau peningkatan kompetensi akademik/profesional. Hal yang utama sebelum profesionalisme sebenarnya adalah pola pikir dalam memandang siswa dapat berkembang dengan keunikan dan potensinya, sedangkan guru menuntun.
”Dulu, guru lebih banyak menginstruksi/menuntut dengan banyak memberi tugas sehingga bersekolah dirasakan stres. Sekarang, guru diajak untuk mampu memimpin, menuntun, mengayomi,” ujar Kasiman.
Program guru penggerak didesain hibrid, sekitar 70 persen lewat daring. Guru pun tidak perlu meninggalkan tugas di sekolah. Akhir tahun ini sudah ada 6.000 guru penggerak. Rekrutmen sudah memasuki angkatan ke-5 dengan kuota per angkatan dinaikkan menjadi 8.000 guru. Tahun 2022 ditargetkan ada 20.000 guru penggerak hingga angkatan ketujuh.
Pendidikan guru penggerak adalah saling berbagi. Guru tidak berkompetisi untuk mencari juara, tetapi untuk berbagi praktik baik. Di Kemendikbudristek ada portal khusus guru belajar dan berbagi. Belajar artinya mempelajari materi yang sudah disiapkan Kemendikbudristek berupa materi substansi atau kepemimpinan. Berbagi bisa tentang modul, video pembelajaran, dan sebagainya.
I Ketut Budiarsa, peserta Guru Penggerak Angkatan I, merasakan diklat guru penggerak memberi banyak perubahan pola pikir dan kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin pembelajaran di kelas. Guru pun memfokuskan diri pada kebutuhan siswa dengan menerapkan diferensiasi pembelajaran. Bahkan, kini Ketut menjadi pelaksana tugas Kepala SDN 26 Pemecutan, Bali.
Menurut Ketut, yang paling berubah adalah paradigma. Para guru penggerak ditempa di sekolah untuk membenahi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Ada pengajar praktik yang mendampingi dan ada fasilitator yang menguatkan, serta difasilitasi instruktur nasional dan ditemukan dengan guru dari daerah-daerah. Proses ini juga menguatkan guru saat menghadapi tantangan dan dikenalkan dengan digitalisasi atau berbagai platform pembelajaran digital yang dulu terasa asing.
”Para guru terus bergerak dan berbagi inspirasi untuk transformasi pendidikan. Program ini sangat baik dan diperlukan ke depan, bukan untuk orientasi jadi kepala sekolah, tapi pemimpin pembelajaran. Ketika kompetensi guru diminta meningkat, ya pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan guru,” kata Ketut.