Kehadiran ibu kota negara di Kalimantan Timur diharapkan tidak menghilangkan nilai-nilai peradaban yang sudah berkembang lama di kawasan tersebut.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Membangun sebuah ibu kota negara hendaknya tidak berangkat dari masa kekinian, tetapi dari kelampauan. Dengan demikian, nilai-nilai masa lampau dapat dibawa ke masa sekarang untuk membangun ibu kota negara, yang kemudian diproyeksikan ke masa depan.
Total luas kawasan ibu kota negara (IKN) di wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sekitar 56.000 hektar. Hasil eksplorasi dan ekskavasi Tim Peneliti IKN dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menemukan 165 situs, 56 tradisi, dan 57 fitur lingkungan di wilayah IKN dan sekitarnya.
Konseptor sekaligus Kepala Tim Penelitian IKN Puslit Arkenas Prof Truman Simanjuntak mengatakan, awalnya diperkirakan wilayah IKN baru adalah daerah tanpa sejarah karena di peta daerah tersebut hanya tampak diliputi hutan dengan hunian-hunian kampung yang sangat jarang.
Ternyata dugaan ini meleset. Ini terbukti dengan keberadaan Goa Panglima dan sekitarnya yang menunjukkan adanya jejak-jejak hunian. Berdasarkan penelitian, wilayah ini sudah dihuni sejak awal holosen. (Truman Simanjuntak)
”Ternyata dugaan ini meleset. Ini terbukti dengan keberadaan Goa Panglima dan sekitarnya yang menunjukkan adanya jejak-jejak hunian. Berdasarkan penelitian, wilayah ini sudah dihuni sejak awal holosen,” kata Truman, Senin (1/11/2021), dalam Seminar Nasional IKN yang digelar Puslit Arkenas di Jakarta.
Goa Panglima berada di dekat Gunung Parung (356 mdpl). Jaraknya hanya sekitar 20 kilometer dari titik nol kilometer IKN.
Bukti-bukti hunian manusia di Goa Panglima diperkuat dengan penemuan geraham manusia, fragmen rahang bawah, fragmen ulna (tulang hasta), dan fragmen parietal (tulang ubun-ubun) pada kedalaman 110-150 cm. Selain itu, peneliti juga menemukan berbagai macam artefak dan ekofak yang jumlahnya mencapai 12.538 temuan, mulai dari tembikar, alat tulang, litik, cangkang, batu pipisan, batu, arang, hingga hematit.
Selain Goa Panglima, di daerah itu juga terdapat hunian goa lainnya, yaitu Goa Sanggulan, Goa Tapak Batu Raja Buen Kesong, dan Goa Tembenus. Tak jauh dari situ, sekitar 13 km dari pusat IKN juga ditemukan jejak industri logam Maridan di tepian-tepian sungai.
Di sekitar kawasan IKN, pengaruh-pengaruh agama juga mewarnai, mulai dari Hindu-Buddha, Islam, hingga kolonialisme yang tradisinya terus berlanjut. Selain itu, berbagai macam kearifan lokal juga ditemukan di sana, berupa peraturan tidak tertulis tentang pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan persetujuan bersama, kesadaran masyarakat untuk menanam mangrove yang mati, semangat toleransi yang tinggi, kekompakan melestarikan mangrove, ritual tahunan, dan pemanfaatan hutan bakau melalui ketentuan-ketentuan lisan.
”IKN menjadi miniatur Indonesia. Kebinekaan tampak dalam kehadiran para pendatang dan keberadaan populasi asli yang menciptakan pluralisme dan multikulturalisme di wilayah IKN serta sekitarnya. Ada pula kearifan lingkungan, toleransi keagamaan, solidaritas kebersamaan, gotong royong, keramahtamahan, kekeluargaan dan sebagainya. Janganlah kehadiran IKN menghilangkan nilai-nilai ini,” katanya.
Beri rekomendasi
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan, sebelum ada pembangunan fisik, IKN perlu dipetakan. ”Kita justru harus mampu memberikan rekomendasi bagaimana melakukan perencanaan dan eksekusi sehingga kita bisa menyandingkan kebutuhan pembangunan dengan preservasi dan konservasi terkait ekosistem dan biodiversivitas di sana. Kita harus mencari apakah itu jalan tengah atau solusi, bagaimana memastikan sesuatu di sana bisa dikonservasi dan dipreservasi agar memberikan manfaat ke depan bagi generasi mendatang,” katanya.
Penelitian IKN oleh Puslit Arkenas tahun 2020-2023 disiapkan memberikan rekomendasi pengembangan IKN ke depan. Puslit Arkenas mewakili Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (sebelum berada di bawah BRIN) mencermati rencana pembangunan IKN berlandaskan perspektif konservasi alam dan budaya. ”Ini bukan sekadar membangun kota, tetapi juga membangun peradaban. Kalimantan bukan tanah kosong, melainkan ada warisan rakyat, ada peradaban sebelumnya. Hasil riset menjadi rekomendasi dalam pembangunan IKN agar memaksimalkan modal budaya yang ada,” kata Kepala Puslit Arkenas I Made Geria.