Kampus Merdeka Menyiapkan Mahasiswa “Berenang” di Samudra Kehidupan
Melalui Program Kampus Merdeka, mahasiswa diajak keluar dari kampus untuk bisa melihat realitas dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan kehidupan masyarakat. Di sana, mereka dapat berkontribusi sekaligus belajar.
”Mahasiswa nomor satu. Kebutuhan mereka adalah yang terpenting dan semua program kita mengacu pada prinsip itu,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekologi Nadiem Anwar Makarim saat berdialog dengan 170 mahasiswa perwakilan dari 34 provinsi di acara Dialog dan Deklarasi Mahasiswa Merdeka seusai peringatan Hari Sumpah Pemuda di Gedung Plaza Insan Berprestasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta Jakarta pada 28 Oktober 2021.
Keberpihakan pada mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa yang akan menjadi profesional, pemimpin, pengusaha, ataupun pilihan hidup lainnya tersebut sejak 2020 diwujudkan dalam gagasan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Pada tahun 2021, Kampus Merdeka dihadirkan lewat pembelajaran di kampus dan luar kampus yang menyiapkan mahasiwa mampu ”berenang” dalam luasnya samudra kehidupan.
Dalam realitasnya, ombak tinggi dan kencang terkadang datang menghempas tanpa diduga. Namun, bekal pengetahuan, keterampilan/kompetensi yang sesuai perkembangan zaman, dan karakter mampu menyiapkan mahasiswa untuk menghadapi empasan ombak ataupun gelombang kehidupan yang datang silih berganti pun ketika hadir tak terduga.
Pengalaman di luar kampus menjadi salah satu nilai jual Kampus Merdeka yang memberikan pengalaman batin dan hidup yang ”mencerahkan” mahasiswa. Berbagai program Kampus Merdeka digulirkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek secara kompetitif kepada mahasiswa yang melibatkan industri/perusahaan swasta ataupun negara, pemerintah daerah, instansi/lembaga/kementerian, sekolah, dan desa.
Mahasiswa diajak keluar dari kampus agar bisa melihat realitas dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan kehidupan masyarakat. Di sana, mereka dapat berkontribusi sekaligus belajar.
Mahasiswa diajak keluar dari kampus agar bisa melihat realitas dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan kehidupan masyarakat. Di sana, mereka dapat berkontribusi sekaligus belajar.
Kesempatan menempa pengalaman di luar kampus terbentang di dalam dan luar negeri. Mahasiswa terpilih mendapatkan pengakuan satuan kredit semester (SKS), bimbingan dari para praktisi, mengerjakan proyek atau pekerjaan yang sesungguhnya sesuai bidang yang diminati, uang saku, dan sertifikat. Harapannya, ini semua bisa menjadi bekal mereka untuk mengarungi samudra kehidupan seusai lulus nanti.
Menjadi guru di pulau
Nicodemus Lolonlun (21), mahasiswa semester tujuh program studi pendidikan Matematika di Universitas Muhammadiyah Sorong, Papua Barat, tak pernah membayangkan menghadapi keterbatasan belajar dan hidup di pulau tanpa listrik, internet, dan susah air bersih. Salah satu program Kampus Merdeka, yakni Kampus Mengajar, membawanya mengenal kehidupan di Soop, suatu kelurahan di Distrik Sorong Kepulauan. Sebenarnya pulau tersebut hanya berjarak sekitar 30 menit berlayar dengan kapal nelayan, tapi Nico yang tinggal di Kota Sorong selama ini tak mengenal daerah tersebut.
Bersama lima mahasiswa Papua Barat lainnya yang lolos seleksi Kampus Mengajar gelombang kedua, Nico pun di awal Agustus mulai menyelami kehidupan sebagai guru di SD YPK Efata Soop di Tanjung Lampu, Kelurahan Soop. Para mahasiswa dari perguruan tinggi penghasil guru ataupun umum mengemban misi untuk membantu sekolah memperkuat kecakapan literasi dan numerasi siswa, serta membantu sekolah beradaptasi dengan teknologi digital untuk pembelajaran maupun administrasi.
Saat hadir di Soop, Nico mendapati pembelajaran siswa yang bisa dikatakan terhenti akibat sekolah tutup sejak Maret 2020. Pembelajaran yang mengandalkan guru honorer yang berganti-ganti di bawah pimpinan kepala sekolah berstatus pegawai negeri sipil membuat siswa tak dapat belajar optimal. Saat tak bersekolah, banyak siswa yang diajak orangtua berjualan kelapa di Kota Sorong.
Nico mendapati banyak siswa kelas 1-6 SD yang tidak bisa membaca dan menulis. Bahkan, tak mengenal susunan dan bentuk huruf abjad secara benar.
”Ayo, anak-anak, kita buka halaman tiga buku tematik ya,” kata Nico saat mengajar di kelas 3 SD.
Sebanyak 11 siswa kelas 3 SD yang ada di dalam kelas hanya menatap Nico dengan diam. Akhirnya, ada siswa yang berani bersuara dan bertanya,”Pak guru, halaman tiga itu yang mana?”
Ketika Nico melanjutkan untuk meminta anak-anak membaca teks yang ada di buku tematik tentang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang membahas hak dan kewajiban, lagi-lagi siswa terdiam. Siswa menatap pak guru di depan kelas tanpa suara.
Nico pun tersentak dan mulai menyadari, ternyata belum semua siswa paham membaca. Nico menutup buku, melupakan rencana pembelajaran dari buku tematik. Dia pun memulai pembelajaran dengan mengenalkan huruf demi huruf di papan tulis.
Nico menemukan siswa yang menyebutkan huruf J saat dia menulis huruf H di papan tulis, atau huruf G saat yang ditunjukkan huruf E. Dari temuan nyata inilah, Nico dan teman-temannya membuat strategi baru. Siswa diberi pelajaran tambahan setiap hari di luar jam sekolah dengan belajar di rumah secara berkelompok pada sore hari.
Anak-anak pun bersemangat karena mulai merasakan pembelajaran yang sesungguhnya. Terkadang saat berpapasan di jalan saat Nico baru pulang dari sekolah yang lokasinya di gunung, anak-anak menyapa dengan bersemangat, ”Ayo, Pak guru. Kita belajar lagi.” Nico tersenyum bahagia mendengar semangat anak-anak sambil membalas, ”Ya, nanti. Pak guru ke rumah mau makan dulu.”
Setelah satu bulan, kemajuan dalam membaca dan menulis perlahan terlihat. Anak-anak yang tak mengenal huruf mulai bisa menyebutkan huruf secara benar, mengeja, dan menulis. Para guru Kampus Mengajar membawa para siswa belajar di pantai, lalu menantang siswa untuk menuliskan benda-benda yang mereka sudah kenal namanya.
Para siswa tak bosan-bosannya untuk menunjukkan hasil tulisan tangan di buku tulis pada para guru. Ketika masih salah, siswa tak putus asa. Rona bahagia memancar di wajah para siswa meski di tengah terik matahari saat anak-anak ini mampu menuliskan nama benda-benda di pantai dengan benar.
”Saya terharu, bahagia, melihat kemajuan anak-anak. Sungguh, saya tidak pernah terbayang kalau anak-anak di pulau tertinggal belajar. Tapi sesungguhnya mereka anak-anak yang pintar dan mau belajar,” ujar Nico.
Kejutan lain didapati Nico sebagai calon guru Matematika ini. Saat dia mengajarkan angka dan hitungan, justru anak-anak cepat menangkap. Ternyata, kebiasaan orangtua membawa anak-anak berjualan kelapa muda di Kota Sorong membuat anak-anak mudah memahami penghitungan.
Saat mengajarkan kecakapan numerasi, Nico masuk dengan kebiasaan anak-anak berjualan bersama orangtua. Untuk penjumlahan dua bilangan dengan memakai hitungan penjualan kelapa muda begitu mudah dipahami siswa. Ketika Nico mengubahnya ke dalam angka yang bukan nominal uang, siswa pun dengan cepat mampu mengerjakan hitungan.
Nico dan teman-temannya juga membuat perpustakaan di sekolah dengan memakai buku-buku bacaan yang sebenarnya sudah ada, tapi tertumpuk di ruang guru sehingga dimakan rayap. Mereka memanfaatkan barang-barang yanga ada di sekolah untuk disulap menjadi rak.
Perpustakaan pun akhirnya hadir meskipun harus berbagi fungsi sebagai ruang kelas. Kehadiran perpustakaan membuat anak-anak yang sudah mulai lancar membaca semakin bersemangat membujuk para guru agar meminjamkan buku untuk dibawa pulang ke rumah.
Tak hanya pihak sekolah dan siswa yang bahagia menyambut kreativitas mahasiswa Kampus Mengajar. Para orangtua juga senang karena anak-anak mereka belajar dengan giat. Nico dan teman-teman pun tak perlu merogoh saku lagi saat harus pulang atau pergi naik perahu menuju pulau. Hati Nico pun mulai terikat dengan nasib pendidikan anak-anak pulau meskipun program akan berakhir pada Desember nanti.
Magang menjadi profesional
Sementara itu, di Jakarta, Dewi Fortuna (21), mahasiswa semester tujuh program studi Computer Science and Statistics di Binus University, menjalani magang di perusahaan Traveloka yang bergerak dalam penyediaan akses bagi pengguna untuk menemukan dan menjual berbagai sarana, seperti transportasi, akomodasi, gaya hidup, dan produk jasa keuangan, sejak 30 Agustus 2021 hingga akhir Januari 2022. Dewi mencoba ikut seleksi Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang juga salah satu program Kampus Merdeka, kerja sama Kemendikbudristek dengan banyak mitra industri ataupun organisasi pemerintah dan non-pemerintah ternama lainnya.
Dewi mencoba mengrimkan lamaran ke 20 perusahaan yang ada dalam daftar mitra MSIB. Ada 10 perusahaan yang mengontak Dewi yang pernah magang dan jadi freelancer lebih dari dua tahun di suatu perusahaan teknologi informasi dan komunikasi (TI) yang berpusat di Singapura. Tes proyek hingga wawancara pun diberikan oleh pihak SDM atau human resources department perusahaan untuk menentukan layak atau tidaknya mahasiswa diterima sebagai peserta magang.
”Akhirnya, aku coba ikutin tes dari delapan mitra saja. Nah, ada yang aku incar banget, Traveloka. Ada tawaran magang di bagian data analis yang aku ingin dalami. Pas banget akhirnya bisa diterima di Traveloka,” ujar Dewi yang awalnya masih ragu memilih kuliah di bidang TIK.
Saat menjalani magang di Traveloka, Dewi mendapatkan bimbingan dari mentor yang ditunjuk perusahaan ini. Dia pun mengerjakan berbagai pekerjaan yang sesuai bidangnya layaknya karyawan di perusahaan tersebut. Saat mengerjakan kebutuhan data berbasis TIK, Dewi jadi belajar untuk berkolaborasi dan berhubungan dengan bagian lain yang memperkaya wawasan dan keahliannya dalam bidang pengolahan data.
”Senang banget bisa belajar teknologi yang diterapkan di dunia kerja. Aku merasa percaya diri bisa diajak mengerjakan proyek atau pekerjaan yang riil gitu dengan kebutuhan perusahaan. Jadi senang bisa memahami tentang data analis dengan langsung praktik,” ujar Dewi.
Ketika Dewi menaruh informasi sedang magang di akun Linkedln-nya, ada perusahaan teknologi yang menawarkan Dewi untuk bergabung. Bahkan, perusahaan tersebut bersedia membayar denda program MSIB jika Dewi mengiyakan ajakan perusahaan tersebut.
”Aku tetap harus menyelesaikan magang karena ini kan diakui SKS dan aku memang senang, bisa dapat pengalaman magang yang membuat aku jadi belajar lebih banyak lagi. Yang dipelajari di kampus dengan perkembangan teknologi di perusahaan kan masih kalah cepat. Beruntung ada program MSIB yang membuat mahasiswa memahami perkembangan di dunia kerja yang riil,” kata Dewi.
Beberapa waktu lalu, mahasiswa MSIB sempat resah dengan janji kucuran uang saku yang belum turun. Akhirnya, mahasiswa membuat petisi di media sosial yang mendesak uang saku segera dicairkan. Dari informasi, uang saku yang didapat mahasiswa MSIB di kisaran Rp 1,2 juta-Rp 4 juta per bulan bergantung pada kesepakatan mitra.
Sekretaris Ditjen Diktiristek Paristiyanti Nurwardani mengatakan, MSIB merupakan salah satu program Kampus Merdeka yang paling diminati mahasiswa. Lebih dari 70 persen mahasiswa memilih mengikuti magang dengan total pendaftar mencapai sekitar 1 juta mahasiswa di seluruh Indonesia. Jumlah yang diterima berkisar 13.000 mahasiswa.
Menjadi mahasiswa internasional
Tak hanya memberi peluang mengenal realitas dunia kerja dan kehidupan di dalam negeri, program Kampus Merdeka juga menyediakan pilihan bagi mahasiswa yang ingin merasakan kehidupan dan dunia kampus di luar negeri. Program Indonesia International Student Mobility (IISMA) atau mobilitas mahasiswa internasional memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berkuliah sekitar satu semester di sejumlah perguruan tinggi ternama di beberapa negara.
Baca juga: Kampus Merdeka Buka Peluang Mahasiswa Kuliah di Luar Negeri
Audrey Chairunnisa, mahasiswa semester lima program studi hubungan internasional di UPN Veteran Jakarta, bahagia bisa bergabung dengan mahasiswa internasional lainnya di University of Sussex di Brighton, Inggris. Ketika rombongan IISMA tujuan Inggris sebanyak 182 mahasiswa tiba di Inggris pada 18 September lalu, mereka langsung menuju hotel untuk dikarantina selama 10 hari. Selama karantina, Audrey tidak bisa ikut kuliah dan mengirim surat elektronik kepada dosennya tentang kondisi mahasiswa Indonesia yang harus dikarantani.
Audrey pun senang ketika akhirnya menuntaskan karantina dan naik bus berkisar dua jam menuju Brighton. Dia menikmati kota ini dan kampusnya. Dia merasakan tantangan di lingkungan kampus yang kompetitif. Di sinilah, Audrey merasakan kampus dengan fasilitas yang lengkap.
”Perpustakaan buka 24 jam. Aku kan suka ketenangan, jadi puas menghabiskan waktu di perpustakaan tanpa takut diusir-usir karena mau tutup. Aku mau memaksimalkan belajar di lingkungan yag suportif ini,” ujar Audrey.
Di University of Sussex, Audrey mengenal teman sesama program pertukaran mahasiswa dari Jepang. Afrika, dan Arab. Dia pun juga bergabung dengan mahasiswa Inggris lainnya. Di kampus ini, Audrey mengambil empat mata kuliah di program studi hubungan internasional.
Menurut Audrey, dirinya memang punya mimpi untuk melanjutkan S-2 dan berkarier di luar negeri. Program ISIMA memberikan peluang bagi dirinya untuk bisa menikmati kesempatan kuliah di kampus ternama di luar negeri tanpa pusing soal biaya kuliah dan biaya hidup.
Tak hanya kesempatan menikmati perkuliahan dengan fasilitas dan lingkungan internasional. Audrey kini memiliki jaringan global dengan pertemanan di kampus yang berisi mahasiswa dari beberapa negara. Di program ISIMA pun, Audrey mendapatkan teman-teman baru dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang sama-sama membidik negara Inggris.
Tim IISMA Indonesia yang berkuliah di University of Sussex pada pekan ini menggelar program pengenalan budaya Indonesia untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda. Mahasiswa IISMA akan menampilkan kain batik, topeng, wayang, dan makanan khas Indonesia.
Audrey merasa terpanggil untuk berbagi tentang pengalaman program pertukaran pelajar. Dia membuka diri saat adik-adik kelas di kampusnya ataupun orang lain yang bertanya untuk bisa lolos seleksi IISMA. ”Program ini membuka jalan untuk mewujudkan mimpi merasakan kuliah di luar negeri,” ujar Audrey.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Diktiristek Nizam mengatakan, ada sekitar 50.000 mahasiswa yang ikut beberapa program Kampus Merdeka yang difasilitasi Kemendikbudristek. Sebagai program baru, memang masih butuh penyesuaian. Salah satunya, dari segi administrasi program tersebut yang cukup rumit sehingga sempat terkendala dalam pencairan uang saku mahasiswa. Sebab, programnya dari Kemendikbudristek, sedangkan anggaran dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Terlebih, jumlah peserta banyak mencapai sekitar 50.000 mahasiswa.
Program lain Kampus Merdeka yang didesain untuk mahasiswa adalah pertukaran mahasiswa di dalam negeri, penelitian/riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, dan membangun desa/kuliah kerja nyata tematik. Tiap perguruan tinggi pun diharapkan mengembangkan program serupa untuk membantu semua mahasiswa merasakan program di luar kampus yang memperkuat minat atau passion mereka.
Nadiem juga mengatakan, Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan suatu kebijakan yang akan membawa perubahan positif pada masa depan mahasiswa. Kampus Merdeka adalah kesempatan emas bagi kalian melakukan perubahan di dalam kepemimpinan kalian. Kompetensi-kompetensi kemandirian, kemampuan berkolaborasi, dan semua profil pelajar Pancasila diasah dalam program-program MBKM,” kata Nadeim.
Baca juga: Melalui Program IIMSA, Mahasiswa Dapat Belajar di Luar Negeri Satu hingga Dua Semester
Nadiem berharap perubahan-perubahan yang dilakukan melalui program MBKM ini dapat dilihat negara-negara maju di mana Indonesia tidak hanya mengatasi ketertinggalan, tetapi juga melakukan lompatan yang besar. ”Saya harapannya dalam 5 -10 tahun ke depan, orang-orang di luar negeri akan melihat Indonesia dan mencoba untuk belajar dari Indonesia,” kata Nadiem.