Pameran bertajuk ”Njelimet” di Bentara Budaya Jakarta berlangsung pada 22-27 Oktober 2021. Judul pameran berangkat dari keruwetan pikir dan proses berkarya para perupa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Pameran seni rupa berjudul ”Njelimet” berangkat dari sepuluh perupa yang benar-benar menghadapi kondisi njelimet alias ruwet. Ada yang njelimet pikirannya, proses menggambarnya, hingga njelimet mencari ide. Para perupa butuh waktu dua tahun untuk menerjemahkan keruwetan itu menjadi karya.
Kerumitan itu sempat membuat perupa Noor Udin ingin mengundurkan diri dari pameran. Menurut dia, karyanya kurang njelimet, beda dengan karya teman-teman perupa lain. Setelah bergumul, ia sampai pada pemahaman bahwa bukan karyanya yang njelimet, melainkan caranya berpikir.
Pada pembukaan pameran yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (22/10/2021) ini, ia menceritakan bahwa dirinya sudah membuat sejumlah gambar dalam format digital. Ia lalu memutuskan untuk merombak gambarnya, kemudian digambar ulang secara manual. Ada 11 karyanya yang dipamerkan, yakni 9 gambar, 1 lukisan, dan 1 gambar dengan teknologi cetak lenticular.
Orang-orang ingin mengikuti apa yang tren, apa yang mutakhir. Sebagian orang kemudian lupa akarnya, lupa identitas budayanya.
Karyanya merupakan respons pribadi atas bermacam-macam isu, baik kelestarian alam, pandemi Covid-19, ketergantungan publik terhadap gawai, maupun budaya membaca. Pikirannya kemudian dituangkan dalam gambar yang relatif sederhana.
”Njelimet bisa berawal dari ide simpel yang menghasilkan karya yang rumit, atau cara berpikir yang rumit untuk menghasilkan karya yang simpel,” kata Noor, yang kerap dipanggil Ung.
Sementara itu, definisi njelimet bagi perupa Rianto Karman adalah proses berkarya. Ia membuat empat lukisan. Semuanya dibuat dengan pulpen dan pensil di atas kanvas yang relatif besar. Satu atau dua coretan tidak cukup mengisi kanvas, beda dengan kuas yang permukaannya lebih besar dari pulpen dan pensil.
Ia harus membuat ratusan—mungkin ribuan—tarikan garis untuk menyelesaikan satu gambar. Ia juga harus memperhatikan tebal atau tipisnya garis, serta alur garis yang dibuat agar gambarnya ”hidup”.
Rianto menjelaskan, gambarnya terinspirasi dari beberapa keresahan pribadi, salah satunya tentang kerusakan lingkungan. Gambar pohon yang gundul tanpa daun mengibaratkan ketakutan si perupa bahwa pohon saja akan sulit hidup di alam yang rusak.
Alam juga menghadapi tantangan deforestasi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat luas deforestasi di Indonesia pada 2019-2020 sebesar 115.459 hektar, sedangkan pada 2018-2019 luas deforestasi mencapai 462.460 hektar.
Keresahan lain yang dimiliki Rianto ialah soal kebudayaan dan adat istiadat yang tergerus arus globalisasi. Menurut dia, globalisasi, selain membawa kemajuan, juga menawarkan penyeragaman. Orang-orang ingin mengikuti apa yang tren, apa yang mutakhir. Sebagian orang kemudian lupa akarnya, lupa identitas budayanya.
Pandemi
Di sisi lain, perupa Rizal Misilu membuat empat karya dalam satu tema yang sama, yakni soal perjalanan hidup. Suara ambulans, kematian, dan berbagai hal lain yang terjadi selama pandemi Covid-19 mengingatkan dia bahwa manusia pada akhirnya akan menghadap Sang Pencipta.
Perjalanan hidup manusia itu digambar dalam empat judul gambar, yakni The Destination, The Direction, The Sign, serta The End. ”Maksudnya, manusia menentukan dulu tujuannya (dalam hidup). Untuk sampai ke sana, manusia perlu arah. Manusia juga perlu membaca tanda alam selama perjalanan menuju tujuannya. Begitu tiba di tujuan, manusia pun mencapai akhir (perjalanan),” ujar Rizal.
Gambar pertama, The Destination, merupakan hasil pengembangan kata Allah dalam aksara Arab. Gambar kedua dilambangkan dengan Kabah yang menjadi kiblat Umat Islam. Gambar ketiga menggambarkan iqra yang berarti ”bacalah” dalam Al Quran. Sementara itu, gambar terakhir melambangkan tanah. Gambar terakhir juga terinspirasi dari ledakan besar atau big bang.
”Semuanya saya buat dengan pulpen tinta biru karena warna ini melambangkan kesedihan dan harapan. Selama pandemi dua tahun terakhir, saya berkarya dengan warna biru,” ucap Rizal.
Pameran
Karya Rizal kini terpajang di Bentara Budaya Jakarta pada 22-27 Oktober 2021. Pameran ini memajang 57 karya dari sepuluh perupa yang berbasis di Jakarta dan Yogyakarta. Semua perupa merupakan lulusan program studi Desain Komunikasi Visual di Institut Seni (ISI) Yogyakarta dari berbagai angkatan.
Para perupa tergabung dalam Kelompok Gambar (Kembar) Sepuluh. Rizal yang juga Ketua Kembar Sepuluh mengatakan, pameran ini merupakan hasil berkarya yang melalui proses yang njelimet. Pameran ini juga merupakan respons atas keruwetan hidup yang terjadi selama pandemi.
Sementara itu, Kurator Bentara Budaya Frans Sartono mengatakan, para perupa menyodorkan kenjelimetan dalam konteks eksplorasi visual. Garis-garis yang terkesan ruwet sebenarnya merupakan satu karya utuh. Karya itu juga hasil manajemen garis-garis ruwet tersebut.
”Njelimet dalam pengertian detail yang terukur, tersadari, dan terhayati,” tutur Frans.