Jalan Panjang Mewujudkan Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terus menjadi ancaman bagi perempuan dan anak-anak. Tak berujung dan berjeda. Dari waktu ke waktu terus terungkap berbagai kasus kekerasan seksual dengan berbagai modus.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Hingga kini, publik terus dikejutkan dengan peristiwa kekerasan seksual yang mengusik rasa kemanusiaan. Bahkan, hal itu sulit diterima akal sehat karena pelakunya justru orang-orang terdekat korban, termasuk ayah kandung, yang seharusnya melindungi mereka.
Contohnya, dugaan tindak kekerasan seksual yang menimpa tiga anak di Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan. Kasus yang dua pekan lalu sempat viral di media sosial dan mengundang keprihatinan publik itu hingga kini terus dikawal Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta organisasi masyarakat sipil.
Peristiwa tersebut diduga terjadi pada 2019. Lydia (bukan namanya sebenarnya), ibu korban, berupaya menggapai keadilan setelah ketiga anaknya diduga mengalami kekerasan seksual dari ayah kandung mereka. Lydia telah bercerai dengan suami yang juga ayah kandung ketiga anak itu.
Kasus ini sudah dilaporkan kepada kepolisian pada akhir 2019. Namun, proses hukum dihentikan Kepolisian Resor (Polres) Lutim dengan alasan tidak cukup bukti. Sementara Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lutim yang menjadi tempat pertama para korban datang justru memberikan keterangan yang menyebutkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya (Kompas.id, 10 Oktober 2021).
Kasus ini diadvokasi oleh Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak, yang kemudian meminta dukungan sejumlah organisasi dan lembaga, termasuk Komnas Perempuan.
Pada akhir September 2020, Komnas Perempuan juga sudah mengirim surat kepada Polres Lutim, Polda Sulsel, dan Mabes Polri. Menanggapi surat tersebut, pada 5 Oktober 2020, Kepala Polres Lutim Ajun Komisisari Besar Indratmoko menyatakan, penyidik telah maksimal dalam melakukan penyelidikan atas laporan kasus tersebut. Namun, dari hasil penyelidikan tidak ditemukan bukti yang cukup adanya tindak pidana sebagaimana dilaporkan sehingga penyelidikan dihentikan.
Karena itulah dukungan kepada kepolisian untuk membuka kembali penyelidikan kasus tersebut terus mengalir. Polisi diharapkan berpedoman pada kepentingan terbaik bagi anak-anak yang menjadi korban serta memberikan perlakuan khusus dalam pengumpulan alat bukti, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, dan UU Penyandang Disabilitas.
”Kami merekomendasikan kepolisian untuk mengumpulkan dan menggunakan berbagai bukti-bukti lain, mengingat adanya bukti yang belum diperiksa dan melengkapinya dengan ahli-ahli yang kompeten di isu kekerasan terhadap anak,” ujar Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, Senin (18/10/2021).
Ketua KPAI Susanto mengatakan, pihaknya telah menurunkan tim untuk memantau kasus tersebut. Komisioner KPAI, Retno Listyarti, juga mendorong kepolisian segera membuka kembali kasus ini.
Jika terbukti, pelaku harus dikenai UU Perlindungan Anak. Kalau pelakunya orang terdekat korban, ada pemberatan sepertiga masa hukuman. Orangtua seharusnya melindungi anak-anaknya, bukan malah menjadi pelaku kekerasan seksual pada anaknya.
”Kami mengapresiasi pada ibu korban yang melaporkan kejahatan seksual ini, tidak menyembunyikan kasus ini karena pelaku ayah korban. Perjuangan sang ibu akan memberikan persepsi positif juga pada anak-anaknya bahwa sang ibu begitu gigih memperjuangkan keadilan bagi anak-anaknya, ini bukan perkara mudah,” ujar Retno.
Hambatan dalam kasus ini menjadi gambaran pentingnya pembaruan hukum acara pidana, khususnya pembuktian kasus kekerasan seksual. ”Pembaruan ini dapat diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang menjamin keterangan korban atau saksi orang dengan disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi nondisabilitas,” ujar Siti Aminah.
Perspektif korban
Kasus dugaan kekerasan seksual tersebut diyakini hanya ”puncak gunung es” dari kasus kekerasan seksual. Sulitnya korban mendapatkan keadilan menjadi pembelajaran berharga dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Bahkan, baru-baru ini Mahkamah Syariah Aceh memutus bebas seorang ayah yang melakukan pemerkosaan terhadap anaknya dengan menyimpulkan hasil visum tidak menjadi alat bukti yang cukup.
Kasus di Luwu Timur dan Aceh merupakan cerminan dari banyaknya kasus lain mengenai fakta rumitnya proses penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Alat bukti dalam proses hukum kasus kekerasan seksual menjadi hambatan sehingga proses hukum terhenti atau pelaku bebas.
”Minimnya perspektif keberpihakan pada korban dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual menjadi salah satu faktor penghambat yang serius dalam terpenuhinya hak atas perlindungan dan keadilan bagi korban. Apalagi dalam kedua kasus tersebut, korban adalah anak,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Kebijakan Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia.
Oleh karena itulah, perspektif korban kekerasan seksual diatur dalam RUU TPKS. Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak se-Indonesia (ASWGI) untuk RUU TPKS meminta DPR mengutamakan paradigma baru dalam RUU tersebut, yakni perspektif pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual yang sebagian besar adalah perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan.
Dengan menggunakan paradigma tersebut, maka akan memungkinkan untuk memandang dan membuktikan terjadinya kekerasan seksual karena adanya relasi tidak setara antara pelaku dan korban. Paradigma ini juga membentuk pencegahan dan penanggulangan keberulangan melalui rehabilitasi pelaku, termasuk pelaku penyerta, dengan menggunakan pendekatan penal dan nonpenal.
Sejumlah masukan juga disampaikan Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) terkait RUU TPKS yang mulai dibahas Panitia Kerja RUU TPKS Badan Legislasi DPR. Misalnya, soal definisi kekerasan seksual, JKP3 memperbaiki definisi kekerasan seksual dengan mengeluarkan unsur ”secara paksa” dan menambahkan, ”kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan/atau memanfaatkan posisi rentan” sebagai modus kekerasan seksual.
Adapun di draf dari tim ahli Baleg pada Pasal 1 RUU TPKS mendefinisikan ”Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.”
Selain itu, diusulkan agar sembilan bentuk kekerasan seksual, termasuk yang berbasis siber, dapat diatur dalam RUU TPKS ini meski tidak harus berdiri sendiri sebagai sebuah delik.
Adapun proses pembahasan RUU TPKS di Baleg DPR hingga kini masih dalam tahapan menerima masukan dari publik. ”Ada beberapa masukan dari masyarakat sipil dan pemangku kebijakan,” ujar Ketua Panja RUU TPKS Baleg DPR Willy Aditya.
Pembahasan lanjutan RUU TPKS kini terus dinanti. Semoga setelah masa reses DPR melanjutkan pembahasannya dan mengesahkan RUU tersebut menjadi UU.