Tindak Tegas Siapa Pun Pelaku Kasus Kekerasan Seksual di Luwu Timur
Anak-anak terus menjadi korban kekerasan seksual. Ironisnya pelaku justru orang paling dekat, termasuk ayah kandung. Hadirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan menghentikan berbagai kasus kekerasan seksual.
Laporan berbentuk reportase yang bertajuk ”Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan” tulisan Eko Rusdianto, yang diterbitkan, pada Rabu (6/10/2021) melalui laman www.projectmultatuli.org, menjadi viral di media sosial. Kasus kekerasan seksual yang dialami tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mendapat kecaman dan sorotan publik, terutama kalangan aktivis perlindungan anak dan perempuan.
Dalam tulisan tersebut, Eko mengungkap perjalanan menggapai keadilan dari Lydia (bukan namanya sebenarnya), seorang ibu tunggal, ketika mendapati ketiga anaknya mengalami kekerasan seksual dari ayah kandung mereka. Lydia (setelah bercerai dengan suaminya) tinggal bersama anak-anaknya di Luwu Timur (Lutim), kabupaten perbatasan di Sulawesi Selatan (12 jam berkendaraan dari Kota Makassar).
Hingga Sabtu (9/10), berbagai komentar dan pertanyaan pun disampaikan publik, menanggapi kejahatan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kandung dari tiga anak—yang juga aparatur sipil negara di sebuah kantor pemerintahan daerah.
Tak hanya kepolisian, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lutim pun disoroti-karena lembaga yang seharusnya memberikan perlindungan pada para korban, layanannya justru tidak menunjukkan keberpihakan pada korban.
Jika terbukti terjadinya kekerasan seksual kami harapkan aparat penegak hukum menindak tegas kepada pelaku.
Kasus yang terjadi sekitar dua tahun yang lalu (akhir 2019), telah dilaporkan di kepolisian setempat. Namun, penyelidikannya dihentikan oleh Kepolisian Resor (Polres) Lutim. Langkah kepolisian pun dipertanyakan karena dinilai ada sejumlah kejanggalan dalam proses hukum kasus tersebut.
Begitu juga P2TP2A Lutim dipertanyakan, menyusul adanya keterangan psikolog dari lembaga tersebut yang menyebutkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya.
Kasus tersebut mendapat perhatian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Pada Sabtu siang, Menteri Bintang mengeluarkan pernyataan melalui video yang dikirimkan Humas Kementerian PPPA kepada media.
Tidak hanya menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap tiga anak korban yang mengalami kekerasan seksual, Ia mengajak semua pihak yang terkait termasuk para pendamping korban untuk terus berupaya mengumpulkan fakta-fakta hukum yang dapat dijadikan alat bukti sehingga kepolisian dapat membuka kembali kasus tersebut.
”Jika terbukti terjadinya kekerasan seksual kami harapkan aparat penegak hukum menindak tegas kepada pelaku. Siapa pun pelakunya, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berikan efek jera pada pelaku,” tegas Bintang.
Selanjutnya, Bintang memastikan saat ini, pihak Kementerian PPPA telah melakukan koordinasi dan pemantauan dengan pemerintah daerah, yakni dengan Dinas PPPA Lutim dan Dinas PPPA Sulsel.
”Kami juga sudah menurunkan tim dari Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 untuk melakukan koordinasi dan asesmen lanjutan secara komprehensif terutama pengkajian informasi perbedaan hasil visum et repertum dan pemeriksaan fasilitas kesehatan Puskemas Malili,” ujar Bintang.
Di Makassar, pada hari yang sama, tim kuasa hukum korban yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak menyampaikan pernyataan sikap, yang diwakili Muhammad Haedir, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar dan Rosmiati Sain, Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).
”Kami meminta kasus ini harus diselesaikan tuntas, dibuka kembali oleh kepolisian. Dalam proses pencarian bukti, dibuka dulu kasusnya kemudian mencari bukti-buktinya. Tidak mungkin bukti ditemukan di luar proses hukum, harus melalu proses hukum,” kata Haedir, Sabtu petang.
Oleh karena itu, tim kuasa hukum meminta agar kepolisian segera membuka kembali perkara tersebut, memeriksa ulang para korban dan ibunya, juga meminta hasil rekam medis di puskesmas dan rumah sakit. Pihaknya juga siap menyerahkan bukti-bukti yang ada pada polisi.
”Kasus ini jangan lagi ditangani Polres Lutim, tapi diambil alih oleh Mabes Polri. Kalaupun ditangani Polda, harus melakukan pengawasan,” tegas Haedir.
Pada bagian lain, Haedir menegaskan, kasus ini seharusnya menjadi pelajaran semua pihak, khususnya kepada kepolisian dan P2TP2A untuk memperbaiki mekanisme layanan, khususnya pada Dinas PPPA apalagi bicara kekerasan seksual.
Dugaan pelanggaran prosedur
Tim kuasa hukum korban menyatakan kasus tersebut diterima dan mulai dilakukan pendampingan semenjak 23 Desember 2019. ”Selaku tim kuasa hukum korban, kami sejak awal menilai penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Lutim adalah prematur serta di dalamnya ditemui sejumlah pelanggaran prosedur,” ungkap Haedir.
Hal itu dikuatkan dengan sejumlah fakta yang ditemukan tim kuasa hukum. Misalnya, ketika proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, sang pelapor-selaku ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi. Bahkan, pelapor dilarang membaca berita acara pemeriksaan (BAP) para anak korban, saat diminta penyidik menandatangani BAP tersebut.
Proses yang dilalui para korban dan pelapor juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya. Hal ini menyalahi ketentuan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23 yang mengatur bahwa ”Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orangtua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban dan/atau anak saksi, atau pekerja sosial.”
Rosmiati menegaskan, pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan satu kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan tersebut, mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan tidak utuh dalam berita acara.
Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual terhadap Anak bahkan mempertanyakan dasar penghentian penyelidikan oleh penyidik, termasuk dua dokumen yang dikategorikan penyidik sebagai bukti Petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2A Lutim dan asesmen Puspaga Lutim.
Kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya. Sementara keduanya berasal dari proses yang berpihak pada terlapor.
”Ini salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali pelapor meminta perlindungan di P2TP2A Lutim. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama ASN,” kata Rosmiati.
Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual Laporkan Ayah Kandung ke Polrestro Bekasi
Koalisi juga melihat kejanggalan dalam proses hukum, karena menyertakan hasil pemeriksaan P2TP2A Luwu Timur yang menerangkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya. Seharusnya, Polda Sulsel mendalami hasil visum et psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, yang masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor.
Di sisi lain, ada upaya mendelegitimasi kesaksian pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang dilakukan penyidik. Sementara, ada laporan psikologis terhadap para anak korban oleh psikolog P2TP2A Kota Makassar tertanggal 20 Desember 2019, yang diajukan kuasa hukum pada gelar perkara di Polda Sulsel tanggal 6 Maret 2020, yang mengungkapkan para anak korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh ayah kandung korban beserta dua temannya.
Pelapor kantongi bukti
Selain memiliki bukti foto alat kelamin anak-anaknya yang mengalami kekerasan seksual, pelapor juga memeriksakan para korban di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, karena hasil diagnosa alat kelamin anak-anak nya mengalami kerusakan.
”Bukti-bukti dan argumentasi hukum tersebut telah kami sampaikan dalam Gelar Perkara Khusus atas permintaan kami Pada 6 Maret 2020 di Polda Sulsel. Namun tidak dipertimbangkan oleh Polda Sulsel,” kata Haedir.
Selain mengawal di kepolisian, tim kuasa hukum korban juga telah mengirim aduan dan permintaan dukungan ke sejumlah lembaga di antaranya LPSK, Kompolnas, Ombudsman RI, Menteri PPPA, Bupati Lutim, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Pada akhir September 2020, Komnas Perempuan juga sudah mengirim surat kepada Polres Lutim, Polda Sulsel, dan Mabes Polri. Atas surat itu, pada 5 Oktober 2020, Kepala Polres Lutim, Ajun Komisaris Besar Indratmoko, memberikan tanggapan bahwa penyidik telah maksimal dalam melakukan penyelidikan atas laporan kasus tersebut. Namun, dari hasil penyelidikan tidak ditemukan bukti yang cukup adanya tindak pidana sebagaimana dilaporkan sehingga penyelidikan dihentikan.
”Komnas Perempuan mendorong polisi untuk melakukan pemeriksaan ulang. Komnas Perempuan juga mendukung perempuan yang berhadapan dengan hukum, dalam kasus ini sebagai pelapor dalam upaya mencari keadilan,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, Jumat (8/10) malam.
Berhentinya proses hukum kasus kekerasan seksual pada anak di Lutim seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Betapa upaya perlindungan pada anak-anak dan perempuan yang mengalami kekerasan masih mengalami hambatan dan tantangan. Betapa lembaga seperti P2TPA yang harusnya hadir di garda terdepan mewakili negara justru menjadi penghalang terwujudnya keadilan bagi para korban!
Kasus kejahatan seksual yang masih terus terjadi seharusnya semakin mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.