Koalisi Selamatkan Anak Indonesia Minta PTM Terbatas Dikaji Ulang
Pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas diminta ditunda sampai pemerintah memastikan semua populasi sekolah mendapat vaksin dan tingkat positivity rate Covid-19 di bawah lima persen.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Selamatkan Anak Indonesia meminta pemerintah mengkaji ulang pembelajaran tatap muka atau PTM Terbatas. Pelaksanaan PMT terbatas dalam kondisi saat ini berpotensi membahayakan keselamatan dan kesehatan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan karena tidak didasarkan pada data epidemiologis yang sahih, perencanaan dan peraturan yang lemah, serta penegakan protokol kesehatan yang tidak maksimal.
Koalisi Selamatkan Anak Indonesia (KSAI) terdiri dari organisasi kemasyarakatan, meliputi LaporCovid-19, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Center for Education Regulations and Development Analysis, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Rakyat, dan Surabaya Children Crisis Center. KSAI menilai pelaksanaan PTM terbata secara masif mencerminkan bentuk pengabaian negara dalam menjamin perlindungan kesehatan dan keselamatan warga sekolah yang dijamin oleh perundang-undangan dan konstitusi.
Oleh karena itu, KSAI akan mengirimkan surat tuntutan dalam format kertas kerja (position paper) tentang Desakan untuk Meninjau Ulang PTM Terbatas pada Senin ini kepada Presiden Joko Widodo; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi: Menteri Kesehatan; dan Menteri Dalam negeri.
KSAI meminta supaya PTM terbatas ditunda hingga pemerintah memastikan semua populasi sekolah sesuai dengan kelompok umurnya mendapatkan vaksinasi. Selain itu, hal lain yang perlu dipastikan sebelum PTM terbatas dibuka adalah positivity rate (rasio kasus positif yang berbasis tes PCR) di tingkat kabupaten/kota mesti di bawah 5 persen; pemerintah telah menetapkan jumlah sarana prasarana protokol kesehatan di sekolah dengan rasio yang proporsional sesuai dengan jumlah populasi yang terlibat dalam PTM; sesuai dengan asesmen dari pemerintah daerah; dan orangtua memberikan izin.
“Kami tidak menolak PTM sepanjang pemerintah tidak lepas tangan atau mengabaikan tanggung jawabnya menjamin pemenuhan kualitas kesehatan tertinggi anak oleh negara. Pelaksanaan PTM yang masih rentan akan mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan anak,” kata Charlie Albajili dari LBH Jakarta di acara konferensi bertajuk PTM Pertaruhkan Keselamatan Anak, Minggu (3/10/2021).
Namun, berdasarkan laporan dan pantauan dari daerah yang diterima KSAI, terlihat sejumlah indikasi buruk pengaturan syarat PTM terbatas yang dibuat pemerintah. Pemerintah mengesampingkan pertimbangan epidemiologis seperti vaksinasi dan angka rata-rata positif. Sebaliknya, data epidemologis yang tidak sahih justru dijadikan sebagai dasar kebijakan, juga buruknya keterbukaan informasi terkait data-data esensial kepada orangtua, asumsi urgensi PTM terbatas yang prematur, serta penegakkan hukum yang lemah dan tidak konsisten.
KSAI menyampaikan tuntutan agar PTM ditunda untuk anak di bawah usia 12 tahun karena belum ada kebijakan vaksinasi dan beragam dampak Covid-19 pada anak. Saat ini, yang harus diperkuat adalah pelaksanaan random regular monitoring (pengawasan regular secara acak), pelacakan kontak secara rutin, dan tes acak secara konsisten kepada warga sekolah untuk mengukur tingkat penularan pada skala sekolah.
Selanjutnya, pemerintah juga mesti memberikan penjelasan secara rinci kepada orangtua tentang data- data epidemiologi dan kesiapan sarana prasarana sekolah dalam menghadapi pandemi. Prinsipnya, ada penyampaian informasi yang tepat dan memadai tentang Covid 19 beserta risikonya terhadap anak.
Perbaiki PJJ
Selain mempersiapkan PTM terbatas, pemerintah tetap harus memperbaiki sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) agar lebih efektif dan efisien dengan fasilitas yang memadai dan pengajar yang mumpuni. Hal ini penting sebagai bentuk mitigasi apabila pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang lebih ketat diberlakukan kembali.
Untuk itu, pemerintah harus menyusun suatu rencana besar sistem pendidikan yang mampu beradaptasi dalam situasi bencana dan krisis. Selanjutnya, sistem pendidikan tersebut akan menjadi pegangan pemerintah dalam penerapan pendidikan dalam kondisi darurat.
Charlie mengatakan, aspek kesehatan harus jadi pertimbangan utama untuk PTM terbatas pada masa pandemi ini. Ketika masuk mal ada syarat pengunjung harus vaksin dan penerbangan ada tes antigen/PCR untuk meminimalkan bahaya kesehatan, maka di sekolah pun seharusnya ada pertimbangan kesehatan yang sama, yaitu keharusan vaksin bagi peserta didik.
Untuk mengatasi kondisi belajar yang terbatas sebenarnya tidak hanya dengan PTM. “Sampai saat ini belum terlihat ada upaya terstruktur untuk memastikan bagaimana kalau terpaksa PJJ lagi tidak memperparah learning loss,” kata Charlie.
Data dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menunjukkan, ada 1.244 guru meninggal selama pandemi Covid-19. Kemudian, data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukan sudah lebih dari 351.336 anak terinfeksi Covid-19, dan lebih dari 777 anak meninggal akibat Covid-19. Pada saat yang sama, anak juga memiliki risiko tinggi terkena Long Covid.
Iman Zanatul Haeri dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, dari dashboard kesiapan sekolah oleh Kemendikbudristek hingga 3 Oktober 2021, baru sekitar 59,56 persen satuan pendidikan yang mengisi dari total 537.331 satuan pendidikan, sedangkan 40,44 persen satuan pendidikan lainnya belum mengisi.
“Hampir separuh sekolah belum siap melakukan pembukaan sekolah secara nasional. Standardisasi yang dilakukan terlalu fokus pada pemenuhan sarana dan prasarana, tidak diadakan tes secara reguler sehingga berisiko tinggi untuk penyebaran (Covid-19) di sekolah,” ujar Iman.
Berdasarkan laporan yang dihimpun P2G, terlihat hanya sekolah-sekolah di perkotaan yang siap melakukan PTM. Seperti di DKI Jakarta, persiapan PTM hanya dengan mengisi modul dan tidak ada verifikasi di lapangan. Hal ini berisiko memicu munculnya kluster sekolah.
Di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat dilaporkan banyak siswa yang tidak memakai masker. Selain itu, sosialisasi, penyuluhan, dan pelatihan tentang PTM terbatas juga minim dilakukan. Sementara itu, di beberapa daerah seperti Buktitinggi, Sumatera Barat dan Aceh Timur, jam pelajaran PTM terbatas melebihi jam yang ditentukan dalam Surat Keputusan Bersama 4 Menteri,
Iman menambahkan, standardisasi sekolah untuk menggelar PTM terbatas yang berdasarkan pada level PPKM 1-3 tidak jelas, hanya berdasar Instruksi Mendagri. Di beberapa daerah yang masih memiliki positivity rate 10-12 persen, sekolah tetap diperbolehkan menggelar PTM. Demikian pula ada potensi manipulasi dalam persetujuan orangtua karena metode perolehan persetujuan tidak disertai lampiran kesiapan sekolah secara detail.
Kami melihat pelaksanaan PTM dengan segera berdasarkan klaim yang keliru. Urgensi yang disebutkan pemerintah harus membuka sekolah untuk mengatasi dampak Covid-19 pada pembelajaran tidak sepenuhnya benar.(Iman Zanatul Haeri)
“Kami melihat pelaksanaan PTM dengan segera berdasarkan klaim yang keliru. Urgensi yang disebutkan pemerintah harus membuka sekolah untuk mengatasi dampak Covid-19 pada pembelajaran tidak sepenuhnya benar,” kata Iman.
Tentang learning loss, kata Iman, menunjukkan bahwa kegagalan pemerintah menyusun sistem pembelajaran yang bermutu. Mestinya PJJ terstandar, tapi PJJ masih jadi beban, inovasi pembelajaran di masa pandemi Covid-19 tidak signifikan dan terstandar. Karena itu, harus ada upaya serius untuk segera mengoptimalkan PJJ.
Dampak pada putus sekolah, ternyata bukan karena Covid. Di tahun 2018-2019, anak putus sekolah lebih dari 300.000 anak, di tahun 2019-2020 lebih dari 157.000 anak, sedangkan pada 2020-2021 hampir 5000 orang. “Klaim pandemi mengakibatkan putus sekolah terbantahkan. Tidak fterjadi angka putus sekolah yng signifikan,” kata Iman.
Natasha Devanand dari LaporCovid-19 mengatakan, masih rendahnya vaksinansi bagi populasi sekolah membuat PTM terbatas rentan dan berisiko pada anak, pendidik, dan keluarga, khususnya bagi anak di bawah usia 12 tahun yang belum divaksin.“Sejak 30 Agustus PTM dibuka, kami terus menerima pengaduan tentang PTM yang tidak memadai untuk mitigasi dan protokol kesehatan, serta izin masuk PTM dengan persetujuan orangtua yang terkesan dipaksakan,” kata Natasha.
Di acara Ngobrol Pintar Seputar Edukasi “Mengukur Efektivitas PTM Terbatas dalam Menanggulangi Learning Loss, Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan, dari kajian yang dilakukan Kemendikbudristek apda akhir tahun 2020, mayoritas guru dan siswa sangat tidak senang dengan pengalaman PJJ. Persepsi guru mengenai pengalaman mengajar PJJ jadi beban berat.
Pembelajaran tetap memakai kurikulum 2013 secara penuh yang sarat dengan materi. Adapun, PJJ tetap dilakukan dengan memberikan banyak tugas kepada siswa. Akibatnya, berdasarkan asesmen diagnostik dari 68 persen guru, tampak profil kemampuan siswa yang mengkhawatirkan karena 50 persen siswa tidak memenuhi standar kompetensi yang diharapkan selama belajar dari rumah.
“PTM terbatas sesungguhnya kebijakan baik, tapi harus dipantau berkala. Namun, belum ada secara jelas pedoman bagaimana pemantauan PTM terbatas dilakukan. Termasuk pula, belum ada pedoman yang jelas bagi guru bagaimana menjalankan metode pembelajaran daring secara penuh, campuran, maupun PTM,” kata Ferdiansyah.
Fediansyah mengatakan, perlu dicermati juga tentang batasan waktu maksimum anak di depan layar. Namun, sudah lebih dari satu tahun belajar dari rumah, PJJ yang ditawarkan pemerintah terkesan insidental dan tidak siap menyusun strategi sesuai realitas kondisi di Indonesia.
Sebelumnya Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim dalam talkshow #BangkitBareng yang digelar Republika.co.id, Selasa (28/9), mengatakan, Kemendikbudristek dan Kemenkes memastikan protokol kesehatan dijalankan dalam pelaksanaan PTM terbatas. Menurutnya, yang lebih menyeramkan adalah dampak permanen PJJ apabila dipaksakan, apalagi untuk murid pendidikan anak usia dini (PAUD) dan SD yang belum bisa divaksin, yang justru kebutuhan PTM-nya tinggi.