Mendekatkan Anak Muda pada Sejarah dan Sastra Klasik
Peremajaan naskah klasik dinilai penting agar mudah dipahami anak muda. Buku ”Desawarnana” yang merupakan saduran dari ”Nagarakertagama” diharapkan menginspirasi penulis untuk melakukan peremajaan naskah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Petugas di Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas menunjukkan aksara Jawa Kuno yang tertulis pada dluwang atau kertas kuno, Rabu (25/11/2020). Usianya diperkirakan lebih dari 200 tahun. Isi dan maknanya belum diketahui dan perlu penelitian lebih lanjut.
Buat sebagian anak muda, sejarah tak jauh dari hafalan. Kadang sulit memahami sejarah karena bahasanya rumit, begitu pula dengan memahami sastra klasik. Hal ini sedikit banyak menjauhkan anak muda dari akar sejarahnya.
Pembaca muda sastra Jawa klasik, Mega Aroem, mengatakan, ia sempat kesulitan membaca buku Kalangwan Sastra Kuno Selayang Pandang, terutama bagian yang menceritakan Nagarakertagama. Kesulitannya menemui jalan terang saat membaca buku Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja yang ditulis Mien Ahmad Rifai. Seperti judulnya, bahasa pada buku tersebut disesuaikan agar mudah dipahami remaja.
”Buku ini sangat mudah dibaca untuk generasi muda. Ada beberapa kata yang tidak saya pahami, tapi hal itu jadi menarik karena saya jadi mencari artinya di kamus dan buku, lalu jadi paham maksudnya,” kata Aroem pada diskusi buku daring, Kamis (30/9/2021) malam.
Untuk naskah yang sudah berumur 656 tahun, naskah ini masih sangat relatable di tahun 2021.
Mien menulis buku Desawarnana setelah putri sulungnya yang masih duduk di sekolah dasar dulu kesulitan memahami terjemahan Nagarakertagama oleh Slamet Mulyana. Baik Desawarnana maupun Nagarakertagama merupakan turunan dari naskah karya Mpu Prapanca. Naskah itu menceritakan kehidupan masyarakat di masa kejayaan kerajaan Majapahit.
Para siswa membaca buku pelajaran koleksi perpustakaan keliling selain buku seperti fiksi dan pengetahuan umum di SDN Lebak Bulus 07 Pagi, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Naskah karya Mpu Prapanca tersebut selama ini dikenal publik dengan nama Nagarakertagama. Naskah ini ditemukan pada 1894 oleh JLA Brandes, ilmuwan Belanda. Naskah itu ditemukan di perpustakaan istana raja Lombok yang diserang Belanda. Brandes menyelamatkan isi perpustakaan sebelum tentara membakar istana.
Mien menemukan bahwa judul asli naskah Mpu Prapanca adalah Desawarnana. Judul itu dipakai kembali untuk naskah yang ia sadur menjadi bacaan remaja.
Aroem mengatakan, Desawarnana mengisahkan kehidupan di masa Majapahit dengan sederhana, tetapi detail. Penggambaran soal bata merah pada bangunan, adanya pohon bodhi, lokasi alun-alun, taman istana, hingga suasana permukiman dinilai seperti vlog, tetapi dalam bentuk tulisan. Tanpa sadar Aroem membaca hingga tuntas.
”Untuk naskah yang sudah berumur 656 tahun, naskah ini masih sangat relatable di tahun 2021. Contohnya, lawatan yang dilakukan raja ibarat traveling di masa sekarang. Ada juga upacara Sraddha yang menjadi cikal bakal upacara Nyadran yang dilakukan masyarakat Jawa. Hal itu masih banyak dilakukan oleh masyarakat muda maupun tua,” kata Aroem.
Kompas/AGUS SUSANTO
Anak-anak membaca buku gratis yang diadakan sukarelawan yang tergabung dalam Komunitas Save Kali Cikarang di hutan bambu Warung Bongkok, Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (17/8/2020).
Sementara itu, menurut pustawakan Indina Zulfa Ilahi, relevansi naskah dengan kehidupan saat ini juga bisa dilihat dari kegiatan blusukan para pemimpin. Nyatanya, blusukan tidak hanya dilakukan para tokoh politik sekarang. Kegiatan ini sudah dilakukan Rajasanagara atau Hayam Wuruk sejak lampau.
Sejarah
Indina menambahkan, peremajaan naskah klasik ibarat menghapus kaca buram sejarah. Ada beberapa kesalahpahaman soal sejarah yang dapat diluruskan. Misalnya, selama ini publik memahami bahwa nama kerajaan Majapahit berasal dari buah maja. Namun, buku Desawarnana meluruskan bahwa itu bukan buah maja, melainkan buah berenuk yang memang mirip buah maja.
Meremajakan sejarah dan sastra klasik dinilai akan mendorong minat anak muda terhadap bacaan tersebut. Dengan demikian, anak muda akan semakin mengenal akar sejarah dan budaya bangsanya.
”Saya kira buku ini (Desawarnana) akan rumit seperti saat saya belajar sejarah dulu. Ternyata, buku ini sangat enak dibaca dan bahasanya sederhana tanpa mengurangi esensi (sejarahnya),” tutur Indina.
KOMPAS/SUCIPTO
Pengunjung tengah memilih buku di pameran buku Big Bad Wolf di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (2/11/2019). Pameran ini dihelat pada 1-10 Oktober 2019.
Sementara itu, menurut Mien Ahmad Rifai, sebagian anak muda tidak lagi gemar membaca buku. Kurikulum di sekolah juga tidak menyertakan buku bacaan wajib bagi siswa. Hal ini berbeda dengan kondisi di Eropa yang para siswanya diminta membaca karya sastra klasik sejak dini.
Mien berharap agar penulis lain terinspirasi untuk meremajakan naskah klasik Indonesia untuk dibaca anak muda. Bacaan itu akan menjadi bekal pengetahuan bagi generasi mendatang.