Beragam cara ditempuh "budak mudo" alias anak muda Palembang untuk mengenali sejarah dan budaya kotanya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
Sabtu, (27/3/2021), sekitar 20 anak muda duduk lesehan membentuk setengah lingkaran di Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang. Mereka tampak serius mendengarkan paparan Evy Apriyani, arsitek sekaligus pemerhati bangunan bersejarah di Kota Palembang. Dengan proyektor, Evy menampilkan foto beragam bangunan bersejarah di kota itu.
Satu per satu pertanyaan dilontarkan anak-anak muda itu. Seorang peserta bertanya, ”Ada berapa cagar budaya di Palembang?" Evy menjawab bahwa saat ini cagar budaya yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Palembang baru satu, yakni Pasar Cinde, yang berdiri tahun 1958 diarsiteki Abikusno Tjokroseojoso.
Sebenarnya, banyak bangunan bersejarah di Kota Palembang. Namun, belum ditetapkan oleh pemda. Kalaupun ada yang berstatus cagar budaya, kata Evy, masih mengacu Undang-Undang No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan belum diperbaruhi melalui UU 11/2010 tentang Cagar Budaya.
Namun, satu-satunya cagar budaya di Palembang itupun merana nasibnya. Yang tertinggal hanya empat tiang cendawan di fasad depan seiring rencana pemerintah membangun pasar modern di lokasi itu. Rencana itu direspons pro kontra sejak 5 tahun lalu, tetapi rencana jalan terus, yang turut disesalkan anak-anak muda penyuka sejarah.
Anak-anak muda itu tergabung dalam Komunitas Sahabat Cagar Budaya. Robby Sunata (42) pendiri komunitas mengatakan, diskusi sejarah di situs atau bangunan bersejarah ampuh menarik minat kaum muda dalam memahami sejarah kotanya. Selain diskusi, komunitas itu juga bertualang ke sejumlah tempat bersejarah yang mereka sebut heritage walk.
Tempat lain yang pernah dikunjungi adalah situs Talang Tuwo, tempat Prasasti Talang Tuwo ditemukan. Di dalam prasasti tercantum cerita Taman Sriksetra, sebuah taman nan asri yang diciptakan pendiri Kedatuan Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada tahun Saka 606 atau pada 684 Masehi yang diduga berdiri di tempat prasasti ditemukan.
Komunitas juga berkunjung ke Rumah Kapitan, bangunan berusia 377 tahun yang pernah ditempati Kapitan Palembang, Tjoa Ham Lim, yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi kapitan pada tahun 1871. Di sana, anggota komunitas berdiskusi tetang sejarah kedatangan bangsa China ke Palembang.
Aktivitas yang sudah berlangsung sejak 2017 itu terus berjalan hingga setidaknya satu kali sebulan. Hasil pertemuan juga dibagikan ke media sosial. Menurut Evy, penting bagi anak muda memahami sejarah karena dengan pemahaman itu akan muncul rasa memiliki dan melestarikannya.
Salah satu peserta diskusi, Kholid Zaim (24) menyatakan, diskusi membuatnya mengenal dan mencintai Palembang. "Bangunan tanpa narasi tidak ada artinya, narasi tanpa bangunan juga tidak lengkap. Bagi saya penting untuk menjaga situs sebuah kota agar tidak kehilangan sejarahnya," kata dia.
Mengenalkan sejarah Kota Palembang juga dilakukan Hidayatul Fikri (35) melalui media sosial, baik itu Youtube maupun Facebook. Melalui akun "Mang Dayat", ia kenalkan Kota Palembang berikut sejarahnya.
Ia, misalnya, menceritakan sejarah Jalan Merdeka, jalan raya pertama yang dibangun pada masa kolonial Belanda dengan menimbun Sungai Kapuran. Jalan ini menghubungkan kantor pemerintahan dengan kawasan Talang Semut yang merupakan kawasan elit Palembang. Kawasan dirancang arsitek Belanda Herman Thomas Karsten pada tahun 1929.
Jalan dinamakan Jalan Merdeka, karena di Kantor Ledeng (sekarang kantor Wali Kota Palembang), Pahlawan Nasional Adnan Kapau Gani membacakan teks proklamasi untuk pertama kalinya di Palembang.