Sekolah Berjibaku dengan Pembelajaran Campuran
Sistem pembelajaran campuran mengharuskan guru bisa mengajar siswa di sekolah dan di rumah, bahkan dalam waktu bersamaan. Sekolah mencoba berbagai macam cara dan strategi untuk menerapkannya
JAKARTA, KOMPAS – Pembelajaran tatap muka terbatas yang sudah dimulai di sejumlah sekolah dikombinasi dengan pembelajaran jarak jauh di rumah. Banyak sekolah yang mengatur pembelajaran di sekolah secara tidak penuh dalam seminggu, sehingga pembelajaran campuran jadi kebiasaan baru di tengah masih rawannya kasus penyebaran Covid-19.
Dari pantauan di sejumlah sekolah di berbagai daerah hingga Senin (27/9/2021), kebijakan sekolah untuk menjalankan pertemuan tatap muka atau PTM terbatas dan pembelajaran daring disesuaikan dengan kondisi tiap sekolah. Ada sekolah yang siswanya seratus persen bersedia belajar di sekolah sesuai jadwal, sehingga saat pembelajaran di dalam kelas guru bisa fokus berinteraksi dengan siswa dalam kelas. Namun, ada pula sekolah yang menjalankan PTM terbatas dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara bersamaan.
Kepala Sekolah SMKN 38 Jakarta, Ida Saidah, menjelaskan, kegiatan belajar-mengajar masih dibatasi dengan menggilir tiga jenjang kelas untuk masuk hari Senin, Rabu, dan Jumat. Setiap hari, hanya ada tiga rombongan belajar di kelas selama empat jam.
Setiap rombongan belajar pun tidak hadir ke sekolah setiap minggu. Dalam sebulan terakhir, satu rombongan belajar baru menjajal dua kali PTM. Mereka digilir untuk datang ke sekolah setiap dua minggu sekali.
Dalam implementasinya, sistem pembelajaran campuran juga mengharuskan guru bisa mengajar siswa di sekolah dan di rumah dalam waktu bersamaan. Hal ini menuntut siswa yang belajar di rumah untuk bisa mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah.
Namun, Ida mengakui, model pembelajaran tersebut terkendala ketersediaan alat ajar, seperti laptop atau kamera yang terhubung internet. Ia juga menyangsikan anak muridnya, yang mayoritas penerima bantuan Kartu Jakarta Pintar, mampu mengikuti kelas secara daring selama empat jam dengan gawai atau kuota internet sendiri.
"Kalau kata pengawas sekolah, ini (pembelajaran campuran) harus tetap dilakukan. Jadi, saya sudah coba anggarkan dari dana BOS. Sebenarnya, sekarang banyak dana enggak keluar. Bantuan Operasional Pendidikan enggak keluar, kita jadi enggak bisa bergerak karena pemerintah daerah fokus ke penanganan Covid-19. Kita sih paham," ujarnya.
Di SMAN 25 Jakarta, sekolah menyediakan dukungan penyediaan satu tripod di tiap kelas. Tripod digunakan untuk menyangga telepon pintar para guru selama mengajar. Kamera ponsel diarahkan agar menyorot papan tulis. Jadi, siswa yang mengikuti pelajaran secara daring tetap bisa melihat apa yang ditulis dan diajarkan guru di kelas.
“Untuk sementara kami pakai ponsel para guru,” kata Kepala SMAN 25 Saryanti.
Pelaksana Tugas Kepala SMPN 5 Yogyakarta Retna Wuryaningsih mengatakan, PTM terbatas di sekolah tersebut diikuti oleh 50 persen dari total siswa. Sementara itu, sebanyak 50 persen siswa lainnya mengikuti PJJ dari rumah.
“Di hari berikutnya, dilakukan pergantian. Siswa yang sebelumnya mengikuti PJJ dari rumah akan mengikuti PTM di sekolah dan sebaliknya,” ujar Retna.
Retna menambahkan, PTM di sekolah digelar selama tiga jam. Selama PTM di kelas berlangsung, siswa yang PJJ di rumah juga bersiap mengikuti secara daring.
Mengatur Sif
Pembukaan sekolah di masa pandemi Covid-19 yang masih dibatasi berbagai aturan protokol kesehatan, membuat sekolah harus kreatif mencari cara yang tepat untuk tetap menjalankan pembelajaran yang semakin baik dari hanya sekadar PJJ. Ada sekolah yang saat PTM hanya fokus menggelar PTM, lalu mengatur PJJ di waktu yang berbeda sehingga guru bisa lebih fokus.
Kepala SMAN 6 Yogyakarta Siti Hajarwati menjelaskan, sesuai dengan aturan pemerintah, PTM tersebut hanya diikuti oleh 50 persen siswa. Untuk menghindari kerumunan, waktu kedatangan dan kepulangan para siswa yang mengikuti PTM itu pun dibagi menjadi dua sif atau giliran.
“Untuk sif pertama, anak-anak masuk jam 07.00 dan pulang jam 10.45. Untuk sif kedua, anak-anak masuk jam 07.50 dan pulang jam 11.35,” ujar Hajarwati.
Hajarwati menuturkan, PTM di SMAN 6 Yogyakarta hanya digelar selama empat hari dalam seminggu, dari hari Senin hingga Kamis. Sementara itu, pada hari Jumat, SMAN 6 Yogyakarta hanya menggelar PJJ.
Baca juga: Pembelajaran Tatap Muka Dibayangi Kluster Sekolah
Hajarwati menyatakan, selama pandemi Covid-19, SMAN 6 Yogyakarta menggunakan kurikulum darurat yang diperkenalkan Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi. Dengan memakai kurikulum darurat, proses pembelajaran pun bisa difokuskan pada materi yang esensial.
Untuk menyamakan kualitas pembelajaran, Hajarwati menyebut, seluruh siswa dari satu kelas akan menjalani PTM secara bersamaan. Namun, untuk mencegah kerumunan saat PTM, mereka dibagi ke dua ruang kelas yang berbeda.
“Misalnya Kelas X MIPA 1, kalau tatap muka, ya semuanya tatap muka tapi kita bagi di dua ruangan. Jadi, bukan separuh di rumah, separuh di sekolah,” ujar Hajarwati.
Sementara itu, SD Kartika IV-6 Kota Malang, Jawa Timur, saat PTM kelas dibagi menjadi dua (absen ganjil dan genap). Semua siswa masuk secara bersamaan (tidak ada kelas daring, karena orangtua mengizinkan kelas luring). Meski masuk secara bersamaan, tapi konsentrasi guru bisa tetap fokus. Sebab, mata pelajaran di dua kelas tersebut dibedakan.
Di acara Diskusi Bulanan #10 bertajuk “Pendidikan di Masa Pandemi : Transisi Menuju Exit Stategy yang digelar Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Senin, Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriawan Salim mengatakan, di era pandemi ini, tri sentra pendidikan yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi trisentra plus yakni ditambah dunia digital. Kenyataannya, PTM terbatas berkisar dua hingga tiga jam per hari, sedangkan anak dengan gawainya bisa menghabiskan waktu lebih dari delapan jam.
“Harus ada skenario yang fokus untuk mengembangkan pendidikan digital. Ini untuk resiliensi atau ketangguhan menghadapi bencana atau pandemi yang dapat terjadi secara tidak terduga,” kata Satriawan.
Dari survei pada guru-guru tentang kesiapan PTM tahun 2021, ujar Satriawan, PJJ menjadi tidak menarik bagi siswa karena guru terjebak untuk selalu memberi tugas pada tiap mata pelajaran. Para guru mata pelajaran di sekolah belum terbiasa untuk berkolaborasi membuat proyek pembelajaran yang menggabungkan banyak mata pelajaran dengan kompetensi dasar yang mirip.
Satriawan juga menyayangkan belum terlihat peran lembaga pendidik dan tenaga kependidikan atau perguruan tinggi kependidikan menawarkan inovasi pembelajaran digital. Akhirnya, ada pemerintah daerah yang lebih “membesarkan” platform edutech swasta dengan mewajibkan sekolah-sekolah mengaksesnya, termasuk tentang pedagogi daring yang belum banyak dipahami dan dikuasai para guru.
“Untuk pedagogi guru dalam pembelajaran normal saja selama ini rendah, ibarat nelayan enggak tahu (bagaimana) menangkap ikan. Apalagi ini tiba-tiba harus PJJ. Wajar jika guru pakai insting pedagogi dibandingkan berdasar konsep pedagogi digital yang belum banyak dipelajari,” kata Satriawan.
Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia Ellen Nugroho mengatakan, pengalaman PJJ darurat yang dilakukan sekolah membuat banyak keluarga yang terbuka matanya tentang esensi dari pendidikan. Akhirnya, banyak keluarga yang beralih untuk menjalankan model belajar homeschooling untuk anak-anak mereka karena pembelajaran daring yang ditawarkan sekolah tidak efektif.
“Selama pandemi ada penambahan signifikan jumlah peserta homeschooling yang. Tiap bulan selalu ada saja yang mendaftar, kalau sebelum pandemi belum tentu ada yang daftar. Penambahannya cukup signifikan,” kata Ellen.
Yang terjadi sekarang adalah belajar di sekolah dipindahkan ke rumah, tetapi caranya tetap seperti di dalam kelas.
Menurut Ellen, yang terjadi sekarang adalah belajar di sekolah dipindahkan ke rumah, tetapi caranya tetap seperti di dalam kelas. Anak-anak seharian daring menatap layar dan diharapkan bisa mendapat sesuatu di situ.
“Jelas-jelas cara PJJ yang banyak terjadi ini merupakan cara belajar yang tidak ramah anak dan otak, tidak efektif. Mampukah guru dan manajemen sekolah berefleksi mengenai esensi pendidikan dari situasi pandemi ini?,” ujar Ellen.
Belajar, kata Ellen, didorong dari dalam diri anak. Karena itu, pembelajaran harus kontekstual dan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan tiap anak.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fikri Muslim mengatakan, di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, ada istilah tentang PJJ. Namun, PJJ yang terjadi saat ini tidak dalam kondisi ideal, penuh dengan keterbatasan. Tetapi PJJ tetap akan jadi andalan saat ini yang digabungkan dengan PTM atau pembelajaran campuran.
“PJJ masih merupakan pilihan utama di kondisi Covid-19 saat ini untuk keberlangsungan pendidikan. Perlu inovasi dan strategi agar optimal. Model kunjungan jadi alternatif untuk sekolah yang tidak bisa daring,” kata Fikri.
Baca juga: Ada Kasus Positif dan Pelanggaran Protokol, Tujuh Sekolah di Jakarta Ditutup
Sementara itu, Gorky Sembiring, dosen Universitas Terbuka mengatakan, tanpa ada intervensi pedagogi yang tepat dan berkualitas, PTM maupun PJJ akan gagal. Pendidikan harus menghadirkan pengalaman pendidikan, ada kehadiran kognitif, pengajaran, sosial, dan individu pembelajar.(ELN/SKA/ERK/HRS/DIA/JOL/AIN)