Oh Guru Honorer Tua, Nasibmu...
Di usia yang sudah tua, sejumlah guru honorer mengibarkan bendera putih usai mengikuti tes tahap pertama guru PPPK. Pengabdian belasan-puluhan tahun tak diperhitungkan pemerintah.
Saat ruang-ruang kelas di banyak sekolah, termasuk di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), tak memiliki sosok guru untuk menjadi pengajar bagi anak-anak bangsa, guru honorer datang. Umumnya para guru yang lulusan sekolah pendidikan guru (setara SMA) mengisi kekurangan guru yang masif di sekolah milik pemerintah.
Mereka bersedia dibayar seadanya, ditempatkan di sekolah pelosok, bahkan jadi guru yang menggeliatkan pembelajaran untuk mencerdaskan anak-anak yang tak beruntung selama belasan hingga puluhan tahun. Suatu saat, mereka memiliki harapan bahwa pengabdian tanpa pamrih ini bisa berujung dengan pengangkatan sebagai guru pegawai negeri sipil (PNS) atau kini guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian (PPPK).
Seleksi guru honorer menjadi guru aparatur sipil negara berstatus PPPK ditawarkan pemerintah untuk menyediakan guru tetap di sekolah negeri. Di Tahun 2021 ini, ada prioritas bagi guru honorer di sekolah negeri menjadi guru PPPK, tetapi tetap dengan syarat mengikuti tes, lalu ditambah afirmasi. Setelah ujian seleksi guru PPPK tahap satu dilaksanakan khusus bagi guru honorer yang memenuhi syarat, timbul berbagai persoalan yang dinilai tidak berpihak pada nasib guru honorer yang dedikasinya sudah terbukti.
Pengabdian guru honorer yang begitu panjang jangan dihapuskan begitu saja dengan hasil tes kompetensi teknis yang lebih menilai aspek kognitif semata.
Edi Wibiyono (58), guru SDN Jombok 5, Trenggalek, Jawa Timur, menahan tangis saat mengisahkan kegundahan hatinya setelah tes kompetensi teknis seleksi PPPK tahap 1, Jumat (17/9/2021). Edi yang sehari sebelumnya ikut tes berbasis komputer di SMAN 1 Karangan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, yang berjarak sekitar 18 kilometer dari rumahnya di Kecamatan Suruh, merasa tak punya harapan.
”Nilai ujian kompetensi teknis saya 291. Nilai saya kurang 2 poin, tidak memenuhi ambang batas. Saya sudah berusaha maksimal di usia saya yang 58 tahun ini. Tapi rasanya kecerdasan saya di masa muda sudah kalah jauh,” ujar Edi di ujung telepon dengan suara menahan isak tangis.
Ia yang seorang lulusan SPG ingin menjadi guru seperti ayahnya yang juga seorang guru. Ketika ada kabar di SDN Joho 3 kurang guru, Edi melamar. Tiap hari dia menempuh perjalanan dengan kendaraan roda dua model lama sejauh 40 kilometer, melewati hutan dan jalan rusak. Semua dilakoni meskipun dibayar Rp 300.000 per bulan. Itu pun sering kali terlambat, tergantung pencairan dana bantuan operasional sekolah.
Edi menjadi guru kelas 3 di SD terpencil tersebut karena hanya ada dua guru PNS, termasuk kepala sekolah, di sana. Jiwa pendidiknya terpanggil saat melihat anak-anak di sekolah yang berbinar karena ada guru yang tiap hari hadir di kelas. Edi bertahan di sekolah ini hingga tahun 2020.
Perjuangan dan pengabdian
Selama menjadi honorer hampir 20 tahun di sekolah terpencil, Edi terus meningkatkan kapasitas dirinya. Ketika ada kebijakan sertifikasi guru yang mewajibkan guru minimal berpendidikan S-1, Edi pun kuliah S-1 dengan biaya sendiri pada 2007 selama empat tahun.
”Namun, kesempatan sertifikasi tidak pernah datang. Padahal, saya sudah kuliah dengan biaya sendiri. Tidak mudah karena juga harus membiayai tiga anak. Pulang sekolah, saya bersama istri jualan es degan (kelapa muda),” ujar Edi.
Baca juga : Seleksi PPPK Dinilai Tidak Ramah bagi Guru Honorer
Pada 2020, Edi berpindah ke SDN Jombok 5, Kecamatan Pule, yang lebih dekat ke rumahnya. Di sekolah ini ada perbaikan nasib, gajinya menjadi Rp 800.000 per bulan. Sebenarnya Edi berat hati berpindah dari sekolah lama, tetapi secara halus dia ”tersingkir” akibat ada guru calon PNS muda yang dikirim ke sekolahnya.
”Saya merasa terkhinati dengan model seleksi PPPK yang ternyata sulit ini. Tinggal dua tahun saya mau paripurna dan meninggalkan sekolah. Tidak ada perbaikan nasib yang lebih baik,” ujar Edi.
Hati Edi miris ketika ada yuniornya yang juga guru honorer memenuhi ambang batas. Dia senang ada kesempatan buat rekannya yang masih muda untuk bisa menjadi seleksi PPPK, tetapi ada hati yang teriris karena para guru honorer tua banyak yang ”kalah” dalam seleksi ini.
”Saya tidak akan ikut tahap dua. Cukuplah sudah saya membuktikan perjuangan supaya guru honorer yang muda tetap punya semangat,” ujar Edi dengan suara lemah.
Selama tes tahap satu PPPK untuk guru honorer pekan lalu, di media sosial berseliweran, guru honorer berusia sepuh yang ikut tes. Ada seorang guru perempuan yang harus dipapah ke ruang ujian karena menderita stroke, tetapi tetap setia mengajar. Mereka terhenyak lemas karena tes kompetensi telah memupuskan harapan untuk bisa menyandang sebagai guru ASN bersatus PPPK yang selama ini terus diperjuangkan.
Baca juga : Seleksi PPPK Karut-marut, Guru Honorer Tuntut Keadilan
Karut-marut seleksi guru honorer PPPK di tahap pertama ini dikecam sejumlah organisasi guru. Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) mempermasalahkan banyak guru honorer yang mengampu sejarah, sudah lolos verifikasi dan mendapat nomor ujian, serta bisa mencetak nomor ujian, tetapi tidak mendapat panggilan tes di tahap satu. Hal ini juga dialami guru honorer pendidikan agama Kristen, dan guru mata pelajaran lainnya.
Meskipun ada kesempatan hingga tiga kali tes bagi guru honorer, tetapi di tahap kedua dan ketiga mereka harus berkompetisi secara terbuka dengan guru honorer muda. Juga dengan lulusan perguruan tinggi penghasil guru yang sudah mengikuti pendidikan profesi guru.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Iwan Syahril, mengatakan setiap guru PPPK yang lulus harus memiliki pengetahuan minimal. Masih ada kesempatan tes kedua dan ketiga bagi guru honorer. “Jadi guru terus didorong untuk belajar, ujar Iwan.
Protes organisasi guru
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan dunia pendidikan Indonesia dalam keadaan gawat darurat akibat kekurangan guru. Kebijakan moratorium guru PNS telah berlangsung puluhan tahun, dan selama itu pula pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah diisi dengan pengabdian para guru honorer.
“Penyelesaian pemenuhan kebutuhan guru di satuan pendidikan merupakan prioritas, terutama mengangkat tenaga honorer untuk menjadi ASN sebagai bentuk kehadiran negara terkait perlindungan, penghargaan, dan kesejahteraan para guru,” ujar Unifah.
Penerimaan ASN melalui jalur PPPK khusus guru adalah untuk mengakomodir penyelesaian masalah guru honorer kategori dua di atas usia 35 tahun dengan pengabdian yang cukup lama dan hingga kini belum terselesaikan prosesnya. Namun, pelaksanaan tes seleksi PPPK 2021 tahap pertama menuai banyak reaksi dari kalangan guru honorer yang mengikuti seleksi pada tahap tersebut. PB PGRI menerima sebanyak 19.752 aduan berisi keluhan, tanggapan, kekecewaan, dan masukan dari para guru honorer dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
“Kami minta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan rekrutmen ASN PPPK tahun 2021 yang tidak mempertimbangkan rasa keadilan, penghargaan terhadap pengabdian, dan dedikasi guru honorer yang selama ini melaksanakan tugas-tugas pembelajaran dan pelayanan pendidikan dalam situasi darurat kekurangan guru,” ujar Unifah
Unifah mengatakan dengan memperhatikan begitu banyaknya para guru honorer yang tidak mencapai passing grade kompetensi teknis, pemerintah harus meninjau kembali kesahihan perangkat tes. Pengabdian guru honorer yang begitu panjang jangan hanya dihapuskan begitu saja dengan hasil tes kompetensi teknis yang lebih menilai aspek kognitif semata.
Baca juga : Kebijakan Guru PPPK Membuat Cemas
“Bagi mereka yang dinyatakan tidak memenuhi ambang batas seleksi tetap diberikan kesempatan mengikuti seleksi di masa mendatang setelah melalui proses pembinaan atau capacity building,” kata Unifah yang juga Guru Besar di Universitas Negeri Jakarta.
Seleksi PPPK guru honorer usia 35 tahun ke atas, agar dilakukan melalui proses antarsesama mereka dengan mempertimbangkan masa pengabdian, dedikasi, dan kinerja. Rekrutmen guru ASN di masa mendatang dilakukan melalui jalur CPNS dan PPPK.
Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan P2G sejak lama konsisten meminta Mendikbudristek memberikan afirmasi berdasarkan lama mengabdi dan usia. Saat ini, Kemdikbudristek hanya memberikan afirmasi 15 persen bagi guru berusia di atas 35 tahun dan mengabdi minimal tiga tahun.
“Ini kan tidak berkeadilan. Sebab, memukul rata guru honorer yang sudah mengabdi belasan tahun bahkan di atas 20 tahun sama dengan tiga tahun. Mestinya afirmasi diberikan berdasarkan retang lama mengabdi,” kata Satriwan.