Seleksi PPPK Dinilai Tidak Ramah bagi Guru Honorer
Seleksi PPPK untuk kelompok guru honorer yang tengah berlangsung pekan ini dikritik banyak kalangan. Beratnya beban soal hingga tingginya ambang batas dinilai tidak mencerminkan sisi afirmatif.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seleksi aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK dinilai tidak ramah bagi para guru honorer. Meski ada poin afirmasi, para guru honorer, terutama yang sudah senior dengan pengabdian sudah belasan hingga puluhan tahun, bakal tertinggal.
Pelaksanaan seleksi PPPK untuk kelompok guru honorer yang tengah berlangsung pekan ini dikritik banyak kalangan. Beratnya beban soal hingga tingginya ambang batas (passing grade) dinilai tidak mencerminkan sisi afirmatif. Para guru honorer, terutama yang senior, tidak yakin mampu mencapai nilai ambang batas tinggi, sedangkan poin afirmasi 50-70 poin.
Seharusnya, seleksi tersebut memberikan kesempatan bagi guru honorer menikmati kesejahteraan dari negara. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda di Jakarta, Kamis (16/9/2021), mengungkapkan, proses seleksi PPPK ternyata tidak ramah bagi para guru honorer senior.
Sebagian besar dari mereka tidak mampu mencapai ambang batas yang disyaratkan dalam ujian kompetensi teknis. Besaran poin afirmasi untuk beberapa kluster guru honorer yang diberikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun dinilai tidak cukup membantu mencapai batas minimal passing grade.
”Poin afirmasi untuk beberapa kluster guru honorer berkisar 50-70 poin saja. Padahal, ambang batas atau passing grade untuk kemampuan teknis yang harus dicapai di kisaran 235-325 poin,” kata Huda.
Mestinya afirmasi diberikan berdasarkan rentang lama mengabdi.
Kesulitan para guru honorer senior ini telah banyak disampaikan kelompok-kelompok guru melalui media sosial ataupun secara langsung kepada dirinya. Bahkan, saat ini beredar surat terbuka para guru ke Menteri Nadiem Makarim dan petisi untuk meminta penambahan poin afirmasi bagi para guru honorer berdasarkan masa kerja.
Ada testimoni di media sosial betapa kecewa dan sedihnya seorang guru senior yang merasa gagal mencapai passing grade dalam kompetensi teknis (komtek). Padahal, dia dari sisi usia, masa kerjanya tinggal 3-4 tahun.
Huda mengungkapkan, Komisi X DPR sudah mendorong penambahan poin afirmasi. Dalam beberapa kali rapat kerja dengan Kemendikbudristek, aspirasi penambahan poin afirmasi bagi guru-guru honorer senior telah disampaikan. Namun, dengan berbagai alasan, Kemendikbudristek serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menolak aspirasi itu.
”Kami sudah berulang kali mendorong penambahan poin afirmasi ini, khususnya bagi para guru senior. Rasanya tidak adil jika mereka yang sudah lama mengabdi harus bersaing dengan para yunior yang baru fresh graduate dan lebih piawai menjawab soal-soal ujian kompetensi teknis,” kata Huda.
Dalam waktu dekat, Komisi X DPR akan memanggil pihak Kemendikbudristek untuk memberikan penjelasan terkait dengan protes dari ribuan guru honorer atas pelaksanaan PPPK. ”Kami berharap ada solusi terkait dengan keberatan para guru honorer senior atas tingginya passing grade dalam ujian kompetensi teknis,” ujarnya.
Tuntut afirmasi berkeadilan
Secara terpisah, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, P2G sejak lama konsisten meminta Mendikbudristek memberikan afirmasi berdasarkan lama mengabdi dan usia. Saat ini, Kemdikbudristek hanya memberikan afirmasi 15 persen bagi guru berusia di atas 35 tahun dan mengabdi minimal 3 tahun.
”Ini, kan, tidak berkeadilan. Sebab, memukul rata guru honorer yang sudah mengabdi belasan tahun bahkan di atas 20 tahun sama dengan 3 tahun. Mestinya afirmasi diberikan berdasarkan rentang lama mengabdi,” kata Satriwan.
Dari laporan yang diterima P2G, ada sejumlah persoalan guru honorer dalam seleksi PPPK tahap pertama ini. Guru yang sudah berhenti mengajar sejak tiga tahun lalu, tetapi namanya muncul sebagai calon peserta seleksi PPPK. Dari DKI Jakarta ditemukan, yang diprioritaskan bukan mata pelajaran, melainkan sekolah. Padahal, data kebutuhan tidak berbasis kondisi lapangan.
Ada fakta, misalnya, guru Sejarah PNS hanya satu dan tahun depan lagi bakal memasuki masa pensiun. Formasi yang dibuka adalah mata pelajaran Geografi, yang jumlah kebutuhan sebenarnya satu, tetapi tertulis dua orang, padahal guru honorer sudah ada satu orang.
Jika ingin masuk ikut ujian, guru honorer di sekolah itu harus ikut mata pelajaran Geografi. Artinya, si guru harus mengorbankan kompetensi keahlian, bidang studi, dan sertifikasinya. Ini jelas menyalahi Undang Undang Guru dan Dosen tentang kompetensi dan profesionalitas guru.
Para guru, lanjut Satriwan, sebenarnya cemas sejak beberapa hari sebelum tes dimulai akibat kurang optimalnya informasi yang diberikan panitia seleksi nasional (paselnas) secara daring. Banyak masalah di lapangan terjadi, seperti jadwal yang mundur terus berganti, tempat lokasi tes tidak muncul, dan kepastian soal afirmasi dari Kemendikbudristek.
Ketika ujian berlangsung, guru honorer merasakan sulitnya soal tes guru PPPK, khususnya komtek. Para guru honorer melaporkan soal-soal yang diujikan jauh dari yang mereka pelajari dalam bimbingan teknis (bimtek)/bimbingan belajar latihan soal yang diberikan Kemendikbudristek.
Pihak P2G telah memprediksi sejak awal, tingginya passing grade guru PPPK akan membuat mayoritas guru tidak lolos tes. Jika dibandingkan dengan Seleksi Kompetensi Bidang CPNS 2019, yang formatnya sejenis dengan komtek pada seleksi PPPK sekarang, rata-rata perolehan nilai peserta tidak banyak yang melampaui 50 persen benar. Sementara passing grade PPPK untuk kompetensi teknis mengharuskan peserta memenuhi skor minimal sampai 65 persen.
Ambang batasnya justru lebih tinggi, apalagi ini yang ikut tes kebanyakan guru-guru berusia di atas 35 tahun, beda dengan CPNS yang berusia di bawah 35 tahun. Hingga kini belum jelas mengapa passing grade mata pelajaran tertentu tinggi, sedangkan mata pelajaran lain relatif di bawah. Mata pelajaran PPKn (330, tertinggi) dan Agama (325). Namun, guru Bahasa Indonesia (265), guru Bimbingan Konseling, IPA, dan Bahasa Inggris (270), guru TIK (235), bahkan guru Matematika (205).