Siapkan Rencana Jangka Panjang untuk Usulan Warisan Dunia
Jalur Rempah disiapkan menjadi warisan budaya dunia yang diakui oleh UNESCO. Namun, upaya itu perlu dibarengi dengan perencanaan jangka panjang hingga komitmen melestarikannya setelah mendapat pengakuan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Usulan pemerintah Indonesia untuk menjadikan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO butuh perencanaan jangka panjang. Cetak biru tentang rencana konservasi, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya menjadi krusial.
Warisan dunia yang diakui UNESCO mencakup tiga hal, yaitu budaya, alam, dan gabungan keduanya. Jalur Rempah akan didaftarkan di lingkup budaya. Persiapan menjadikan Jalur Rempah sebagai warisan budaya dunia berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.
Pamong Budaya Ahli Muda Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anton Wibisono mengatakan, saat ini Jalur Rempah diupayakan masuk daftar tentatif UNESCO. Itu adalah daftar usulan nominasi warisan dunia. Pengajuan direncanakan pada 2023.
“Pada 2020, kami sudah meninjau 17 lokasi (komponen Jalur Rempah) di pesisir utara Jawa. Peninjauan di 2021 akan berlangsung di 28 lokasi di pesisir barat dan timur Sumatera, Kepulauan Maluku, serta Papua,” ucap Anton pada diskusi daring, Rabu (22/9/2021).
Tinjauan akan dilanjutkan ke Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2022. Kemdikbud Ristek mencatat 68 titik potensial yang perlu ditinjau, antara lain Banda Aceh, Lampung, Kediri, Klungkung, Ternate, Tidore, Makassar, Singkawang, dan Banjarmasin.
Jalur Rempah berkembang di abad ke-15. Jalur Rempah bukan sekadar jalur niaga, melainkan juga menjadi ruang interaksi kebudayaan, bahasa, ilmu pengetahuan, hingga agama. Interaksi dengan bangsa lain ini turut membentuk budaya bahari, serta membentuk kebudayaan Indonesia masa kini.
Adapun jalur niaga rempah tidak hanya berpusat di Indonesia. Perdagangan rempah di masa lampau juga mencakup negara-negara Asia Tenggara, China, Arab, hingga negara-negara Eropa.
“Kami akan fokus ke Indonesia dulu, baru nanti berdiskusi dengan negara-negara tetangga di Asia, seperti China, Jepang, dan India untuk ikut dalam nominasi warisan budaya dunia ini,” ucap Anton.
Multinasional
Mengajukan warisan dunia bersama negara-negara lain memungkinkan. UNESCO memfasilitasi pengajuan warisan dunia dengan mekanisme multinasional lintas batas. Artinya, situs yang diajukan sebagai warisan dunia bisa berada di beberapa negara. Dari 1.154 situs warisan yang ada, 41 di antaranya merupakan warisan multinasional per 2021.
Salah satu contohnya adalah Jalur Sutera yang mencakup China, Kazakhstan, dan Kirgistan. Ada pula Qhapaq Nan yang membentang sepanjang 30.000 kilometer di Argentina, Bolivia, Cile, Kolombia, Ekuador, dan Peru.
Spesialis Program Kebudayaan UNESCO Moe Chiba mengapresiasi rencana Indonesia menggandeng negara-negara lain. Namun, ia mengingatkan bahwa proses aplikasi warisan budaya dunia relatif panjang dan butuh riset mendalam. Menggali potensi jalur rempah bersama negara-negara lain perlu komitmen besar.
“UNESCO mendukung jika pemerintah ingin mengikuti mekanisme itu. Ini adalah langkah strategis mempromosikan situs-situs kecil payung yang lebih besar. Ini juga untuk diplomasi budaya, kolaborasi internasional, dan merupakan pendekatan untuk dialog lintas budaya. Ini kesempatan Indonesia menunjukan kepemimpinan global di ranah budaya,” tutur Chiba.
Jika diakui sebagai warisan budaya dunia, Jalur Rempah diharapkan memperkuat keterhubungan Indonesia dengan segala keberagaman yang ada. Selain itu, Jalur Rempah dinilai dapat menguatkan posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Jalur Rempah juga direncanakan menjadi media diplomasi budaya.
Anggota Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia, Soehardi Hartono mengingatkan pentingnya memiliki cetak biru untuk setiap warisan dunia, termasuk Jalur Rempah. Cetak biru itu sebagai bukti komitmen pemerintah untuk menjaga keberlanjutan warisan dunia.
Rencana manajemen warisan dunia dibutuhkan. Rencana itu mencakup antara lain pelestarian situs, pemanfaatan, dan rencana pengembangannya tanpa melukai nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) warisan itu. OUV adalah prasyarat penentuan Daftar Warisan Dunia oleh UNESCO.
Hal ini berkaca dari teguran UNESCO terhadap sejumlah situs warisan dunia di Indonesia yang dinilai terancam. Situs itu ialah Candi Borobudur, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, sistem pertanian Subak di Bali, dan hutan hujan tropis Sumatera. Hutan hujan tropis Sumatera bahkan masuk daftar warisan dunia dalam bahaya sejak 2011.
Di Borobudur, pengembangan kawasan sebagai bagian dari proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dinilai berdampak ke OUV. Jika dibiarkan, suatu situs bisa kehilangan status sebagai warisan dunia. Ini pernah terjadi pada Liverpool di Inggris, Dresden di Jerman, dan Suaka Oryx Arab di Oman.
“Pemerintah yang menominasikan warisan dunia ke UNESCO harus berjanji menjaga warisan itu. Ada pula kewajiban menjaga warisan untuk generasi penerus,” ucap Soehardi.
Ia menambahkan, seluruh pemangku kepentingan juga perlu menyamakan persepsi tentang warisan dunia, agar tiada pihak yang membawa agenda atau ego sektoral masing-masing. Baik pemerintah, akademisi, pelestari budaya, hingga masyarakat perlu diajak merumuskan rencana pelestarian dan pengembangan warisan dunia.
Pengajar arsitektur Universitas Trisakti Punto Wijayanto mengatakan, rencana pengelolaan warisan dunia perlu sesuai dengan paradigma konservasi terbaru, yaitu lanskap kota bersejarah (historic urban landscape). Paradigma itu tidak hanya memandang warisan dunia sebagai monumen belaka, namun juga mempertimbangkan hubungannya dengan konteks sekitar, baik masyarakat, alam, dan budaya.
“Konservasi cagar budaya bukan berarti tidak bisa sejalan dengan aktivitas ekonomi. Pengembangan untuk pariwisata tidak apa-apa, tapi perlu didefinisikan mana pariwisata yang baik dan tidak,” katanya.