Jalur Rempah
Dalam sejarahnya, ia merupakan jalur globalisasi Indonesia, jalur yang menghubungkan Nusantara dengan bangsa Arab, Persia, Eropa, India, China, dan sebagainya.

Ahmad Najib Burhani
Sejak 2020, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan program Jalur Rempah, sebuah program yang terkait dengan upaya memperkokoh posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia dan meneguhkan budaya bahari Nusantara.
Meski memiliki tujuan jangka panjang yang luas, sebagai batu loncatan ke arah itu, dalam jangka pendek program ini merancang agar Jalur Rempah pada tahun 2024 diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Makna dari warisan dunia (world heritage) itu sering mengacu kepada tempat tertentu di dunia ini yang memiliki nilai universal luar biasa bagi kemanusiaan, dan karena itu harus dijaga dan dilindungi agar generasi yang akan datang bisa terus menikmati dan memberikan apresiasi. Ada tiga bentuk warisan dunia, yaitu: budaya, alam, atau gabungan keduanya.
Meski warisan budaya itu bisa berupa sesuatu yang bersifat intangible (tak bisa diraba), seperti tradisi dan bahasa, warisan budaya dunia lebih banyak memiliki daftar budaya yang tangible, seperti situs, monumen, atau obyek tertentu. Contohnya adalah Borobudur, Taj Mahal, dan Hagia Sophia.
Sejak 1994, ada perkembangan menarik di UNESCO. Mereka bisa menerima ”jalur budaya” (cultural routes) sebagai bagian dari warisan dunia. Bahwa warisan budaya itu tidak terbatas pada benda atau situs atau tradisi, tetapi juga pergerakan atau mobilitas manusia, perjumpaan dan dialog, serta pertukaran dan silang budaya yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu.
Pergeseran di UNESCO ini diawali dengan pengusulan Spanyol agar jalur ziarah spiritual (pilgrimage) ke Santiago de Compostela diakui sebagai warisan budaya dunia. Usulan yang dimasukkan tahun 1993 itu lantas disetujui oleh Komite Warisan Dunia pada pertemuannya di Paris tahun 1994.
Sejak tahun itu, beberapa ”jalur budaya” sudah masuk dalam daftar warisan dunia. Di antaranya adalah Jalur Sutra (China, Kazakhstan, dan Kirgizstan) dan jalur atau rute Gereja Kelahiran Yesus dan ziarah spiritual di Bethlehem (Palestina /Israel).
Berbasis bahari
Jika nominasi Jalur Rempah yang disiapkan oleh pemerintah ini disetujui UNESCO, ia akan memiliki implikasi luas. Bukan sekadar membuka kesempatan terciptanya turisme bergerak atau berpindah-pindah mengikuti titik-titik budaya itu, ia juga akan memperkuat jalinan bangsa Indonesia yang majemuk ini.
Berbeda dari Jalur Sutra yang memiliki keterhubungan darat, Jalur Rempah ini berbasiskan laut atau bahari. Ia menghubungkan titik-titik di seluruh Nusantara lewat perairan. Dalam sejarahnya, ia merupakan jalur globalisasi Indonesia, jalur yang menghubungkan Nusantara dengan bangsa Arab, Persia, Eropa, India, China, dan sebagainya.
Kita tidak tahu pasti sejak kapan rempah-rempah menjadi komoditas yang menarik dunia. Namun, dalam buku The Overseas Chinese of South East Asia: History, Culture, Business (2008), Ian Rae dan Morgen Witzel menulis bahwa rempah-rempah Nusantara itu sudah ditemukan di sejumlah dinasti di China dan Mesir Kuno.
Rempah-rempah, misalnya, ditemukan di makam-makam Firaun. Firaun Neko II (610-595 SM) bahkan telah memerintahkan ekspedisi untuk menemukan ”pulau-pulau rempah” atau spice islands (Maluku) dengan menyewa pelaut-pelaut Fenisia (Phoenicia) yang ketika itu dikenal paling andal di dunia. Ia ingin memutus ketergantungan kepada saudagar-saudagar India yang biasanya menyuplai kebutuhan rempah di Mesir.
Rae dan Witzel juga mencatat bahwa Herodotus telah menyebutkan perdagangan rempah ini dalam tulisannya. Demikian juga dengan ahli-ahli geografi dari Yunani dan Romawi. Pasar rempah besar juga ada di India pada masa Kerajaan Mauryan di bawah Raja Chandragupta dan penerusnya.
Rempah-rempah adalah komoditas yang mahal dan kadang disebut sebagai ”emas hitam” (black gold). Saking mahal dan tingginya keuntungan dari perdagangan ini, seorang pedagang dari Venesia menuturkan bahwa dia bisa mengirim lima kapal untuk membeli rempah-rempah dari Alexandria, dan jika empat dari lima kapal itu dibajak atau tenggelam ke laut, maka keuntungan dari satu kapal yang tersisa masih bisa menutup seluruh kerugiannya (Rae dan Witzel 2008, 92). Di Inggris, istilah peppercorn rent atau ”sewa merica” masih dipakai untuk menunjukkan bahwa dulu orang bisa menyewa rumah dengan menggunakan merica.
Secara praktis, seperti berbagai warisan dunia yang berupa jalur atau rute, Jalur Rempah ini bisa menjadi sarana turisme yang memperkenalkan Indonesia secara utuh. Bukan hanya Bali dan Raja Ampat, tetapi juga daerah-daerah lain yang membangun mosaik kemajemukan Indonesia.
Jika ada tawaran paket wisata jalur rempah menggunakan kapal pesiar mengunjungi titik-titik Jalur Rempah tersebut, itu bukan hanya memberi keuntungan ekonomi, tetapi juga menguatkan ikatan Indonesia sebagai bangsa yang satu dengan keanekaragaman budaya, bahasa, agama, dan etnis.
Pendeknya, Jalur Rempah bisa menjadi inspirasi yang mengangkat beragam budaya di banyak daerah dan menghubungkan pulau-pulau di Nusantara.
Namun, perlu dicatat bahwa jalur rempah itu dalam ingatan sebagian masyarakat Indonesia tidak hanya bermakna ”jalur budaya” atau ”jalur perdagangan”. Ia juga merupakan ”jalur kolonialisme”.
Karena itu, ketika pemerintah menominasikannya sebagai warisan budaya, bisa saja muncul pertanyaan, seperti yang dinarasikan sendiri oleh Hilmar Farid dalam diskusi di LIPI (18/1/2021): ”Apakah ini berarti upaya untuk merayakan benteng-benteng yang pernah dibangun oleh berbagai pemerintah kolonial yang hadir ke Indonesia?”
Tentu saja bukan ini yang dikehendaki. Bahwa jalur ini lebih dilihat sebagai jalur budaya. Di jalur ini, dalam sejarahnya, telah terjadi interaksi budaya dari banyak tempat di Nusantara dengan budaya asing, penyebaran agama, pendidikan, pertukaran ilmu pengetahuan, seni, bahasa, teknologi perkapalan, dan juga pertemuan berbagai kepentingan politik.
Jalur inilah yang ikut membangun budaya dan identitas Indonesia yang majemuk seperti sekarang ini. Ini adalah salah satu dasar dari kebudayaan bahari bangsa Indonesia.
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)