Pusat Warisan Dunia UNESCO beberapa kali menyurati pemerintah Indonesia terkait pembangunan di kawasan warisan dunia. Ini peringatan agar Indonesia segera berbenah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kondisi sejumlah warisan dunia di Indonesia mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Itu karena ada pembangunan hingga alih fungsi lahan di kawasan warisan dunia. UNESCO telah beberapa kali menyurati Indonesia soal ini.
Salah satu yang disorot adalah subak di Bali. Subak adalah lahan pertanian berdasarkan filosofi Tri Hita Karana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Subak dicatat dalam Daftar Warisan Dunia oleh UNESCO pada 2012.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana I Wayan Windia mengatakan, kondisi subak memprihatinkan karena banyak sawah yang beralih fungsi. Menurut data yang ia himpun, pada 2019, rata-rata luas sawah di Bali berkurang 2.800 hektar per tahun. Kini tersisa 69.000 hektar sawah.
“Belum ada data soal luas sawah di kawasan warisan dunia yang dikonversi. Tapi, saya melihat sendiri memang banyak alih fungsi lahan. Seharusnya ini tidak boleh terjadi supaya tidak menghilangkan filosofi Tri Hita Karana,” ucap Windia saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (3/8/2021).
Sawah dinilai sebagai wujud dari Palemahan, salah satu elemen Tri Hita Karana. Adapun Palemahan merupakan hubungan manusia dengan alam. Alih fungsi lahan dinilai merusak Palemahan dan memengaruhi implementasi Tri Hita Karana.
Alih fungsi lahan pertanian terjadi karena rendahnya kesejahteraan petani. Windia mengatakan, petani yang memiliki satu hektar sawah di Bali rata-rata memperoleh pendapatan Rp 14 juta per musim. Bila satu musim terdiri dari empat bulan, pendapatan petani per bulan Rp 3,5 juta.
Kondisi petani kerap sulit karena jatuhnya harga komoditas, harga pupuk yang mahal, hingga kesulitan mengairi sawah. Bertani jadi kurang diminati karenanya. Alih fungsi sawah pun tak terhindarkan.
“Petani dalam keadaan kemiskinan struktural. Belum lagi pajak bumi dan bangunan meningkat karena inflasi. Perlu komitmen pemerintah untuk menyejahterakan petani,” ucap Windia.
Kesejahteraan petani pada akhirnya berdampak pada keberlangsungan subak. Windia merekomendasikan agar koperasi petani dibentuk. Suatu koperasi di Kabupaten Tabanan, Bali, kata Windia, berhasil membantu petani sejahtera. Selain koperasi, petani dapat dibantu melalui insentif pajak.
Taman Nasional Komodo
Selain Subak, warisan dunia Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur juga disorot karena kawasan itu dikembangkan untuk kawasan strategis pariwisata nasional. Pulau Rinca yang menjadi bagian dari Taman Nasional Komodo akan jadi lokasi “jurrasic park”.
Pembangunan itu dikhawatirkan memengaruhi nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) Taman Nasional Komodo. OUV adalah syarat penentuan Daftar Warisan Dunia oleh UNESCO. Taman Nasional Komodo memiliki dua OUV, sementara subak tiga OUV.
UNESCO melalui World Heritage Center atau Pusat Warisan Dunia telah menyurati pemerintah Indonesia terkait pembangunan itu. Surat pertama dikirimkan pada 9 Maret 2020.
Pemerintah Indonesia merespons pada 30 April 2020 dan 6 Mei 2020. Ada beberapa poin dalam respon itu, antara lain bahwa pembangunan dilakukan di zona pemanfaatan dengan mengacu pada analisis dampak lingkungan (environmental impact analysis/EIA) oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Pemerintah juga mencatat kenaikan populasi komodo pada periode 2015-2019, yaitu dari 2.430 ekor menjadi 3.022 ekor. Selain itu, pemerintah menyebutkan bahwa bentuk pariwisata masif akan dihindari. Namun, komitmen itu dipertanyakan saat 500.000 wisatawan per tahun ditargetkan datang ke sana.
Pusat Warisan Dunia kembali mengirim surat ke Indonesia untuk menghentikan sementara proyek pembangunan pada 30 Oktober 2020. Pemerintah diminta untuk merevisi dan mengajukan lagi EIA untuk ditinjau IUCN.
Surat penegasan kembali dikirimkan ke Indonesia pada 12 Januari 2021 dan 12 Maret 2021. Menurut laporan Pusat Warisan Dunia pada 4 Juni 2021, pemerintah belum merespons.
"Kartu kuning"
Menurut anggota Komite Eksekutif Asian Academy for Heritage Management Johannes Widodo, surat-surat itu merupakan peringatan bagi pemerintah Indonesia agar segera berbenah. Peringatan sangat mungkin diberikan dalam bentuk lain.
Itu adalah \'kartu kuning\' dari UNESCO. Kita sudah dapat dua \'kartu kuning\', yaitu Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Jika tidak ditindaklanjuti, kita akan diberi kartu merah, yaitu dimasukkan ke daftar warisan budaya dalam bahaya, sama seperti hutan hujan tropis Sumatera.(Johannes Widodo)
“Itu adalah \'kartu kuning\' dari UNESCO. Kita sudah dapat dua \'kartu kuning\', yaitu Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Jika tidak ditindaklanjuti, kita akan diberi kartu merah, yaitu dimasukkan ke daftar warisan budaya dalam bahaya, sama seperti hutan hujan tropis Sumatera,” kata anggota Komite Eksekutif Asian Academy for Heritage Management Johannes Widodo.
Jika kartu merah diabaikan, status warisan dunia dapat dicabut, sama seperti pada Liverpool, Inggris. Pencabutan status dianggap sebagai tamparan bagi suatu negara karena melanggar janji untuk menjaga warisan dunia. Adapun warisan dunia dianggap sebagai milik bersama warga dunia.
Warisan dunia yang rusak atau hilang pada akhirnya merugikan generasi masa depan. Mereka akan kehilangan pengetahuan, sejarah, kebudayaan, hingga kearifan lokal. “Sama seperti perpustaksan yang dibakar,” tambah Johannes yang juga pengajar di Universitas Nasional Singapura.
Anggota Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia Soehardi Hartono mengatakan, pembangunan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan dunia tidak dilarang. Pembangunan dan pelestarian bisa berjalan bersama jika warisan dunia dipandang sebagai satu kesatuan dengan sekitarnya, baik bentang alam, masyarakat, hingga kebudayaan. Itu sebabnya EIA dan analisis dampak pusaka (heritage impact analysis/HIA) jadi penting.
“Kita masih lemah di HIA. UNESCO sudah memberi panduan HIA melalui ICOMOS, sementara EIA bisa merujuk ke IUCN. Selain itu, kita belum punya badan atau lembaga khusus yang berwenang memantau, mengoordinasikan, hingga mengevaluasi warisan dunia,” ucap Soehardi.