Panggung Internalisasi Tokoh Sejarah Tanah Air yang Terlupakan
Dalam sejarahnya, Indonesia punya banyak nama-nama pejuang yang jarang terdengar namanya, bahkan terlupakan. Menggali kisah mereka dinilai bisa menambah perspektif publik akan kemerdekaan dan kemanusiaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Aktris Laura Basuki membuka penampilan di panggung dengan kaus rumahan yang tampak usang di badannya. Punggungnya sudah tidak tegap, berjalan pun terseok-seok. Suaranya terdengar letih saat bertanya-tanya apa dia sudah minum obat malam ini.
Kala itu, Laura Basuki terbangun malam-malam setelah ada kereta lewat di dekat kamarnya yang kecil. Dia terbangun bukan karena suara ribut, melainkan keheningan yang mencekik setelah kereta lewat.
Setelah bangun, dia sulit untuk tidur lagi. Malam yang masih panjang akhirnya digunakan untuk mengenang masa lalu, masa ketika ia masih tegap, segar, dan berjasa buat Indonesia.
Kami fokus ke apa itu kemerdekaan dan kemanusiaan. Kemerdekaan tanpa kemanusiaan menjadikan fasisme dan pembunuhan di mana-mana.
Laura Basuki—yang memainkan peran The Sin Nio (1915-1985)— kemudian mengambil baju tentara usang yang digantung di kamarnya. Seragam itu dielus-elus sambil dia mengingat masa saat masih jadi tentara.
The Sin Nio adalah perempuan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah, yang jadi tentara. Ia rela memotong rambutnya jadi pendek, mengganti nama menjadi Moechamad Moechsin, lalu seketika berubah dari perempuan Tionghoa menjadi lelaki Muslim di medan perang.
Menjadi perempuan Tionghoa di masa revolusi kemerdekaan Indonesia memang tidak mudah. Mereka dianggap bukan bagian dari revolusi karena revolusi itu miliknya orang pribumi. Ada juga sentimen publik terhadap etnis tertentu. Posisi warga keturunan Tionghoa saat itu sangat rentan, apalagi perempuan Tionghoa.
Namun, bagi The Sin Nio, memperjuangkan kemerdekaan adalah medan perangnya juga sebagai orang Indonesia. Seragam tentara yang ia kenakan lantas menjadi memento. Tapi, seragam itu malah membuatnya dikira sebagai lansia dengan gangguan jiwa oleh warga sekitar.
The Sin Nio pergi ke Jakarta di masa tuanya. Ia mengurus dokumen pengakuan negara atas dirinya sebagai pejuang kemerdekaan di masa lalu. Namun, karena dulu dia adalah Moechamad Moechsin, The Sin Nio sulit mendapat dokumen itu. Ia diceritakan sering mengenakan seragam usangnya sambil menunggu kabar baik soal pengakuannya. Orang yang tidak tahu kisah The Sin Nio mengira dia punya masalah kejiwaan.
”Sepinya, Sepi”
Kisah The Sin Nio tersebut dibawakan dalam pertunjukan monolog berjudul ”Sepinya, Sepi”. Sesuai judulnya, The Sin Nio wafat di tengah kesendiriannya di Jakarta pada usia 70 tahun. Ia dimakamkan di TPU Layur Rawamangun, Jakarta. Namun, makamnya kini hilang tertimpa makam-makam lain.
Kisah The Sin Nio yang diperankan oleh aktris Laura Basuki menyisakan rasa sesak. Audiens seakan ditarik dari realitas, kemudian didudukkan di kursi paling depan pentas kisah hidup The Sin Nio. Karena disampaikan secara monolog, kisah tersebut terasa personal. Audiens seakan terhubung langsung dengan sosok The Sin Nio.
”Saya berpikir, habis ini mau apa, ya? Sedihnya tidak habis-habis (setelah menonton pertunjukan monolog),” ucap Direktur Film, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra, Senin (20/9/2021).
Penulis skenario Ahda Imran menjelaskan, riset untuk ”Sepinya, Sepi” tidak mudah. Tidak banyak literatur yang memuat kisah The Sin Nio. Hanya ada tiga literatur yang semuanya terbitan 1980-an, yaitu majalah Nova edisi 1984, koran Suara Merdeka tahun1980-an, dan majalah Sarinah edisi 1984.
”Dengan bantuan Museum Peranakan Tionghoa, saya mendapat kontak cucu The Sin Nio. Setelah berkomunikasi, kami mendapat bahan lain, seperti tentang sejarah keluarganya,” kata Ahda.
Ahda menafsirkan bahwa kemerdekaan dan kemanusiaan adalah aspek yang tidak bisa dipisah. Semangat dan perjuangan kemerdekaan kerap bertubrukan dengan masalah kemanusiaan. Paradoks timbul. Contohnya, saat The Sin Nio sedang bergerilya, adiknya mati dibunuh warga karena dianggap mata-mata.
Paradoks juga terjadi di kisah ”Nusa yang Hilang”. Kisah ini ditulis Ahda bersama sutradara Kamila Andini. ”Nusa yang Hilang” menceritakan tentang Muriel Stuart Walker (1898-1977), perempuan kelahiran Skotlandia yang kemudian jadi warga negara Amerika Serikat. Ia ke Bali kemudian berganti nama jadi Ketut Tantri (diperankan Chelsea Islan).
Ketut Tantri ikut andil di masa revolusi dengan menjadi penyiar radio gerilya. Ketut Tantri menetap di Bali setelah terkesima dengan kedamaian dan keindahan Pulau Dewata. Bayangan dunia yang indah dan humanis buyar di medan gerilya. Ia menyaksikan kekejaman tentara Inggris membunuh warga.
”Kami fokus ke apa itu kemerdekaan dan kemanusiaan. Kemerdekaan tanpa kemanusiaan menjadikan fasisme dan pembunuhan di mana-mana,” kata Ahda.
Tokoh lain
Selain The Sin Nio dan Ketut Tantri, ada lagi kisah soal Riwu Ga (1918-1996) dan Amir Hamzah (1911-1946). Semuanya dikisahkan dalam bentuk seri monolog ”Di Tepi Sejarah”. Seri monolog ini dibuat Titimangsa Foundation dan KawanKawan Meida bersama Kemendikbudristek.
Riwu Ga (Arswendy Bening Swara) merupakan asisten pribadi Soekarno saat diasingkan di Ende, Flores. Ia dulu dibawa oleh istri Soekarno, Inggit Garnasih. Saat Soekarno dan Inggit bercerai, Riwu Ga diberi radio oleh Inggit. Radio itu ia rawat hingga masa tuanya sebagai petani jagung.
Dari radio tersebut, Riwu Ga memantau kondisi negara agar masa depannya cerah, seperti cita-cita Soekarno. Kisahnya disampaikan dalam monolog berjudul ”Radio Ibu”.
Adapun Amir Hamzah (Chicco Jerikho) pada monolog berjudul ”Amir, Akhir Sebuah Syair”. Perjuangan Amir memperjuangkan kemerdekaan dengan goresan penanya di kertas yang kerap tidak bertanggal.
Kisah-kisah mereka sebelumnya ditayangkan di Youtube pada 18-25 Agustus 2021. Kini, kisah mereka bisa diakses di platform kebudayaan Indonesiana. Ahmad Mahendra mengatakan, seri monolog ”Di Tepi Sejarah” merupakan salah satu media belajar sejarah buat publik, khususnya anak.
Menurut Produser Titimangsa Foundation Happy Salma, ”Di Tepi Sejarah” mendekatkan audiens dengan literasi sejarah. Seri monolog ini merupakan stimulus untuk berpikir kritis. Berpikir kritis nantinya jadi bekal generasi muda menghadapi hoaks yang banyak beredar.
Monolog ini juga diharapkan mendekatkan audiens, khususnya anak muda, dengan sejarah negaranya. Kesadaran akan sejarah dan budaya dinilai jadi modal dasar mengembangkan diri. ”Tahu asal-usul sehingga kita bisa menentukan masa depan kita,” ucap Happy.