Membaca Jejak Sejarah dari Mebel di Istana
Pemilihan desain dan interior di Istana Kepresidenan dipertimbangkan dengan matang. Mebel di Istana tak sekadar benda fungsional, tetapi mempunyai makna yang dalam. Di mebel itu juga ada memori yang terukir.
Jejak Presiden Soekarno yang mengisi Istana Negara dan Istana Merdeka sejak 1949 dari benar-benar kosong, hingga Presiden Joko Widodo, benar-benar tetap terasa kuat. Meski ada perubahan gaya sesuai era para presiden di masanya, kemegahan, kehormatan, dan keindahan desain serta interior Istana tetap menonjol.
Buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams, menyebut ketika pertama kali memasuki Istana Merdeka, Bung Karno menyatakan bangunan besar berwarna putih itu kosong melompong. Bangunan ini telah dikosongkan dari segala yang berharga. Hal itu biasa dilakukan oleh Belanda. Setiap barang, dari permadani, tikar, sampai barang yang kecil, seperti keset kaki, telah dirusak. Kondisi Istana Merdeka saat itu diibaratkan oleh Presiden Soekarno sama seperti situasi bangsa kala itu, yang baru empat tahun merdeka. Masih ”balita” sekali.
”Langkah untuk membangun rumah yang bernama Indonesia sekarang sepenuhnya berada di tangan kami, tetapi rumah itu sudah sangat rusak. Banyak sekali yang bocor. Jendelanya, pintu-pintunya, atap dan dindingnya rusak. Ekonomi kami, administrasi pemerintahan, sistem transportasi, alat komunikasi, dan metode produksi semua sudah hancur. Bahkan secara moral dan mental kami perlu perbaikan,” ujar Bung Karno.
Setelah ditinggalkan terbengkalai oleh Belanda dan bermetamorfosis menjadi Istana Kepresidenan, Istana Negara dan Istana Merdeka telah menjadi rumah bagi beragam mebel tua, termasuk meja, kursi, hingga cermin bergaya art deco yang populer di era 1920-an hingga 1939-an. Desain dan interior bergaya art deco ini diperkirakan terpengaruh oleh berbagai macam aliran modern, seperti modernisme, futurisme, hingga konstruktivisme dengan mengadaptasi desain kuno, seperti Mesir dan Persia.
Baca juga: Bung Karno, Istana, dan Simbol Padma
Furnitur bergaya art deco itu pula yang kini sering kali tampak terlihat dihadirkan ketika Presiden Jokowi menerima tamu kenegaraan di Istana Kepresidenan, Jakarta. Deretan meja kursi bergaya art deco kental terasa ketika menerima tamu dalam jumlah besar ataupun terbatas di dalam ruangan di Istana Kepresidenan. Seperti pada Rabu (15/9/2021), deretan kursi dengan warna coklat mengkilap yang menjadi salah satu ciri mebeler di era art deco tampak berderet melingkar ketika Presiden bersama Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan menerima 15 orang perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan dan Peternak Ayam Petelur di Istana Negara.
Tampak peletakan meja putih bersentuhan warna tembaga dan emas yang lagi-lagi menjadi ciri khas gaya art deco di antara kursi tamu sehingga tercipta jarak yang cukup aman antartamu. Kemegahan yang diusung gaya art deco menjadi makin sempurna berpadu dengan ruangan berdinding tinggi khas bangunan peninggalan Belanda dengan beberapa lampu chandelier tergantung di atapnya.
Nuansa kental art deco juga muncul ketika Presiden Jokowi menerima kunjungan kehormatan dari Menteri Negara Urusan Perdagangan Luar Negeri Persatuan Emirat Arab Thani bin Ahmed al-Zeyoudi, di Istana Merdeka, Jakarta, hari berikutnya. Didampingi sejumlah menteri, Presiden Jokowi menjamu tamu-tamunya di ruang yang lebih intim di kursi empuk dengan rangka dan pegangan tangan coklat mengkilap yang terasa lebih santai. Dalam pertemuan di ruang Jepara dengan sentuhan hiasan dinding ukiran Jepara itu, Presiden Jokowi menyambut peluncuran Indonesia-Uni Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement.
Multikultur Bung Karno
Pendiri Jakarta Vintage, Luthfi Hasan, menyebut penggunaan gaya art deco ini mencapai kejayaannya di era 1920-an hingga 1930-an dan berhenti di era sebelum Perang Dunia II. Namun, pemakaian gaya art deco tetap masih populer di tahun 1960-an sampai 1980-an. Ciri khas utama gaya ini terletak pada kualitas materi kayu serta jok kursi yang tinggi dan detail yang sempurna.
”Orang bikin furnitur yang mahal di Eropa menggunakan kayu eksotik, jati sebenarnya. Finishing veneer-nya mengkilap kayak marmer. Diletakkan di Istana memang memproyeksikan gaya kemegahan, art deco, ini cocok sekali,” ujar Luthfi.
Tak hanya kursi ketika menerima tamu, kursi kepresidenan di ruang kerja Presiden Jokowi yang melambangkan kekuasaan juga menonjolkan kesan art deco. Sophocles (469-406 SM), penyair Yunani, pernah mengatakan, tata hukum dan tata aturan selalu dibahas serta disempurnakan di atas meja.
Dalam bukunya, Bung Karno Sang Arsitek, Kajian Artistik, Karya Artistektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1963 (Komunitas Bambu, 2005), Yuke Ardhiati menuliskan desain dan interior Istana yang dirancang Bung Karno sejak awal sarat dipengaruhi oleh budaya multikultural Bung Karno, yaitu Islam Hindu, Jawa, Bali, dan gaya arsitektur di masa kuliahnya di Technische Hoogeschool Bandung (THB, kini Institut Teknologi Bandung/ITB) pada awal abad ke-20.
”Budaya multikultur Soekarno atau bekal mental sebagai agency Soekarno adalah budaya multikultur keluarganya, pendidikan formal, budaya mistis Jawa, budaya Jawa dan mentalite tokoh Bima, spirit nasionalisme dari gurunya di Surabaya, HOS Tjokroaminoto, gelar insinyur teknik arsiteknya, dan mentalite arsitek sekaligus politisi Soekarno,” demikian penuturun Yuke.
Sementara khazanah mentalite artistik Bung karno dibentuk oleh jiwa arsitekturnya yang muncul sejak kebiasaan kala usia muda, budaya Jawa yang kuat, dan multikultur Bali, jiwa artis dan perasaannya serta bakat seni dan ketajaman visualnya.
Baca juga: Bung Karno dan Helikopter Kepresidenan Pertama Dunia
Sebagai arsitek, tambah Yuke, karya dan desain interior Istana olahan Bung Karno selama ini dapat dikenal dalam tiga periodesasi, yaitu pertama periode saat masa kuliahnya di ITB pada 1921-1926 hingga Indonesia merdeka 1945. Bung Karno dianggap masih setia dengan ajaran dan didikan gurunya, Profesor Charles Prosper Wolff Schoemaker di THB.
Kedua, periode 1945-1959 yang disebut Sang Padma dari seorang arsitek, masa kemajuan dari gaya dan seni arsitektur Bung Karno yang dominan pada bentuk dan seni bunga padma. Ketiga, puncak dari kemampuan dan laku arsitektur Bung Karno yang benar-benar sudah mencapai puncaknya atau maestro.
Rancangan Presiden
Memahami pentingnya desain dan interior di Istana Kepresidenan, Bung Karno memilih merancang sendiri beberapa furnitur di bangunan tempatnya memimpin negeri. ”Sebagai arsitek, Bapak dengan kemampuannya, yang dibantu beberapa staf, mengatur dan menatanya. Untuk kursi, Bapak ingin kursi dari rotan dan kayu. Maka, sejumlah tukang dari Jakarta, dan sebagiannya dari Kalimantan, membuat dan mengerjakan kursi dari rotan di koridor antara Istana Negara dan Istana Merdeka. Rotannya langsung dianyam di situ dan Bapak melihatnya langsung. Bapak pilih rotan karena selain banyak di Indonesia, juga murah dan sederhana,” ungkap putra sulung Bung Karno, Guntur Soekarno, saat dihubungi, Sabtu (18/9/2021).
Untuk mebel kayu kursi atau meja, Bung Karno juga ingin kayu jati. ”Banyak ditanam di Indonesia selain juga kuat kayunya. Karena itu, bapak minta kayu jati dari pohon yang sudah berusia 20 tahun ke atas. Ada meja besar yang dipotong dari 1 pohon jati. Pekerjanya dari Jepara,” tutur Guntur.
Dalam buku Bung Karno dan Kesayangannya, karya Guntur, yang diterbitkan tahun 1981, di salah satu bab, Guntur mengisahkan ketika ibu kota RI pindah kembali ke Jakarta. Seiring peristiwa ini buku-buku koleksi Bung Karno pun dikirim dari Yogyakarta menggunakan kereta api. Bung Karno lantas membuat lemari buku khusus dari kayu jati pilihan yang didesain dan dirancang sendiri hingga detail-detailnya. Perabot itu dibuat untuk memberikan tempat lebih khusus, hebat, dan artistik bagi koleksi buku Bung Karno.
”Termasuk juga sekaligus desain seperangkat kursi duduk plus meja kayu jati yang daun mejanya dibuat dari potongan melingkar irisan utuh ari sebatang pohon kayu jati yang luar biasa besarnya. Termasuk juga perlengkapan meja kerja dan kursi kerjanya. Kesemuanya itu adalah untuk melengkapi ruang kerja dan perpustakaan Bapak di Istana Merdeka,” tulis Guntur di buku tersebut.
Pengisahan terkait desain kursi karya Bung Karno pun dapat ditemukan pada buku Kursi Kekuasaan Jawa karangan Eddy Supriyatna Marizar (2013), selain juga buku Yuke Ardhiati. Disampaikan di buku tersebut, antara lain, mengenai kursi bertangan gaya art deco karya Bung Karno di Istana Bogor. Demikian pula meja bergaya sama dengan pola bunga padma merekah yang juga sentuhan kreasi Bung Karno. Kursi-kursi karya Bung Karno disebutkan masih tersimpan di Istana Bogor, Istana Cipanas, dan Tampak Siring.
Baca juga: Metafora Burung Garuda Istana Negara
Kekuasaan Soekarno pun tampil melalui ekspresi visual tata letak kursi dan bentuk-bentuk kursi di Gedung Agung yang diciptakannya sendiri. Kursi dengan sandaran tangan untuk Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, para tamu agung, dan pejabat tinggi yang dihormatinya. Di sisi lain, kursi-kursi tanpa sandaran tangan di kiri kanannya digunakan untuk pejabat yang strata sosialnya lebih rendah dari Presiden dan Wakil Presiden. Demikian, antara lain, tulis Eddy Supriyatna di bukunya.
Bicara tentang interior mebel di kantor kepresidenan, banyak juga cerita unik yang muncul di negeri lain. Gedung Putih atau Istana Presiden Amerika Serikat (AS) pun punya perabot ikonik, yakni meja kerja Presiden yang terbuat dari kayu oak. Meja kerja Presiden AS yang kini berada di Ruang Oval Gedung Putih itu dikenal sebagai meja Resolute. Nama meja ini mengacu nama kapal, yakni HMS Resolute, yang keping kayunya dipakai sebagai bahan baku meja tersebut.
Sejarah meja Resolute ini dapat ditelusuri di berbagai laman hingga kanal Youtube. Singkat cerita, HMS Resolute adalah sebuah kapal Inggris yang telantar di perairan Arctic pada 1854 dalam sebuah ekspedisi. Kapal itu kemudian ditemukan di Selat Davis, batas sisi utara Benua Amerika pada tahun 1855 dan selanjutnya diperbaiki. Kapal HMS Resolute kemudian dikirimkan kembali ke Inggris sebagai hadiah bagi Ratu Victoria dari Presiden dan rakyat AS sebagai penanda niatan baik dan persahabatan.
Hal ini memantik simpati dan apresiasi balik dari pihak Inggris. Alhasil, ketika kemudian tiba saatnya kapal HMS Resolute tersebut dipugar, kayunya dititahkan untuk dipakai membuat meja. Begitu rampung dibuat, pada 1880, Ratu Victoria lantas menghadiahkan meja tersebut kepada Presiden AS sebagai kenangan atas kehormatan dan kebaikan berupa penyerahan Resolute.
Sejarah kemudian mencatat bahwa meja kokoh dengan desain anggun itu menjadi meja kerja para Presiden AS. Merujuk laman www.whitehousehistory.org, meja Resolute digunakan setiap Presiden AS sejak Presiden ke-19 AS Rutherford B Hayes (1877-1881). Meja tersebut pun digunakan Presiden ke-46 AS Joe Biden yang sekarang menjabat.
Hal ini dengan sedikit pengecualian pada era Presiden ke-36 AS Lyndon B Johnson (1963-1969), Presiden ke-37 AS Richard Nixon (1969-1974), dan Presiden ke-38 AS Gerald Ford (1974-1977). Pada kurun waktu 1964-1977 tersebut ketiganya tidak menggunakan meja Resolute.
Seiring waktu, beberapa Presiden AS pun meninggalkan ”jejaknya” di meja Resolute. Presiden ke-32 AS Franklin Delano Roosevelt (1933-1945), misalnya, disebutkan meminta ada penambahan panel di sisi depan meja tersebut. Hal ini bertujuan menutup celah antara kaki meja demi menghindari pandangan orang-orang melihat kaki Presiden AS yang menggunakan penyangga dan kursi roda karena polio tersebut.
Atas arahan Presiden Roosevelt, panel tersebut pun dihiasi ukiran burung elang, segel lambang kepresidenan AS. Presiden ke-33 AS Harry S Truman (1945-1953) kemudian sedikit mengubah segel kepresidenan AS tersebut, yakni arah berpaling kepala elang.
Kepala elang yang sebelumnya menghadap ke ikatan anak panah di cakar kiri diubah menjadi menoleh ke cabang zaitun di cakar kanan, yakni sebagai perlambang berpaling dari simbol perang menuju simbol perdamaian. Meski demikian, arah toleh elang yang telah diukir di panel meja Resolute tetaplah seperti semula, yaitu mengarah ke ikatan anak panah.
Panel berengsel yang mirip pintu di sisi depan meja Resolute itu pun kemudian ”ikut” membantu kian digandrunginya Presiden ke-35 AS John Fitzgerald Kennedy atau JFK (1961-1963) oleh publik negeri itu. Salah satu yang menarik perhatian adalah foto JFK saat tengah bekerja di meja Resolute dengan ditemani anaknya, yakni JFK Jr, yang bermain-main di celah panel tersebut.
Simpati mengalir ketika melihat seorang Presiden AS pun ternyata bisa juga mengalami hal-hal biasa dalam keseharian seperti itu. Gambaran Presiden yang bekerja dengan ditemani anaknya kiranya membangun rasa kedekatan di banyak warga. Sejarah mencatat bahwa sebuah mebel menjadi peranti pemupuk citra dan pembangkit kenangan Presiden AS.
Panggung mebel lokal
Kembali ke Indonesia, Presiden Jokowi, sebelum menjadi pejabat publik, dikenal sebagai pengusaha mebel. Tak urung muncul pula asa terhadap pemberian perhatian dan dukungan pemerintah untuk semakin menjayakan produk-produk mebel produksi dalam negeri, baik di pasar domestik maupun di pasar global. Sekarang ini, salah satu kursi kayu di pojok taman antara Istana Negara dan Merdeka atau depan Kantor Presiden, serta sejumlah kursi kayu di selasar Istana, disebut-sebut juga berasal dari Solo.
Sebagai perbandingan, negeri kampiun industri mebel global pun melakukan sejumlah upaya untuk menaikkan pamor mebelnya di kancah dunia.
”Penting bagi negara untuk mengangkat ikon industri mebel terbaik high value (bernilai tinggi) untuk kebanggaan dan terus menciptakan pasar dalam negeri. (Hal) ini seperti dilakukan China pada komunitas perusahaan mebel di Dongyang, salah satu kluster (mebel) terbaik,” kata Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur, Jumat.
Abdul Sobur menuturkan bahwa cara China mengangkat martabat dan mem-branding (memperkuat merek) kekuatan furnitur lokalnya, antara lain, dengan menggunakan hasil produksi furnitur terbaik China berbasis ukiran pada ajang konferensi G-20.
”Mereka bukan hanya membawa produk mebelnya ke istana. Di berbagai acara konferensi, termasuk G-20, (peserta) duduk di kursi-kursi paling bagus yang dibuat oleh produsen mebel China,” katanya.
Hal ini dinilai akan meningkatkan apresiasi terhadap mebel China. Serapan mebel China di pasar dalam negeri mereka pun meninggi. Jadi, rata-rata orang kaya di China pakai mebel mahal yang dibuat sendiri, yang salah satunya diproduksi di Dongyang, Provinsi Zeijiang. ”Belajar ke negeri China, seperti yang disabdakan Nabi (Nabi Muhammad SAW) itu benar adanya. Ada wisdom (kebijaksanaan) di sana yang baik,” katanya.
Menurut Abdul Sobur, istana dapat memelopori hal serupa di Indonesia. ”Pak Jokowi, sebagai furniture maker, dalam hal ini bisa memberikan terobosan-terobosan, (yakni agar) semua kementerian-kementerian, BUMN-BUMN, pemda-pemda, wajib membeli furnitur paling bagus yang diproduksi asli oleh bangsa Indonesia,” ujarnya.
Pemerintah perlu memberikan teladan kepada publik yang memiliki uang untuk membeli produk mebel bagus, berkualitas tinggi, berbasis ukir atau rotan, yang diproduksi dalam negeri. Hal ini bukan sekadar dalam konteks membeli produk mebel dalam negeri untuk kepentingan mengisi ruang-ruang istana yang terbatas. ”Kalau ada kegiatan konferensi kelas tinggi di mana pun, di seluruh Indonesia, pakailah produk mebel berkualitas tinggi buatan dalam negeri,” kata Abdul Sobur.
Tahun depan, Indonesia mendapat kepercayaan memegang presidensi G-20. Kelompok negara-negara maju, yang beranggotakan 20 entitas, yaitu 19 negara utama penggerak ekonomi dunia—termasuk Indonesia—ditambah satu perwakilan regional, yaitu Uni Eropa.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menuturkan, penyelenggaraan presidensi Indonesia G-20 ini akan berlangsung setahun penuh dari Desember 2021 sampai akhir 2022. Kegiatan akan mencakup 150 kali working group dan engagement group dan atau side event serta melibatkan sejumlah negara. Puncak kegiatan adalah KTT G-20 di Bali.
Harapannya, penyelenggaraan presidensi Indonesia G-20 tentu akan menentukan citra kehormatan bangsa dan negara di dunia internasional. Seandainya saja ajang-ajang pertemuan G-20 tersebut diadakan secara luring atau tatap muka, tentu desain dan interior di Istana juga dapat ditampilkan sebagai keindahan seni dan interior asli dan jejak Indonesia. (HAR)