Perkawinan anak berdampak besar terhadap pembangunan bangsa. Pencapaian negara dalam pengentasan warga dari kemiskinan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesetaraan jender sulit terwujud tanpa mengakhiri perkawinan anak.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Seorang ibu menggendong anaknya seusai kegiatan Peresmian Radio Sekolah Perempuan Darurat Siaga Covid-19 ”Nina Bayan” di Desa Sukadana, Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Kamis (15/4/2021).
Bangsa yang memiliki sumber daya manusia unggul tidak akan tercipta dengan merenggut masa depan anak-anak untuk menikah di bawah umur. Alih-alih kemajuan, yang terjadi justru lingkaran masalah di banyak bidang, seperti kesehatan, ekonomi, dan sosial, yang terus diwariskan antargenerasi.
Dengan menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebut, persentase perempuan usia 20-24 tahun dengan usia pertama menikah di bawah 18 tahun sebesar 11,21 persen, di bawah usia 17 tahun 4,79 persen, di bawah 16 tahun 1,75 persen, dan di bawah 15 tahun 0,56 persen.
Semua provinsi di Kalimantan dan Sulawesi memiliki prevalensi perkawinan anak di atas angka nasional. Sulawesi Barat menjadi provinsi dengan prevalensi tertinggi, yaitu 19,43 persen. Adapun Nusa Tenggara Barat menjadi provinsi dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi di wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara, yaitu 15,48 persen.
Sekretaris Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kabupaten Lombok Barat Erni Suryana mengatakan, berdasarkan Pendataan Keluarga oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2015, sebesar 57,5 persen perempuan di Lombok Barat menikah di bawah umur 20 tahun.
”Umumnya anak perempuan diperintahkan orangtuanya menikah dengan alasan, antara lain, adat, agama, dan ekonomi. Begitu perkawinan itu tidak sukses, anak perempuan yang menikah itu akan kembali ke orangtuanya dengan membawa cucu sehingga beban ekonomi keluarga justru tetap tinggi,” tutur Erni.
Perkawinan anak di Lombok kerap terjadi dengan cara ”memaling” atau ”melarikan” perempuan, baik dengan alasan saling suka ataupun tidak.
”Tabu bagi keluarga perempuan menerima anaknya yang sudah dibawa ’lari’ orang lain, itu aib, meski si anak tidak saling suka atau tidak ada rencana menikah. Mereka tetap harus dinikahkan,” kata Erni.
Erni memberi contoh ekstrem. ”Pernah ada siswa kelas II SMP karena pecah ban di tengah jalan akhirnya baru sampai rumah teman perempuannya sekitar pukul 21.00. Keluarga perempuan tidak terima, keduanya harus dinikahkan,” cerita Erni.
Tabu bagi keluarga perempuan menerima anaknya yang sudah dibawa ’lari’ orang lain, itu aib, meski si anak tidak saling suka atau tidak ada rencana menikah. Mereka tetap harus dinikahkan.
Terkadang, orangtua perempuan yang ”dilarikan” memaksa anaknya dinikahi mesti hanya dua minggu lamanya, misalnya. ”Di desa-desa justru kalau meminta seorang anak perempuan untuk dinikahi dianggapnya meminta-minta, kayak minta anak kucing,” kata Erni.
Menurut Erni, perkawinan anak yang terus terjadi di masyarakat Lombok tidak terlepas dari interpretasi yang keliru terhadap adat. Banyak warga bahkan perangkat desa termasuk kepala dusun yang tidak memahami pakem adat merarik atau menikah yang sebenarnya. Padahal, kepala dusun memiliki peran yang sentral dalam pernikahan.
Dalam diskusi daring beberapa waktu lalu, Pemangku Adat Lombok, Mamiq Raden Moh Rais, mengatakan, selama puluhan tahun lembaga adat selalu menjadi ”terdakwa” dalam isu perkawinan anak di Lombok. Seolah-olah lembaga adat menjadi pelaku budaya yang melegalkan perkawinan di bawah umur. Tuduhan itu datang muncul dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (NGO), yang tidak paham bagaimana pakem adat Sasak yang sesungguhnya.
Menenun kain
Raden menegaskan bahwa pakem adat tidak membenarkan menikah (merarik) di bawah umur (kodek). Pemahaman masyarakat terhadap merarik atau memaling pun keliru. ”Memaling tidak boleh malam hari, tidak boleh diambil di sembarang tempat, didasari suka-sama suka, pihak laki-laki harus membawa serta anggota keluarga perempuan untuk meminang calon istrinya,” tuturnya.
Melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, negara telah menetapkan batas usia minimal calon pengantin laki-laki ataupun perempuan adalah 19 tahun. Namun, adat Sasak memiliki ketentuannya sendiri soal perkawinan. ”Dalam pakem adat, kami tidak menghitung usia, tetapi menghitung kedewasaan calon pengantin,” kata Raden.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
LA (jilbab hitam, kiri) yang baru berusia 17 tahun ditemani ibunya, NR (48), menidurkan anaknya AAC (8 bulan) di ayunan dari kain yang digantung pada berugak (saung) di tempat tinggal mereka di salah satu desa di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (16/4/2021).
Berdasarkan pakem adat Sasak, seorang perempuan sudah dewasa apabila telah bisa mengambil kapas dan memintalnya menjadi benang lalu menenunnya sehingga menghasilkan 144 lembar kain dengan motif berbeda dan dipasarkan. Menurut Raden, jika proses itu sudah tuntas dilalui, diperkirakan usia perempuan telah menginjak 22 tahun.
”Proses dari kapas sampai mewarnai kain bisa satu tahun. Setiap motif kain memiliki nilai filosofisnya sendiri, harus hari apa mulai dibuat dan lain-lain. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu kain bisa sampai delapan bulan,” tutur Raden.
Adapun seorang laki-laki dianggap telah dewasa apabila sudah mampu memelihara sepasang kerbau atau sapi dan beranak hingga mencapai 25 ekor. ”Semua ini di mana-mana tidak dilakukan karena masyarakat tidak paham,” kata Raden.
Ketidakpahaman masyarakat terhadap adatnya sendiri, ujar Raden, tidak terlepas dari tiadanya lembaga adat di tingkat desa yang mengurusi persoalan adat di masyarakat. Aparat desa termasuk kepala dusun pun tidak memahami adat yang sesungguhnya.
Intervensi
Pada 2016, Bupati Lombok Barat mengeluarkan Surat Edaran tentang Pendewasaan Usia Perkawinan yang menetapkan batas usia minimal menikah untuk laki-laki dan perempuan 21 tahun. Di tahun yang sama, bupati pun meluncurkan Gerakan Anti Merarik Kodek (Gamak).
Langkah tersebut dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak disusul oleh Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pendewasaan Usia Perkawinan.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mural berisi pesan untuk menghindari perkawinan usia dini dan lebih mengejar prestasi dan berkarya di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020).
Desa didorong memiliki peraturan desa tentang perlindungan anak yang mencakup larangan perkawinan anak sesuai dengan kearifan lokal setempat. Saat ini, baru 20 dari 119 desa yang telah memiliki peraturan desa. Targetnya di tahun 2021 ini minimal 30 persen desa telah memiliki peraturan desa tentang perlindungan anak.
Menurut Erni, kasus perkawinan anak di desa-desa yang memiliki peraturan desa perlindungan anak hampir nol.
Prof Meiwita Paulina Budiharsana dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan, untuk mengakhiri perkawinan anak, yang perlu dilakukan bukan cuma menaikkan batas usia perkawinan, melainkan juga membuat regulasi dan kebijakan yang mencegah anak menikah. Regulasi yang ada pun perlu ditegakkan dengan benar di lapangan.
”Jangan sampai masih ada dispensasi perkawinan dengan alasan hamil yang diberikan oleh kantor urusan agama,” katanya. Di luar itu, pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif perlu diberikan kepada remaja.