Pemuka Agama Perlu Ambil Peran Akhiri Perkawinan Anak
Pandemi Covid-19 meningkatkan kerentanan anak terhadap pernikahan anak. Pencegahan perlu dilakukan, termasuk dengan pelibatan pemuka agama untuk mendekati masyarakat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka perkawinan anak diprediksi terus bertambah hingga akhir dekade ini. Karena itu, pemahaman kolektif mengenai bahaya pernikahan anak perlu segera dibangun dengan melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk pemuka agama.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) memperkirakan ada tambahan 10 juta pernikahan anak hingga akhir dekade ini. Kondisi tersebut merupakan dampak pandemi Covid-19 yang memicu persoalan ekonomi, kehamilan, dan kematian orangtua. Sebelum pandemi, Unicef mencatat 100 juta anak perempuan berisiko mengalami pernikahan anak hingga akhir dekade ini.
”Pernikahan anak terjadi karena isu kompleks, seperti norma, tradisi, dan anggapan para orangtua bahwa anak mereka akan lebih aman jika dinikahkan. Ini biasa terjadi pada orangtua yang kesulitan membiayai anaknya,” kata Regional Leader World Vision International di Asia Timur Terry Ferrari pada diskusi daring ”Too Young to Marry”, di Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Angka pernikahan anak di Indonesia pun melonjak. Pada Januari-Juni 2020, Badan Peradilan Agama mencatat sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin dari calon mempelai berusia di bawah 19 tahun. Pada 2019 tercatat ada 23.700 permohonan.
Pemuka agama
Menurut Direktur Nasional Gusdurian Network Indonesia Alissa Wahid, perkawinan anak masih terjadi karena difasilitasi orangtua, keluarga, dan masyarakat. Dari perspektif agama, menikah cepat didukung guna menghindari zina. Karena itu, salah satu cara mengakhiri perkawinan anak yakni melibatkan para pemuka agama. Mereka perlu diberi pemahaman dampak pernikahan anak dan diharapkan ambil bagian untuk mencegahnya.
”Anak-anak tidak seharusnya diberi beban sebagai orang dewasa untuk membangun keluarga, kemudian diharapkan membangun bangsa yang baik. Ini tugas kita buat melindungi dan membimbing anak-anak sampai mereka dewasa,” kata Alissa.
Perkawinan anak akan memutus akses mereka terhadap pendidikan serta meningkatkan risiko kemiskinan dan tindak kekerasan. Kesehatan anak, terutama perempuan, terancam karena tubuh mereka belum siap melakukan proses reproduksi.
Anak-anak tidak seharusnya diberi beban sebagai orang dewasa untuk membangun keluarga, kemudian diharapkan membangun bangsa yang baik.
Hubungan seksual terlalu dini berisiko terhadap kanker mulut rahim. Anak perempuan yang hamil pun berisiko mengalami tulang keropos saat masuk masa menopause.
Country Director of Islamic Relief in Bangladesh Mohammad Akmal Shareef mengatakan, perkawinan anak mengakar kuat dalam kehidupan sosial di Bangladesh. Pemuka agama dan keyakinan perlu dilibatkan untuk membangun diskursus soal perkawinan anak.
Pemuka agama dinilai berpengaruh bagi masyarakat. Bangladesh merupakan salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi. ”Kami sudah coba mengajak pemimpin agama untuk bekerja sama. Peran mereka kini bukan hanya memimpin ritual dan acara keagamaan,” kata Shareef.
Menurut National Director of World Vision International di Nepal Janes Ginting, semua orang perlu dilibatkan untuk mencegah pernikahan anak. Pihaknya dalam tahap awal menggandeng pemimpin lintas agama untuk isu ini. ”Kami menilai upaya mereka menangani perkawinan anak. Kemudian, kami akan membuat visi bersama tentang caranya bekerja dengan kaum muda, orangtua, pemerintah daerah, media, dan mitra lain,” ucapnya.
Anak muda turut ambil bagian mengakhiri pernikahan anak. Aktivis pernikahan anak dan wartawan dari Nepal, Malati (20), kerap mengadvokasi anak ataupun keluarga yang hendak melakukan pernikahan dini. Ia juga berkampanye lewat radio dan membuat teater jalanan guna meningkatkan kesadaran publik terhadap bahaya pernikahan anak.
”Setelah ikut program Child Community Journalism, saya membantu menghentikan tiga pernikahan anak,” katanya. ”Saya bermimpi lingkungan saya bebas dari pernikahan anak. Semoga pemerintah hingga pemuka agama membantu mimpi saya,” ujarnya.
Remaja asal Bangladesh, Dola (16), membantu mencegah pernikahan anak yang akan dialami temannya melalui telepon. Ia mengarahkan temannya untuk segera menghubungi call center pemerintah yang menangani pernikahan anak, kemudian membantu advokasi melalui telepon.