Menggugat Urgensi Asesmen Nasional di Tengah Pandemi
Asesmen Nasional yang akan digelar di tengah kondisi pandemi Covid-19 memunculkan sejumlah pertanyaan. Ada banyak hal lain yang lebih urgen untuk dilakukan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sedang menyiapkan Asesmen Nasional. Hasil asesmen, menurut rencana, akan menjadi bahan evaluasi dan perencanaan ke depan.
Asesmen Nasional (AN) akan memotret proses pembelajaran kognitif dan non-kognitif serta kualitas lingkungan belajar sekolah. ”Jadi, pembelajaran bukan lagi tentang berapa banyak konten yang dikuasai, melainkan tentang kompetensi yang diperlukan setiap orang, sikap, karakter profil pelajar Pancasila, dan lingkungan belajar yang dibutuhkan,” kata Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan, Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, dalam acara Bincang Pendidikan bertajuk ”Persiapan Pelaksanaan AN 2021”, Selasa (27/7/2021).
Mengacu pada Peraturan Mendikbudristek Nomor 17 Tahun 2021 tentang AN, ada tiga indikator pengukuran AN, yakni pertama hasil belajar kognitif yang mencakup literasi membaca dan numerasi. Kedua, hasil belajar nonkognitif yang mencakup sikap yang melandasi karakter-karakter dalam profil pelajar Pancasila (beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, bernalar kritis, mandiri, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global). Lalu, ketiga, kualitas lingkungan belajar mencakup iklim keamanan, iklim inklusivitas dan kebinekaan, serta proses pembelajaran di satuan pendidikan.
Anindito menegaskan, AN bukan pengganti ujian nasional (UN). UN bertujuan untuk memotret hasil belajar setiap siswa, yaitu lulus atau tidak lulus. Adapun AN memotret proses belajar yang tidak memprofil siswa, tapi untuk memprofil sekolah secara kolektif sebagai evaluasi diri untuk perbaikan dan perencanaan. Hasil ini juga menjadi evaluasi bagi pemerintah daerah dan pusat untuk mendukung perbaikan mutu di sekolah serta terwujudnya siswa dengan karakter profil pelajar Pancasila.
”Di AN tidak ada keputusan lulus atau tidak lulus. Tidak ada nilai individu siswa, guru, ataupun kepala sekolah. Jadi, rileks saja dengan AN, apa adanya,” ujar Anindito.
Siswa mengerjakan AN yang meliputi asesmen kompetensi minimum/AKM (literasi membaca dan numerasi), survei karakter, dan survei lingkungan belajar (aspek-aspek lingkungan sekolah yang berdampak pada proses dan hasil belajar siswa). Bentuknya ada pilihan ganda tradisional, pilihan ganda kompleks atau lebih dari satu jawaban benar, dan ada sebagian kecil esai singkat.
Para pendidik dan kepala sekolah juga mengerjakan AN untuk survei kualitas lingkungan belajar. Dari uji coba di sekolah penggerak, untuk iklim kebinekaan, beredar soal survei dengan pernyataan tertutup yang lebih menilai preferensi seorang pendidik/kepala sekolah, antara lain tentang pemimpin, agama mayoritas, atau ideologi negara.
”Kalau siswa tidak merasa aman di sekolah atau merasa didiskriminasi karena latar belakang sosial, ekonomi, fisik, agama, budaya, atau ras yang berbeda, akan susah untuk merasa nyaman belajar di sekolah. Informasi tentang iklim keamanan dan kebinekaan dikembalikan ke sekolah, apakah sudah berhasil menyediakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman,” jelas Anindito.
Secara umum, survei lingkungan belajar bagian terbesarnya terkait dengan pengukuran pembelajaran. Failitas belajar di sekolah untuk literasi (keragaman buku bacaan), praktik belajar-mengajar di kelas apakah memberikan contoh konkret atau mengajar yang inspiratif, guru mengajar satu arah atau interaktif, hingga memancing dengan pertanyaan. Termasuk juga tentang memberikan umpan balik.
Menurut Anindito, AN direncanakan mulai 2021, berkisar September hingga November, tergantung dari perkembangan pandemi Covid-19. AN dilaksanakan satu tahun sekali.
”Belum final perumusan pelaksanana AN karena masih situasi PPKM. Prinsipnya, harus menjaga keamanan dan keselamatan warga sekolah. Skema sedang disusun agar adaptif sesuai dengan kondisi pandemi di setiap daerah,” kata Anindito.
Rencana digelarnya AN di tengah situasi pandemi Covid-19 ini dipertanyakan sejumlah pihak. Dalam acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Pendidikan bertajuk ”Mempersiapkan Diri Menghadapi AN di Tengah Pandemi”, Minggu (25/7/2021), dorongan untuk mengkaji ulang pelaksanaan AN di tengah situasi pandemi mencuat.
Ketua Umum Asosiasi Pengawas Seluruh Indonesia (APSI) Pusat Agus Kuncoro mengatakan, dari survei sederhana yang diakukan APSI, persepsi tentang AN masih beragam. Secara umum, AN masih dipersepsi sebagai pengganti ujian nasional (UN), termasuk mengaitkan sebagai penentu kelulusan siswa. Ada juga yang menyatakan sarana pendukung belum memadai untuk dilaksanakan AN.
”Asesmen ini harus bisa memotret siswa sebagai sosok manusia, bukan sekadar obyek. Siswa dan sekolah terus diberi program, kurikulum, tes, tapi apakah sudah bisa membawa pada ekosistem sekolah adaptif, kontekstual, berpusat pada siswa, dan relevan?” ujar Agus.
Sementara itu, Agung Wibowo dari Gerakan Pemberantasan Buta Matematika mengatakan, jika AN dikatakan untuk pemetaan mutu pendidikan pembelajaran sekolah, sebenarnya data tentang buruknya sistem pendidikan di Indonesia sudah banyak. Di skala nasional dan internasional, potret rendahnya hasil belajar siswa karena proses pembelajaran dan kualitas guru yang rendah sudah ada dasarnya. Ada Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) hingga UN, tetapi sampai saat ini belum secara serius ditindaklanjuti untuk perbaikan mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Di masa pandemi ini idealis perlu, tak kalah penting juga sikap pragmatis. Yang mendesak dibutuhkan bagaimana bisa meningkatkan proses pembelajaran dan beradaptasi dalam situasi pendidikan di masa pandemi, yang lebih realistis dibutuhkan sekolah. (Agung Wibowo)
”Di masa pandemi ini idealis perlu, tak kalah penting juga sikap pragmatis. Yang mendesak dibutuhkan bagaimana bisa meningkatkan proses pembelajaran dan beradaptasi dalam situasi pendidikan di masa pandemi, yang lebih realistis dibutuhkan sekolah,” kata Agung.
Guru SMAN 6 Halmahera Utara, Maluku Utara, Ellen Sintya mempertanyakan apakah AN di masa pandemi tepat. Saat ini, para guru, sekolah, dan siswa di daerah masih bergelut mengatasi masalah pendidikan belajar dari rumah akibat terkendala jaringan internet dan fasilitas belajar digital. Belum lagi para guru yang masih berjuang agar mampu mengajar dengan lebih baik di masa pandemi dengan kompetensi yang masih terbatas.
”Mengandalkan pelatihan daring bagi guru tidak semudah yang dikatakan. Bukan hanya tentang jaringan, melainkan guru juga butuh pendampingan untuk meningkatkan proses pembelajaran,” ujar Ellen.
Praktisi pendidikan Aulia Wijiasih yang pernah terlibat sebagai anggota satuan tugas penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah, Kemendikbud Ristek, mengatakan, AN ini sebenarnya mirip dengan evaluasi diri sekolah untuk penjaminan mutu pendidikan. Namun, sekolah terjebak hanya mengisi borang-borang tentang evaluasi kondisi sekolah menyeluruh di atas kertas dan tidak jujur untuk menyenangkan pihak daerah hingga pusat. Kondisi riil sekolah pun tak terpotret nyata karena ada rasa takut dicap sebagai sekolah dengan pembelajaran buruk.
Menurut Aulia, konsep baik tentang asesmen/evaluasi kondisi sekolah yang menyeluruh meliputi manajemen, pembelajaran, dan lingkungan. Sekolah yang belum memenuhi standar harus dibantu pemerintah daerah dan pusat untuk bisa lebih baik dalam melayani pendidikan. Para siswa ditanya terkait well being di sekolah, pembelajaran yang diberikan, sejauh mana yang diketahui dan apa yang diberitahukan kepada siswa sesuai jenjang.
”Kalau belum, ya, evaluasi, apa yang seharusnya diberikan ke sekolah yang tertinggal ini. Bukan nanti sekadar menggelontorkan internet atau sarana prasarana ke sekolah,” kata Aulia.
Selain terus-menerus mengevaluasi sekolah dan siswa, dinas pendidikan, pemerintah daerah, hingga pusat pun harus secara jujur mengevaluasi diri demi adanya persepsi dan komitmen yang sama tentang pencapaian mutu pendidikan yang memenuhi standar pendidikan nasional.