Digitalisasi Beri Peluang Pertumbuhan Ekosistem Sastra
Keberadaan platform digital melahirkan bentuk-bentuk baru karya sastra. Digitalisasi juga semakin mendorong keterbukaan akses terhadap karya-karya sastra.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan sastra digital semakin menumbuhkan ekosistem sastra di Indonesia. Selain memberikan tempat berkarya bagi penulis baru, publik pun dapat mengakses karya sastra dengan mudah. Hal ini sekaligus mendorong ekosistem sastra yang demokratis.
Menurut penulis novel Okky Madasari, buku fisik bukan lagi sumber informasi tunggal. Perkembangan teknologi berbanding lurus dengan munculnya medium-medium penyampai informasi yang baru. Munculnya platform digital dapat dimanfaatkan untuk mengolah sastra dalam bentuk baru, seperti komik berbasis puisi yang diunggah di media sosial.
”Anak zaman sekarang merupakan digital native (warga digital) yang suka pada visual dan media sosial. Kita dapat menyediakan jembatan yang mengenalkan mereka dengan sastra,” kata Okky pada diskusi daring ”Perkembangan Sastra di Ruang Digital: Positif atau Negatif?”, Minggu (25/7/2021).
Selain memberikan peluang mengembangkan sastra, digitalisasi juga mendorong keterbukaan akses. Karya sastra digital dapat diakses publik dengan mudah dan murah selama ada koneksi internet. Okky menyebut ini sebagai demokratisasi konten atau sastra.
Sebelumnya, ekosistem sastra dinilai terbatas. Penulis baru bisa mendistribusikan karyanya jika diterbitkan oleh penerbit atau media massa. Dengan perkembangan teknologi, penulis kini bisa mengunggah karyanya secara mandiri. Jangkauan audiens pun semakin luas.
Hal ini didukung tingginya penggunaan internet di Indonesia. Data Digital Report 2021 menyebut ada 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Rata-rata waktu yang digunakan untuk mengakses internet yaitu 8 jam 52 menit per hari.
Sementara itu, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 170 juta orang. Rata-rata penduduk menggunakan media sosial selama 3 jam 14 menit setiap hari.
Pamong Ahli Budaya Madya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Syukur Asih Suprojo mengatakan, era digital membuka peluang bagi penulis pemula masuk ke ekosistem sastra. Mereka bebas memublikasikan karya tanpa bergantung lagi pada penerbit. Peluang mengkreasikan sastra juga terbuka, misalnya puisi dengan latar suara dan gambar.
”Ini melahirkan penulis-penulis baru. Selain itu, internet menjadi ruang sastra alternatif yang mendobrak kemapanan,” ucap Syukur.
Ini melahirkan penulis-penulis baru. Selain itu, internet menjadi ruang sastra alternatif yang mendobrak kemapanan. (Syukur Asih Suprojo)
Di sisi lain, platform digital dinilai memberikan sejumlah tantangan, seperti plagiarisme. Sastra digital yang cenderung minim kritik pun dikhawatirkan memengaruhi pencapaian ekosistem sastra Indonesia.
Menurut Syukur, penggunaan teknologi di bidang sastra merupakan keniscayaan. Keberadaan teknologi dengan segala macam inovasinya agar dimanfaatkan penulis untuk meningkatkan kompetensi dan kreativitas.
”Jadi, bagaimana sastra digital membawa keunikan bagi khazanah kesusatraan Indonesia serta merespons dinamika kehidupan sosial masyarakat,” katanya.
Ia juga mendorong agar institusi pendidikan peka merespons perubahan lanskap sastra. Baik guru maupun dosen dapat mengajarkan atau memberikan tugas tentang sastra melalui teknologi. Hal ini diharapkan juga untuk menumbuhkan minat baca.
Menurut Okky, sastra harus berdasar pada teknik bercerita yang baik, apa pun mediumnya, baik buku fisik maupun platform digital. Kemampuan penulis dapat diasah dengan membaca karya sastra sebanyak-banyaknya. Persaingan di era digital yang ketat juga menuntut penulis untuk menyajikan keunikan, kebaruan, dan kreativitas.
Selain kemahiran bercerita, penulis juga perlu mempertimbangkan pesan yang ingin disampaikan ke audiens. Tanggung jawab dalam bercerita menjadi prinsip kunci penulis.
”Apa pun bentuk mediumnya, kita harus kembali ke kualitas penceritaan dan narasi yang baik. Itu fondasi karya sastra,” kata Okky.
Sastrawan M Aan Mansyur mengatakan, platform digital memperkaya ragam genre dan bentuk sastra. Penulis dapat berkolaborasi dengan pihak dari disiplin ilmu lain. Kemudahan kolaborasi dan akses terhadap karya sastra juga ia sebut mendukung demokratisasi ekosistem sastra Indonesia.
”Sastra bisa berkembang karena ada yang mengonsumsi. Internet membuat semakin banyak orang mengonsumsi sastra,” ujar Aan.
Menyikapi dampak teknologi digital terhadap sastra, Musyawarah Nasional Sastra Indonesia (Munsi) III pada 2020 merekomendasikan pengembangan, pembinaan, dan perlindungan sastra. Aspek pengembangan yaitu dengan mendorong lembaga bahasa dan Kemendikbud Ristek mengoptimalkan ekosistem digital, penerjemahan dan distribusi, serta peningkatan sastra untuk difabel (Kompas.id, 7/11/2020).
Aspek pembinaan, antara lain, mendorong penambahan pelatihan bagi pendidik dan komunitas sastrawan. Sementara aspek terakhir, yaitu memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual sastra, hak ekonomi, dan hak moral sastrawan.