Musyawarah Nasional Sastra Indonesia III memunculkan kegelisahan kesastraan Indonesia di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital.
Oleh
Mediana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pesatnya perkembangan teknologi digital menggeser produksi sampai distribusi karya sastra. Cara menikmati karya pun ikut menyesuaikan dengan platform digital masa kini.
Ketua Kurator Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III Triyanto Triwikromo saat dihubungi Kamis (5/11/2020) di Jakarta, menyebut ”swasastra” untuk menggambarkan kesastraan saat ini yang cenderung tanpa redaktur, kurator, dan kritik. Generasi muda lebih nyaman menulis dan membaca dengan kondisi itu.
”Media digital lebih disukai dibanding koran, majalah, dan buku,” ujarnya.
Situasi seperti itu, kata Triyanto, disertai dengan kemunculan kreativitas baru, seperti flash fiction dan rupa sastra lainnya yang sangat mengandalkan apa pun yang terjadi di ruang virtual.
Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Muh Abdul Khak menggambarkan, karya sastra kini lebih ditentukan oleh jumlah tanda like, komentar, dan upaya berbagi warganet. Kanon sastra yang sebelumnya ditentukan oleh para begawan, seperti HB Jassin dan Subagio Sastrowardoyo, sekarang mulai bergeser.
”Penerbitan sastra berbasis kertas bergeser ke buku digital atau sastra berbasis laman,” ujar Abdul.
Beragam sikap
Menurut Triyanto, sikap sastrawan beragam. Ada sastrawan yang masih melakukan tindakan-tindakan yang konvensional. Ada juga sastrawan yang memilih memanfaatkan teknologi digital untuk berkarya dengan berbagai cara.
Rekomendasi Munsi III yang dirumuskan Rabu (4/5/2020), terdiri dari upaya pengembangan, pembinaan, dan perlindungan sastra. Upaya pengembangan sastra mendorong Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud serta lembaga sejenis untuk mengoptimalkan ekosistem digital, penerjemahan dan distribusi, serta peningkatan sastra untuk difabel.
Dari sisi pembinaan, rekomendasi meliputi penambahan pelatihan bagi pendidik dan komunitas sastrawan, membuat skenario produksi buku sastra, serta mengoptimalkan peran Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia.
Adapun dari sisi perlindungan, rekomendasinya adalah mendorong Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud ikut meningkatkan perlindungan hak kekayaan intelektual sastra, hak ekonomi, dan hak moral sastrawan.
”Kami yakin situasi kesastraan dalam tiga tahun mendatang bergolak di antara dunia digital, dunia konvensional, dan konvergensi antara keduanya,” ujarnya.
Untuk itu, perumus Munsi IV yang, menurut rencana, diselenggarakan tiga tahun mendatang akan merancang tema ”Inovasi-inovasi Sastra Indonesia Menuju Masa Depan”. Tema itu nantinya diharapkan mampu memantik diskusi mendalam mengenai kreativitas generasi muda, kesastraan, dan platform digital.
Abdul menambahkan, ada urgensi menggelar Kongres Sastra Indonesia sehingga persoalan sastra daerah, sastra Indonesia, dan sastra terjemahan di era digital bisa dibahas lebih mendalam. Rekomendasi-rekomendasi selama Munsi III akan ditindaklanjuti Kemendikbud.
Munsi berlangsung setiap tiga tahun sekali. Munsi III berlangsung secara daring dan luring pada 2-5 November 2020 dan mengusung tema ”Memainkan Sastra Indonesia di Panggung Dunia”.