Kendati hidup di era teknologi informasi modern, perempuan masih mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Sejumlah perempuan tidak berdaya atas tubuhnya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati setiap orang memiliki hak atas otonomi tubuh dan kekuatan untuk membuat pilihan sendiri tentang tubuhnya, hingga kini hampir setengah perempuan di dunia belum bisa menentukan haknya. Masih banyak perempuan tidak memiliki otonomi atas tubuhnya terkait penggunaan alat kontrasepsi dan mencari layanan-layanan kesehatan.
”Ada jutaan perempuan belum bisa menentukan dirinya mau memakai apa dalam urusan kontrasepsi. Mereka belum merdeka untuk menentukan bahwa keputusan atas dirinya untuk mau hamil atau tidak hamil belum sepenuhnya mempunyai kekuatan, apakah dirinya berhak untuk belum atau menikah,” ujar ujar Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia/State of World Population (SWOP) 2021 ”Otonomi Tubuh: Tubuhku adalah Milikku” yang digelar daring, Kamis (1/7/2021).
Laporan SWOP 2021, yang diluncurkan BKKBN bekerja sama dengan United Nations Population Fund (UNFPA), menegaskan pentingnya otonomi tubuh sebagai sebuah hak universal untuk ditegakkan. Selain mengungkapkan betapa seriusnya berbagai kekurangan dari penegakan hak atas otonomi tubuh, laporan tersebut juga fokus pada kekuatan dan kapasitas individu untuk membuat pilihan tentang tubuh mereka tanpa rasa takut, kekerasan, ataupun paksaan.
Pemahaman otonomi tubuh tidak bisa dilihat dari ruang kosong karena bagaimanapun setiap individu dibentuk oleh konstruksi sosial yang ada. Itu yang terjadi pada anak muda. (Tsamara Amany)
Merujuk dari laporan tersebut, Hasto berharap laporan tersebut mendapat perhatian bersama. Semua pihak harus serius memperjuangkan hak otonomi tubuh perempuan karena hal ini erat kaitannya dengan upaya pencegahan angka kematian ibu dan bayi.
”Saya berharap kita saling mendukung. Sebab, kondisi kesehatan dan sumber daya kependudukan di Indonesia jika dibandingkan dengan rata-rata kondisi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, secara garis besar di Indonesia masih terlalu tinggi kematian ibunya dan masih terlalu tinggi kematian bayinya,” katanya.
Hasto bahkan mengingatkan derajat kesehatan bangsa sangat erat sekali hubungannya dengan kematian ibu dan bayi serta kekerasan pada perempuan. Ini lantaran terwujud dukungan atas kegiatan yang terkait dengan kesetaraan jender dan perjuangan mendorong perempuan mendapatkan haknya terkait otonomi atas tubuhnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, yang diwakili Deputi Perlindungan Hak Perempuan Ratna Susianawati, menyatakan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh populasi penduduk Indonesia, yakni 132,76 juta (49,42 persen), sementara jumlah anak 79,8 juta (31,6 persen).
Tidak pantas dilecehkan
Perempuan sebagai makhluk Tuhan mempunyai hak yang setara dengan laki-laki dan memiliki hak otonomi tubuh sehingga tidak pantas dilecehkan karena pakaiannya dan bentuk tubuhnya. Selain itu, perempuan juga harus berani mengambil keputusan, apakah ia ingin berhubungan seks dengan pasangannya, menggunakan kontrasepsi, atau mencari layanan kesehatan.
”Kebanyakan perempuan tidak berani mengungkapkan hal ini kepada pasangannya sehingga ketidakadilan jender ini tetap dirasakan sepanjang hidupnya,” kata Ratna.
Di Indonesia, hingga kini sebagian besar perempuan masih menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk, termasuk pelecehan seksual. Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA), sepanjang tahun 2020 terdapat 14.821 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan. Dari angka tersebut, kekerasan terhadap perempuan dewasa berjumlah 7.464 kasus, di mana 60,75 persen merupakan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada peluncuran yang dihadiri Anjali Sen, Perwakilan UNFPA, juga digelar unjuk bincang yang menghadirkan Hasto Wardoyo, H Husein Muhammad (pemuka agama), Melania Hidayat (Assistant Representative UNFPA), Alissa Wahid (Direktur Gusdurian Network Indonesia), dan Tsamara Amany (politisi muda).
Perkawinan anak
Alissa mengingatkan selama ini masalah otonomi perempuan atas tubuhnya lebih dilekatkan pada urusan cara berpakaian, padahal otonomi tubuh berkaitan dengan berbagai hal, termasuk perkawinan anak. ”Perkawinan anak, bukan hanya pandangan agama, melainkan juga pandangan sosial, ketika orangtua memaksa anak perempuan segera menikah,” ujar Alissa.
Anak perempuan mengalami banyak diskriminasi, tidak memiliki otonomi atas dirinya dalam berbagai bidang, seperti pendidikan. Anak perempuan sering tidak berhak meraih pendidikan karena ada pandangan di masyarakat, anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi.
Hussein Muhammad mengungkapkan, hampir semua cara pandangan keagamaan dipengaruhi cara pandang patriarki, kekuasaan mengatur kehidupan, yaitu laki-laki. Cara pandang tersebut membentuk seluruh pikiran masyarakat yang melihat bahwa laki-laki sebagai pelindung, pengayom, dan pendidik bagi perempuan. Laki-laki subyek dan perempuan obyek.
Sementara Tsamara menilai, soal otonomi tubuh, sikap anak muda sebenarnya tidak jauh dengan generasi sebelumnya. ”Yang harus kita pahami pemahaman otonomi tubuh tidak bisa dilihat dari ruang kosong karena bagaimanapun setiap individu dibentuk oleh konstruksi sosial yang ada, itu yang terjadi pada anak muda,” ujarnya.
Dia mencontohkan, kalau seorang anak hidup dengan struktur sosial yang kental akan budaya patriarki, anak tersebut akan memahami tanggung jawab pada ayah, suami. Selanjutnya, dia memahami dibentuk oleh struktur seperti itu sehingga dia tidak bisa memahami otonomi tubuhnya.